A.Latar Belakang Mengkaji Fenomena Dinamika Pendidikan Agama dan Keagamaan di Sekolah dan Madrasah[1] dalam Konteks Kurikulum 2013 merupakan hal yang penting dan menarik, dengan beberapa latar belakang pemikiran sebagai berikut. Pertama, bahwa dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan Madrasah merupakan salah satu objek kajian ilmiah yang sangat menarik. Dari segi keberadaannya dalam kurikulum, pendidikan agama dan keagamaan telah menimbulkan perdebatan sengit di antara para pejabat pengambil kebijakan, pemuka agama, dan lainnya. Kehadiran pendidikan agama dan keagamaan di Madrasah dan Sekolah merupakan hasil dari perjuangan panjang para pemuka agama, tokoh masyarakat dan lainnya. Tidak hanya mengkaji soal pendidikan, bahwa mengkaki masalah-masalah keislaman lainnya di Indonesia termasuk masalah yang menarik. Hal ini diakui oleh Robert Hefner, John Esposito, Fuad Jabali, dan para peneliti lainnya.[2] Kedua, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah akan lebih meningkat lagi, sehubungan dengan lahirnya Kurikulum Tahun 2013 yang memiliki paradigma, prinsip, pendekatan, metode dan sistem penilaian, sarana prasarana dan lainnya yang berbeda dengan paradigma, prinsip, pendekatan, metode dan lainnya yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK:2004), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dinamika ini terus terjadi, karena keadaan sekolah dan madrasah yang diharuskan melaksanakan kurikulum 2013 secara umum masih dalam keadaan belum siap dalam berbagai aspeknya. Beberapa sekolah dan madrasah yang sudah masuk dalam SBI (Sekolah Bertarap Internasional), atau yang sekolah dan madrasah yang telah mendapatkan akreditasi A, misalnya, diidentifikasi sebagai sekolah dan madrasah yang sudah siap melaksanakan kurikulum 2013. Sedangkan sekolah dan madrasah yang memiliki akreditasi B, C atau yang belum terakreditasi, tentu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyiapkan dirinya agar dapat melaksanakan kurikulum 2013. Ketiga, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah juga terjadi, karena pendidikan agama dan keagamaan bukan hanya sebagai pengetahuan atau keterampilan sebagaimana mata pelajaran lainnya, melainkan lebih dari itu, pendidikan agama dan keagamaan akan menjadi sumber nilai yang dapat membentuk sikap dan perilaku manusia. Diketahui bahwa saat ini paham keagamaan amat beragam; di samping ada paham keagamaan yang inklusif, juga ada yang eksklusif; di samping ada paham keagamaan yang moderat (tawasuth), juga ada paham keagamaan yang ekstrim (tatharruf); di samping ada yang paham keagamaan yang lunak (soft) dan akomodatif, juga ada paham keagamaan yang keras, non kooperatif, konfrontatif, dan seterusnya. Demikian pula kekeliruan dalam memberikan pemahaman agama dan keagamaan dapat berakibat fatal bukan saja bagi yang bersangkutan, melainkan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Lahirnya sikap eksklusif, fundamentalis, radikal dan anarkhis misalnya, dapat lahir dari pemahaman agama dan keagamaan yang keliru:sempit, parsial, dangkal, tektualis, doktriner, dan sebagainya. Keempat, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah juga terjadi, karena adanya perbedaan pandangan, sikap politik dan ideologi yang dianut oleh pemerintah yang berganti-ganti. Pemerintahan kolonial Belanda yang diskriminatif, Pemerintahan Orde Lama yang berada dalam tarik menarik antara kekuatan Islam Ideologis, Nasionalis dan Komunis; Pemerintah Orde Baru yang sebagian waktunya kurang bersahabat dengan ummat Islam, dan sebagian waktunya lagi bersahabat dengan ummat, serta memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi; dan pemerintah era reformasi yang ditandai oleh multi partai dan lahirnya berbagai paham ideologi dan paham keagamaan yang semakin beragam, menyebabkan dinamika pendidikan agama dan keagamaan semakin meningkat. Melalui kajian literatur ditambah dengan pengalaman empirik sebagai tenaga pendidik dan pengajar, makalah ini akan menjelaskan dinamika pendidikan agama dan keagamaan yang terjadi di Indonesia pada khususnya, dan di negara lain pada umumnya. Selain itu, makalah ini juga akan membahas dinamika pendidikan agama dan keagamaan dalam konteks kurikulum 2013 dan pendidikan agama dan keagamaan yang cocok untuk masyarakat Indonesia, dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian pendidikan agama dan keagamaan. Melalui kajian ini selain dapat diketahui corak dan sifat pendidikan agama dan keagamaan yang diajarkan di sekolah, madrasah, dan di masyaraka, juga dapat diketahui metode dan pendekatan pembelajaran yang tepat untuk digunakan sesuai tuntutan kurikulum 2013.
