Pada hari ini, Jum’at, 26 Juni 2015 kita kembali melaksanakan shalat Jum’at dalam keadaan sehat wa al-Afiat serta dalam keadaan menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Marilah kesempatan ini kita pergunakan untuk memanjatkan puji dan syukur (al-hamdu lil Laah wa syukr lil al-Laah) serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Shalawat dan salam (allahumma shalli wa sallim) kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan shahabatnya yang setia. Amin Tema khutbah kita Jum’at ini adalah Berpuasa dengan Sepenuh Hati dan Jiwa yang Suci. Tema ini sangat penting dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, kita semua mengetahui, bahwa ibadah puasa merupakan suatu amal ibadah yang hanya akan diterima sebagai ibadah ibadah apabila dikerjakan dengan sepenuh hati dengan niat semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Allah SWT berfirman: Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (Q.S. al-Bayyinah, 98:5). Kedua, setiap orang yang mengerjakan ibadah puasa akan dijanjikan ampunan segala dosanya serta akan ditempatkan di syurga yang spesial, yaitu al-Rayyan. Janji pahala yang demikian besar itu hanya akan diberikan kepada orang yang ikhlas mengerjakannya, serta disertai dengan melakukan amaliyah Ramadhan lainnya seperti mengerjakan shalat tarawih dan lain-lain. Dalam salah satu hadisnya yang amat populer yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashab al-Sunan, dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Artinya:Barangsiapa berpuasa Ramadhan disertai iman dan mengharapkan keridhaan dan balasan pahala-Nya, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu. (Lihat al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Juz al-Awwal, 1397 h./1977 M.:366 Selanjutnya dalam hadis lainnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dalam bab al-Targhib wa al-Tarhib, Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Barangsiapa mendirikan Ramadhan disertai iman dan mengharapkan ridha Allah, maka akan diampuni dosanya di masa lalu. Wahbah al-Zuhailiy menjelaskan hadis ini sebagai berikut: ai man ahya layalaha bishalat al-tarawih au ghairiha bi al-zikr wa al-istighfar wa tilawah al-Qur’an tashidiqan bima wa’adahu Allah ‘ala dzalika min ajrin, muhtasiban wa mudkhiran ajrahu inda Allah ta’ala laa ghairahu bikhulus ‘amalihi lil laah lam yusyrik bihi ghairahu, ghufirat dzunubuhu ghaira huquq al-ibad fa tatawaffaqa ‘ala ibrai al-dzimmah al-musamihah. Artinya: Barangsiapa yang menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih atau lainnya dengan zikir, istighfar dan membaca al-Qur’an disertai keyakinan terhadap janji pahala dari Allah, disertai mengharapkan ridha Allah dan menjadikan simpanan pahala di sisi Allah, bukan karena tujuan lain, dengan mengikhlaskan amalnya karena Allah, tanpa disertai musyrik kepada selain Allah, maka akan diampuni segala dosanya selain hak-hak hamba yang bergantung pada pembebasan beban dan toleransinya. (Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, al-Juz al-Tsany, 1404 h./1984 m.:571). Ketiga, bahwa niat yang tulis ikhlas disertai perasaan sepenuh hati dan jiwa yang suci dalam menjalankan ibadah puasa, adalah sejalan dengan karakter atau ciri khas dan keutamaan ibadah puasa itu sendiri. ‘A’id Abdullah al-Qarni dalam kitabnya Durus al-Masjid fi Ramadhan (Sekolah Ramadhan), (1425 H,/2004 M.) halaman 21-22 misalnya mengutip pendapat al-Qurthuby yang mengatakan: “Jika amalan-amalan lain dapat dimasuki riya, maka puasa tidak demikian. Ia tidak dapat diketahui secara pasti oleh selain Allah. Karena itulah Allah SWT menisbahkan puasa itu kepada diri-Nya. (al-Shaum liy wa ana ajzyiy bihi=Puasa itu hanya untuk-Ku, dan Aku pula yang membaasnya); dan juga mengutip pendapat Ibn al-Jauzi yang mengatakan: “Semua ibadah yang dilakukan dapat dilihat orang sehingga sangat sedikit niat pelakunya yang tidak tercampur dengan niat lain selain karena Allah, kecuali