B.Pengertian Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan Perjalanannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, Bab I, Pasal 1 ayat (1) tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dinyatakan, bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan pendidikan keagamaan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan, bahwa pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menutut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.[3] Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tersebut dijelaskan tentang kedudukan, fungsi, tujuan, kurikulum, bentuk:formal, non-formal dan informal, jenjang, pendidik, sarana prasarana, tempat dan lainnya tentang pendidikan agama dan keagamaan. Bahkan dalam peraturan tersebut dibahas pula pendidikan agama dan keagamaan Kristen,Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hucu, serta syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan.[4] Dengan demikian, jika titik tekan atau fokus utama pada pendidikan agama untuk menumbuhkan sikap religiousitas (rasa keberagamaan) yang kokoh, maka pada pendidikan keagamaan, selain ditujukan untuk menumbuhkan sikap religiousitas, juga untuk menjadi ahli ilmu agama Islam, yakni Ulama/Colon Ulama. Pendidikan agama inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah umum dan madrasah dalam arti sekolah umum yang berciri khas keagamaan, misalnya keagamaan Islam untuk madrasah. Pada sekolah umum dan madrasah ini, materi utamanya bukan agama atau bukan untuk menjadi ahli agama, tetapi pengetahuan umum atau keterampulan lainnya, sedangkan agama menjadi dasar yang menjiwainya. Sedangkan pada pendidikan keagamaan mata pelajaran utamanya bukan umum, tapi pengetahuan agama (tafaqquh fid din), sedangkan pengetahuan umum seperti kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan diajarkan dalam rangka pelaksanaan wajib belajar, dan ditujukan bukan untuk menjadi ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di Indonesia bukan hanya sekedar mata pelajaran, tetapi sebuah konsekwensi logis dari pilihan bangsa terhadap falsafat bangsa, yakni Pancasila, yang mensyaratkan seluruh bangsa Indonesia harus beragama sesuai dengan pilihannya:Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Selain itu juga disebabkan, karena setiap agama tersebut mengemban missi dakwah, yakni selain menanamkan nilai-nilai agama dalam setiap pribadi, juga mencetak para ahli agama yang secara terus menerus dapat mengkader para ahli dalam bidang ilmu agama tersebut. Dengan cara demikian, agama akan terus bertahan dan eksis sepanjang zaman, dan ajaran-ajarannya dapat terus dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman. Sejalan dengan itu, maka masing-masing penganut agama berusaha untuk menyebarluaskan agamanya ke tengah-tengah masyarakat. Dalam kerangka penyebar-luaskan agama atas motivasi keagamaan yang kuat dari para penganut agama masing-masing, maka mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan dan melahirkan para ahli agama. Selanjutnya, karena demikian pentingnya agama bagi kehidupan masyarakat agar beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, maka para tokoh agama melalui berbagai posisi, jabatan dan wewenangnya berupaya memasukan pelajaran agama ke sekolah umum dan lainnya. Dalam konteks agama Islam, upaya memasukan pendidikan agama ke dalam kurikulum sudah berlangsung dari sejak zaman kolonial Belanda. Akh Minhaji dan M. Atho Mudzhar misalnya mengatakan, “Sebenarnya upaya-upaya menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah umum telah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Dalam sidang-sidang Volksraad, usulan tersebut selalu disampaikan, namun tidak pernah membuahkan hasil.[5] Upaya memasukkan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum lebih intensif lagi terjadi setelah kemerdekaan RI. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dalam Kabinet Pertama RI, mengusulkan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah negeri. Selanjutnya berdasarkan keputusan BP-KNIP No. 15 Tahun 1945 tertanggal 22 Desember 1945, antara lain ditegaskan bahwa dalam rangka memajukan pendidikan dan pengajaran yang ada, maka pendidikan yang ada di langgar-langgar dan madrasah-madrasah kendaknya mendapat perhatian dan juga bantuan pemerintah. Kemudian pada rapat tanggal 27 Desember 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada pemerintah, melalui Menteri PPK, tentang perlunya pembaruan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Usulah tersebut antara lain terkait dua hal. Pertama, pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur, seksama dan mendapat perhatian yang semestinya. Kedua, madrasah-madrasah dan pesantren [6]yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pengajaran rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapat perhatian dan bantuan yang nyata, berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah. Usulah-usulan tersebut mendapat respon positif dari Menteri PPK. Dengan dikeluarkannya SK Menteri PPK No. 104/Bhg, tanggal 1 Maret 1946, dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran yang dipimpin Ki Hajar Dewantara dan beranggotakan 51 orang.[7] Panitia tersebut tugasnya adalah merencanakan susunan baru tiap-tiap sekolah; menetapkan bahan-bahan pengajaran yang sifatnya praktis dan tidak terlalu berat; dan menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-tiap kelas. Permasalahan yang dibahas oleh Panitia tersebut antara lain pendidikan dan pengajaran agama, budi pekerti, kewajiban belajar dan bahasa. Dalam sektor pengajaran agama, panitia tersebut melahirkan beberapa keputusan, antara lain: (1)hendaknya agama menjadi salah satu pelajaran yang diberikan di Sekolah Rakyat (SR); (2)Guru agama disediakan oleh pihak Kementerian dan dibayar oleh Pemerintah; (3)Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum, dan untuk itu harus didirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA); (4)Pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya.[8] Selain itu, dinamika pendidikan agama dan keagamaan pada sekolah dan madrasah juga ditandai oleh adanya usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus. Dialah salah satu tokoh yang berupaya memperjuangkan masuknya pendidikan agama Islam ke sekolah umum. Setelah Mahmud Yunus pindah ke Pematangsiantar pada bulan November 1946, sebagai kepala bagian Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera Utara, ia mengusulkan kepada Kepala Jawatan PPK Provinsi Sumatera Utara, Abdullah Nawawi, agar pelajaran agama dimasukkan ke dalam daftar pelajaran sekolah-sekolah negeri, mulai dari SR, SMP dan SMA. Usulan tersebut direspon positif oleh Kepala Jawatan PPK Provinsi Sumatera Utara dan rencana pengajaran agama yang sudah ditetapkan di Sumatera Utara dapat diterima dengan baik pada bulan Januari 1947.[9] Upaya memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum lebih lanjut terjadi pada proses lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran. Pada Bab XII, Pasal 20 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran agama tersebut atau tidak. Selanjutnya pada ayat (2) Pasal tersebut dinyatakan, bahwa cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.[10] Dalam perjalanan selanjutnya, pendidikan agama baru benar-benar masuk ke dalam kurikulum sekolah umum, setelah keluarnya Undang-undang Repulik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat (2) Bab IX, Pasal 37 Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a)pelajaran Pancasila; (b)pendidikan agama, dan (c)pendidikan kewarganegaraan.[11] Masuknya pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib pada sekolah umum lebih lanjut dikukuhkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab X, Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Sisdiknas tersebut dinyatakan, bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat (a) pendidikan agama, (b)pendidikan kewarganegaraan, (c)bahasa Indonesia, (d)matematika, (e)imu pengetahuan alam; (f)ilmu pengetahuan sosial (g)seni dan budaya; (h)pendidikan jasmani dan olahraga; (i)leterampilan/kejuruan, dan (j)muaatan lokal.[12] Uraian tersebut memperlihatkan, bahwa dari segi masuknya pendidikan agama dan keagamaan ke dalam kurikulum sistem pendidikan diwarnai oleh dinamika yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut. Pertama, dari segi waktunya, perjuangan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sistem pendikan nasional memakan waktu lebih dari 63 tahuan. Yakni mulai dari tahuan 1940 sampai dengan tahun 2003. Kedua, dalam kurun waktu yang panjang ini, telah melibatkan sejumlah tokoh nasional seperti Ki Hajar Dewantara, Mahmud Yunus, dan tokoh-tokoh lainnya yang duduk dalam Panitia Penyidik Pengajaran yang beranggotakan 51 orang, Menteri Agama, seperti K.H.Fathurrahman Kafrawi, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, para tokoh partai dan sebagainya. Ketiga, bahwa sebab-sebab begitu sulitnya pendidikan agama masuk ke dalam kurikulum sekolah umum, memang amat kompleks. Sebab-sebab tersebut bukan saja karena masalah sosial masyarakat Indonesia yang heterogeen dari segi strata sosial, politik, ideologi, dan agama, melainkan juga terkait dengan masalah hak-hak asasi manusia, budaya, serta peran dan fungsi agama yang bukan hanya sebagai pengetahuan dan keterampilan melainkan juga sebuah sikap dan pandangan hidup yang mempengaruhi manusia bukan hanya di dunia ini, melainkan juga di akhirat nanti.