puasa. Keempat, bahwa niat yang tulus ikhlas disertai perasaan batin yang sepenuh hatib dan jiwa yang suci merupakan persyaratan yang harud dimiliki oleh setiap orang yang ingin mendapatkan manfaat dunia akhirat dari ibadah puasa tersebut. Imam Ali al-Jurjawi dalam Kitabnya Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, Jilid I, halaman 221-222, memasukan puasa yang demikian itu adalah puasa khusush al-khushush, yaitu selain menahan lapar, haus, hubungan suami isteri, serta segenap pancaindera dan ucapan keji, munkar, dusta, dan adu domba, juga menahan syahwat batin dan kemaluannya serta perasaan hati dan fikiran dari selain Allah, tidak memikirkan urusan dunia sedikitpun, dan jika hal itu dilakukannya, maka puasanya itu dianggap bathal. Dengan empat ciri tersebut, maka setiap kali orang mengerjakan ibadah puasa, hendaknya tidak mengerjakannya hanya dari sudut pandang fiqh saja, melankan juga dari sudut pandang falsafi, tasawwuf, sosial dan lainnya. Puasa yang demikian inilah yang memiliki potensi yang amat besar bagi kehidupan manusia. Wahbah al-Zuhaily menyebutkan potensi positif dari ibadah puasa tersebut sebagai berikut. Pertama, puasa dapat memperkuat ketaqwaan, pendidikan dan rasa kasih sayang. Puasa berpotensi membentuk akhlak mulia, seperti kemampuan mengendalikan hawa nafsu, memerangi bujukan syaithan, membiasakan mereka bersikap sabar atas segala yang diharamkan Allah. Kedua, puasa dapat memperkuat kemauan dan tekad, mempekuat keinginan, membersihkan pikiran, memperkuat daya nalar, serta mendatangkan inspirasi dan imajinasi. Ketiga, puasa melatih orang agar selalu menaati aturan dan ketentuan dengan cara menahan diti dai makan minum pada waktu yang ditentukan. Keempat, puasa melatih orang agar senantiasa terampil dalam memerangi hawa nafsu dan senantiasa mengharapkan ridha Allah SWT. Jika keempat hal ini dapat dicapai, maka seseorang akan mendapatkan derajat ketaqwaan yang tinggi. Sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Baqarah (2) ayat 183: Artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Imam al-Maraghy dalam Tafsir al-Maraghy, al-Mujallid al-Awwal, (Beirut; Dar al-Fikr, hal. 68), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqun adalah bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berpuasa agak membiasakan bertaqwa kepada Allah dengan meninggalkan syahwat yang dibolehkan dan mudah karena semata-mata mengikuti perintah-Nya dan mengharapkan pahala dari Allah. Dengan puasa, orang dididik agar memperkuat tekad dan kemauan dalam mengendalikan hawa nafsu, meninggalkan syahwat yang diharamkan, serta menjalaninya dengan penuh kesabaran. Uraian tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya inti ibadah puasa Ramadhan itu adalah mendidik kita agar dalam dalam melakukan setiap pekerjaan selain dengan sepenuh hati, juga harus disertai hati yang bersih dan tulus ikhlas, sehingga perbuatan tersebut bernilai ibadah di hadapan Allah SWT, dan pekerjaan yang seperti itu pula yang akan memberikan nilai di sisi Allah SWT, Rasul-Nya dan umat manusia. Dan perbuatan itu pula yang akan menimbulkan akhlak yang mulia. Jakarta, 19 Juni, 2015 Daftar Pustaka Al-Jurjawiy, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, al-Juz al-Awwal, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.). Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghy, al-Mujallid al-Awwal, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.) Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985. Al-Qarni, ‘A’id ‘Abdullah, Sekolah Ramadhan, (terj.) Ahmad Faris Sufy, dari judul asli Durus al-Masjid fi Ramadhan, (Jakarta: Sahara, 1425 H./2004 M. Al-Sayyid, Sabiq, Fiqh al-Sunnah, al-Juz al-Awwal al-Ibadah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1397 H./1977), cet. I. Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, al-Juz al-Tsany, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./1986 M.), cet. II. |
Articles >