[13] Sejalan dengan ini Ki.Hajar Dewantara pernah mengatakan, bahwa agama di dalam pengajaran sekolah adalah soal lama dan akan terus menerus menjadi persoalan yang sulit. Hal ini disebabkan karena: (1)sifat pokok dari agama (pemeliharaan rasa Ketuhanan) sebetulnya tidak ada antitesis yang berarti. Sebagian besar rakyat memang berjiwa religius; (2)kesulitan timbul sejak ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk “pengajaran agama”, hakikat religi diwujudkan dengan syari’at agama yang pasti dan tertentu; (3)Tiap-tiap golongan agama sudah selayaknya memajukan tuntutan masing-masing, menurut organisasi keagamaannya; (4)menurut rencana dari pihak Pemerintah Republik Indonesia memang semua aliran agama (Islam, Kristen dan Katolik) dapat kesempatan untuk memelihara agamanya masing-masing itu di dalam sekolah, akan tetapi cara pelaksanaanya belum memuaskan semua golongan agama, atau lebih tegasnya golongan Islam memajukan syarat yang agak berat bagi pemerintah; (5)Di samping itu, ada golongan-golongan yang tidak mufakat pelajaran agama tadi dimasukkan ke dalam daftar pelajaran sebagai “imperatif: vak; dan ada pula yang menuntut pelajaran tersebut hendaknya ditempatkan di luar jam pelajaran. Selain itu timbul pula tuntutan supaya jumlah jam pelajaran itu diperbanyak, juga isi pelajaran, misalnya ditambah dengan bahasa yang dianggap perlu bagi pelajatan agama itu.[14]
C.Corak Pendidikan Agama dan Keagamaan di Sekolah dan Madrasah Dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah dapat pula dilihat dari sifat-sifat dan coraknya. Keadan ini disebabkan karena karakter dari ajaran agama Islam itu sendiri yang cenderung adaptif dan akomodatif terhadap berbagai pengaruh dari luar. Dalam hal ini Amin Abdulah mengatakan, bahwa wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu-meskipun fenomena ini sampai kapanpun adalah ciri khas dari agama-agama yang ada, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok-kelompok terhadap norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.[15] Sementara itu Jalaluddin Rahmat mengemukakan adanya dua macam cara beragama:Ekstrinsik dan Intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motiv-motiv lain:kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa, salat, naik haji dan sebagainya, tetapi tidak di dalamnya. Kata Allport, cara beragama seperti ini erat kaitannya dengan penyakit mental. Sedangkan beragama secara instrinsik yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat agama dipandang sebagai comprehensive commitmen, dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemandu (unifying factor). Cara beragama seperti terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.[16] Dinamika pendidikan agama dan keagamaan juga terjadi karena perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam konteks agama yang berkembang di Barat, misalnya, Amin Abdullah, mengemukakan tentang adanya 4 (empat) model atau pendekatan dalam memahami agama. Pertama, model local, yaitu ketika agama hanya berbicara masalah-masalah lokal yang disampaikan secara verbal atau kata-kata tanpa tulisan. Otoritas keagamaan berada di tangan tokoh lokal yang terkadang bersifat feodal dan oriter. Model dan pendekatan keagamaan yang demikian itu terjadi ketika budaya dan kemampuan teknik tulis menulis belum dijumpai di masyarakat. Kedua, model canonical, yaitu ketika agama sudah dituangkan dalam bentuk tulisan dalam bentuk kitab suci. Keadaan ini terjadi ketika budaya dan teknik tulisan sudah dijumpai dalam masyarakat. Ketiga, model critical, yaitu ketika kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang didasarkan pada model berfikir eksperimen, empirik dan rasional sudah berkembang luas. Temuan-temuan dalam bidang penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut selanjutnya mempertanyakan doktrin-doktrin agama yang selama ini dianut dan dipegang teguh. Dalam keadaan demikian terkadang timbul konflik dan ketegangan, bahwa pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Fenomena seperti ini selanjutnya menimbulkan pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sekuler di Barat. Keempat, model global, yaitu ketika agama tidak hanya bermain di ruang privat, melainkan sudah bermain di ruang global yang bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan. Agama harus mampu menyelesaikan konflik sosial, ketegangan sosial, peperangan, penggunaan nuklir, kerusakan lingkungan hidup, ketidak-adilan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, demokrasi, perdagangan dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, agama tidak lagi dapat menjawab berbagai masalah sosial dengan dirinya sendiri, melainkan harus bekerja sama dengan berbagai bidang keahlian.[17] Fenomen kuatnya pengaruh dari luar berupa perkembangan masyarakat yang menyebabkan terjadinya dinamika paham agama sebagaimana tersebut di atas, terjadi pula pada agama Islam. Dalam hubungan ini, Amin Abdullah merekam tentang adanya empat model pemahaman agama Islam. Pertama, model Ulum al-Din; kedua model al-Fikr al-Islamiy dan ketiga, model Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies. Pada model Ulum al-Din, kajian terhadap ilmu agama terbagi-bagi antara tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sebagainya. Masing-masing ilmu tersebut berdiri sendiri-sendiri, tanpa tegur sapa, bahkan saling menyerang dan mengkafirkan. Model Ulum al-Din yang sebagian besar masih dijumpai pada pesantren salafiyah ini ditandai antara lain oleh sifatnya yang mengulang-ulang (repitifif) dengan assumsi, bahwa ilmu agama sudah selesai (final); mempertahankan yang sudah ada (defensif) dengan assumsi bahwa yang sudah ada itu merupakan hasil karya yang terbaik, dimana generasi yang datang berikutnya tidak akan mampu melampaui ketinggiannya; sektarian, yakni memandang hanya pendapat tertentu yang terbaik, sedangkan pendapat yang lainnya kurang baik, bahkan dianggap keliru; normatif, yakni bahwa yang disampaikan itu merupakan ajaran yang dijamin benar, tanpa mempertanyakan bagaimana membuktikan atau pengoperasikan ajaran yang benar itu dalam realitas; doktriner, yaitu bahwa yang dikemukakan itu merupakan ajaran yang harus diikuti tanpa harus dipetanyakan lagi; a-historis, yakni ajaran tersebut tanpa disertai penjelasan tentang latar belakang kelahirannya, penjelasan tentang tahun, tempat, para pelaku, tujuan dan sebagainya; a-social, yakni ajaran tersebut tidak disertai dengan penjelasan mengenai situasi sosial yang melatar belakangi lahirnya, serta hubungannya dengan berbagai faktor yang ada di sekitarnya. Model ajaran Ulum al-Din ini cenderung idealis, tapi tidak realistik dan tidak aplicable. Selanjutnya pada model al-Fikr al-Islamiy, kajian Islam dilakukan dengan cara menghubungkan antara satu bidang ilmu agama dengan ilmu agama lainnya, mengemukakan latar belakang sejarah dan sosial yang melatar-belakangi lahirnya. Dengan cara demikian, ilmu agama yang diajarkan tidak bersifat doktriner atau normatif, melainkan bersifat historis dan sosiologis, rasional, dan toleran. Melalui kajian ini, semua aliran dalam setiap bidang ilmu diperkenalkan sambil diberikan penilaian, bahwa semua aliran tersebut sebagai sederajat. Yakni betatapun hebatnya pemikiran tersebut tetap mengandung berbagai kelemahan, dan karenanya tidak dapat mengklaim sebagai yang paling benar. Dengan cara demikian, anggapan yang memandang bahwa satu madzhab benar, dan madzhab lain sebagai yang keliru tidak dilakukan lagi. Dengan cara demikian terjadilah sikap toleransi, saling menghargai dan berdialog dalam suasana kemitraan dan saling mengisi. Tidak hanya itu, kajian al-Fikr al-Islamiy ini juga memperkenalkan bahwa Islam bukan hanya sistem peribadatan, melainkan sebuah sistem kebudayaan dan peradaban yang utuh. Model pemahaman Islam dengan pendekatan al-Fikr al-Islamiy ini buat pertama kali diperkenalkan oleh Harun Nasution melalui bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II. Pada jilid I selain dibahas pengertian agama, unsur-unsurnya, dan pengertian Islam dalam arti yang sebenarnya, juga dibahas tentang Aspek Ibadah dan hubungannya dengan moral, aspek sejarah dalam Islam, teologi, dan fikih. Sedangkan pada jilid II dibahas tentang aspek filsafat, tasawuf, aliran modern dan pranata sosial. Dalam membahas tentang kalam misalnya, selain dikemukakan aliran Asy’ariyah, juga dikemukakan tentang Mu’tazilah, al-Maturidiyah, Khawarij, Murjiah, Qadariyah, dan Jabariyah yang dilakukan secara seimbang dan sejajar. Demikian pula dalam bidang fikih, selain dikemukakan berbagai mazhab dalam fikih disertai latar belakang timbulnya juga mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal yang serupa juga dilakukan dalam bidang filsafat, tasawuf dan lain sebagainya. Upaya yang dilakukan Prof.Harun Nasution ini ternyata cukup efektif. Hal ini terbukti dari hilangnya gesekan, pertentangan atau konflik antara sesama ummat Islam sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Kelompok Islam Muhammadiyah yang shalat tarawih 8 raka’at, dengan Nahdlatul Ulama yang shalat tarawih 20 raka’at nampak sudah dapat berjalan berdampingan. Bahkan banyak anggota masyarakat Muslim yang dahulu shalat tarawih 20 rakaat memilih shalat tarawih menjadi 8 raka’at, dengan memandang bahwa perbedaan tersebut dalam posisi yang sama kuatnya. Dalam pada itu model kajian Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies yang selain memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dijumpai pada al-Fikr al-Islamy sebagaimana tersebut di atas, juga telah dilengkapi dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Kajian Dirasat Islamiyah (Islamic Studies) ini didasarkan pada adanya perubahan baru dalam memandang ilmu. Dahulu ilmu asyik dengan dirinya sendiri. Namun di masa sekarang, setiap ilmu harus berkontribusi dalam memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Untuk dapat melaksanakan perannya yang demikian itu, maka setiap ilmu sudah harus saling mendekat dan salaing membantu atau melakukan hubungan mutual simbiotik. Temuan tentang teknik pengobatan dalam Ilmu kedokteran, atau ditemukanya berbagai jenis obat-obatan dalam ilmu farmakologi misalnya, terlebih dahulu harus bertanya kepada fikih mengenai hukum penggunaan teknik pengobatan atau obat-obatan tersebut. Untuk itu masing-masing ilmu harus saling membantu. Demikian pula studi Islam ketika berhadapan dengan adanya persoalan yang menyangkut adanya perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita dalam fikih seperti mengumandangkan adzan, imam shalat, khatib Jum’at, jumlah harta warisan, kesaksian dalam pengadilan, hak menjatuhkan thalaq, masa iddah dalam perceraian bagi kaum wanita, batasan aurat, dan masih banyak lagi, memerlukan bantuan tentang ilmu femenimologi. Demikian pula ketika adanya perbedaan masyarakat dalam menganut paham agama, perbedaan dalam kesadaran menjalankan ibadah, naik turunya gairah beribadah, perpindahan agama, dan sebaganya, maka memerlukan ilmu psikologi agama. Demikian seterusnya. Atas dasar inilah, maka diperlukan adanya pendekatan jamak (multi approaches) dalam menjelaskan fenomena beragama.[18] Dengan demikian, adanya model dan pendekatan studi agama:Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyah ini telah menimbulkan dinamika, bahkan ketegangan yang kreatif, karena masing-masing model paham keagamaan tersebut berupaya menyebarkannya. Namun dalam konteks aplikasinya, sebaiknya ketiga model kajian tersebut melakukan kolaborasi. Dari satu sisi ia bersifat global, menerapkan pola studi Islam (Dirasat Islamiyah) yakni mampu melakukan analisis secara mendalam dan komprehensif dengan menggunakan berbagai macam pendekatan:antropologis, sosiologis, historis, filosofis dan sebagainya; namun pada saat yang sama ia juga seorang yang rasional dan toleran sebagaimana yang diajarkan pada al-Fikr al-Islamy; dan pada saat yang bersamaan ia juga seorang pengamal Islam model Ulum al-Din, denga cara menjadi seorang muslim yang ta’at menjalankan ibadah, tawadlu, rendah hati, shalih, rajin baca al-Qur’an, shalat berjama’ah, berdo’a, shalat tahajjud, puasa sunnah, dan lain sebagainya.
D.Faham Keagamaan di Masyarakat Seiring dengan terjadinya trans-national sebagai akibat dari terjadinya mobilitas vertikal dan horizontal yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan timbulnya paham keagamaan yang beragam di masyarakat. Abuddin Nata dalam bukunya Studi Islam Komprehensif misalnya melaporkan tentang adanya Islam yang normatif, ideologis, politis, formalitas, dogmatis, eksklusif, tekstualis literalis, radikal, fundamentalis, tradisionalis, historis kultural, rasional dan intelektual, substantif, moderat, humanis, transformatif, nusantara, dinamis, aktual, reformis, alternatif, interpretatif, inklusif-pluralis, modernis, kosmopolitan, esoteris, liberal, warna-warni, Islamku, Islam anda, Islam kitam Islam nazhab HMI dan Islam Rahmatan lil Alamin.[19] Dari sekian paham keagamaan tersebut secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama yang lunak (soft) seperti paham Islam moderat, Islam Inklusif, Islam Rahmatan lil Alamin, Islam humanis, Islam transformatif, Islam Nusantara dan Islam kultural. Kedua yang keras (hard) seperti Islam ideologis, politis, radikal, dan fundamentalis. Kedua macam Islam ini nampak terus menunjukkan eksistensinya dengan menggunakan berbagai metode serta menggunakan media teknologi informasi. Keadaan ini terkadang menimbulkan dinamika dan ketegangan yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menimbulkan kerugian bagi ummat Islam sendiri. Islam radikal seperti yang diwakili oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FBI), dan Hizbuttahrir di Indonesia, misalnya terkadang memunculkan gerakannya.[20] Dalam menghadapi dinamika dan ketegangan ini, pemerintah dan sebagian besar kelompok Muslim Indonesia sebagaimana diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) mengedepankan paham Islam yang moderat (tawasuth),[21] Islam yang seimbang (tawazun), Islam Rahmatan lil Alamin, dan juga Islam Nusantara. Namun Islam yang disebut terakhir ini mendapatkan tanggapan dan kritikan dari banyak pihak. Islam yang bercorak lunak ini dikedepankan demi mencapai tujuan yang lebih besar, berjangka panjang, mengutamakan kepentingan bersama, dan lebih khusus lagi dalam rangka menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Melalui model Islam yang soft ini, kita ingin memelihara NKRI sebagai rumah bersama, tempat mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, berkprah dalam berbagai bidang kehidupan, dan tidak ingin rumah Indonesia ini rusak, atau roboh, karena bahayanya amat besar bagi seluruh bangsa Indonesia, lebih khusus lagi bagi umat Islam sebagai mayoritas. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa adanya paham keagamaan yang beragam di masyarakat telah menimbulkan dinamika kehidupan yang luar biasa, dan agar dinamika tersebut tidak menimbulkan bencana, maka diperlukan upaya mengedepankan paham Islam yang ramah, santun, rahmatan lil alamin.[22]
E.Pemberlakuan Kurikulum 2013 Kurikulum Tahun 2013 disusun berlandaskan (1)Yuridis, berupa Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun2006 tentang Standar Kompetensi Luludan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; (2)Landasan filosofis, yaitu bahwa pendidikan adalah proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa; (3)Landasan teoritis, yang melihat kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan ajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran; (4)landasan empiris, yang menekankan, bahwa momentum pertumbuhan ekonomi harus terus dijaga dan ditingkatkan dengan membina generasi muda yang berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur dan mandiri. Kurikulum Tahun 2013 memiliki prinsip (1)bahwa kurikulum bukan hanya sekedar daftar mata pelajaran, tetapi sebagai proses atau totalitas pengalaman belajar peserta didik; (2)standar kompetensi, (3)berbasis kompetensi, (4)membina sikap, keterampilan dan pengetahuan sebagai kemampuan dasarl; (5)memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat, (6)berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik; (6)tanggap terhadap perkembangan Iptek; (7) relevan dengan kehidupan; (8)diarahkan pada pengembangan proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik; (8)mempertimbangkan kepentingan nasional, dan (9)penilaian ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki kompetensi.[23] Berdasarkan landasan dan prinsip-prinsip tersebut, maka disusunlah berbagai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang berkaitan dengan pelaksanaan Kurikulum Tahun 2013. Misalnya Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SD/MI, Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/M.Ts; Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA; Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK. Dalam seluruh Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum tersebut, pendidikan agama menempati urusan pertama sebelum mata pelajaran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Kurikulum Tahun 2013, pendidikan agama mendapatkan prioritas utama. Dibandingkan dengan kurikulum tahun sebelumnya (2004-KBK, dan 2006-KTSP), kurikulum tahun 2013 memiliki ciri-ciri antara lain: (1)pada proses pembelajarannya lebih dipusatkan pada aktivitas peserta didik (student centred); (2)pada pendekatannya menggunakan sacientific approach, discovery dan inquiry learning, baik pada ranah sikap (menerima, menjalankan, menghargai, menghayati dan mengamalkan), pengetahuan (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan menerapkan), maupun keterampilan (mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji dan mencipta); serta penilaian yang bersifat autentik dalam bentuk deskripsi hasil pengamatan, portofolio, uji kemampuan dan sebagainya yang selanjutnya dituangkan dalam kata-kata dan angka. Paradigama baru yang diterapkan pada kurikulum 2013 ini banyak dipengaruhi oleh teori pembelajaran contructivisme sebagaimana digagas oleh John Piaget, John Dewey, William Stern, dan sebagainya. Model pembelajaran ini dipilih dalam rangka menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif, imajinatif, progressif dan mandiri. Sifat-sifat manusia yang demikian itu amat diperlukan dalam rangka menghasilkan manusia yang siap menghadapi tantangan zaman, serta keluar sebagai pemenang (the winner) dalam rangka merebutkan peluang yang tersedia. Adanya kurikulum tahun 2013 dengan ciri-cirinya yang demikian itu pada saatnya harus pula digunakan oleh madrasah dalam mengajarkan pengetahuan agama. Keadaan ini akan menimbulkan permasalahan ketika madrasah tersebut belum siap. Ketersediaan tenaga guru yang terlatih, sarana prasarana, media, bahan ajar, information technologi (IT), ruang laboratorium, bahan pustaka, dan lingkungan sering kali menjadi kendala bagi pelaksanaan kurikulum tahun 2013. Untuk itu guna penerapan kurikulum ini perlu ditempuh cara yang bijaksana dan gradual. Bagi sekolah yang selama ini sudah mencapai tarap internasional (Sekolah Bertarap Internasional-SBI), dan yang telah mendapat akreditasi A, dapat dianjurkan menerapkan kurikulum 2013 dengan waktu persiapan yang lebih singkat. Sedangkan bagi sekolah yang baru mencapai akreditasi B, C atau yang belum terakreditasi diperlukan persiapan yang lebih lama lagi.
F.Penutup Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut. Pertama, bahwa pendidikan agama dan keagamaan telah mengalami dinamika yang luar biasa. Dinamika ini harus dilihat sebagai sebuah proses yang harus dilalui dalam rangka mencapai sosok pendidikan agama dan keagamaan yang lebih dewasa, matang dan sempurna. Namun demikian, proses ini harus disertai dengan usaha perbaikan dan peningkatan dari lembaga pendidikan agama dan keagmaan itu sendiri, terutama dari aspek sumber daya manusia, khususnya tenaga pendidiknya. Kedua, bahwa di antara yang dapat menimbulkan dinamika pendidikan agama dan keagamaan tersebut adalah proses masuknya pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah umum, munculnya paham keagamaan yang beragam, munculnya paham keagamaan garis keras, serta lahirnya kurikulum 2013 yang memiliki paradigma dan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Ketiga, agar dinamika pendidikan agama dan keagamaan tersebut memberi dampak positif bagi keberlangsungan pendidikan agama dan keagamaan di masa depan, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut. (1)membangun kerja sama yang solid dan harmonis di antara para pengambil kebijakan (DPR) dan pelaksana kebijakan (eksekutif), tokoh masyarakat dan segenap komponen bangsa lainnya dalam mengawal perjalanan pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia; (2)mengembangkan paham keagamaan yang moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), peduli pada kemaslahatan ummat manusia dalam jagat raya (rahmatan lil alamin) dalam rangka ikut mempertahankan NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya; (3)khusus dalam rangka menghadapi kurikulum 2013, lembaga pendidikan agama dan keagamaan agar lebih menyiapkan diri, terutama dari segi kesiapan tenaga pendidik, sarana prasarana, perpustakaan, laboratoriim, Information technology (IT), lingkungan dan manajemen.
Daftar Pustaka
Ahmad, Ziauddin, Influence of Islam on World Civilization, (New Delhi:Adam Publishers and Distrubutors, 1996), First Editio Ahmde, Akbar, Discovering Islam Making Sense of Muslim History and Society, Revised Edition, (USA: Routledge, 2002)., Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung:Mizan, 2002), cet. I. Connoly, Peter, (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (terj.) Imam Khoiri dari judul asli Approaches to the Study of Religion, (Yogyakarta:LkiS, 2002), cet. I. Darmawan, Deni, Inovasi Pendidikan, (Bandung:Rosdakarta, 20012), cet. I. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta:LP3ES, 1982), cet. I. Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, (JogjakartaLMejelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962).] Hanafi, Muchlis M, Moderasi Islam, Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, (Jakarta:Lentera, 2013), cet. I. Hery, Sucipto, (ed), Islam Madzhab Tengah, Persembahan 70 Tahun Tarmidzi Taher, (Jakarta:Grafindo, 2007), cet. I. Jabali, Fuad, dkk., Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, (Jakarta:Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Agama Islam, 2011), cet. I. Jabali, Fuad dan Jamhari, (ed), Islam in Indonesia Islamic Studies and Social Transformation, (Jakarta:ICIHEP, 2002), Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I. Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Studi tentang Peraturan dalam Konstitusi Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:LP3ES, 1985), cet. I. Mahmud, Ali Abd al-Halim, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Madrasah, (Mesir: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1425 H./2004 M.), cet. I. Minhaji, Akh, dan Atho Mudzhar, Prof. K.H. Fathurrahman Kafrawie, “Pengajaran Agama di Sekolah Umum”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial Politik, (Jakarta:Diterbitkan atas Kerjasama Indonesia Netherland Cooperation Studies (INIS), Pusat Pengajian Islam dan Masyarakat (PPIM), dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), cet. I. Nata, Abuddin, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I. --------------, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarrta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I. -------------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. XX. -------------,Peta Kearagaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), cet. I. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, (BandungFokus Media, 2010), cet. I. Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta:Gunung Agung, 1970). 1418 H./1998 M.), cet. III. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SD/MI, (Jakarta:Depdikbud, 2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMP/M.Ts, (Jakarta:Depdikbud, 2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMA/MA, (Jakarta:Depdikbud, 2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMAK/MAK, (Jakarta:Depdikbud, 2013). Rahman, Fazlur, Islam, (terj.) Senoaji Saleh, (Jakarta:Bina Aksara, 1987), cet. I. Rahman, Yusuf, (ed), Islam and Society in Contemporary Indonesia, (Jakarta: Interdisciplinary Islamic Studies Program Faculty of Graduate Studies Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2006). Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:Mizan, Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:Bulan Bintang, 1984), cet. I. Sukma, Rizal, and Clara Joewono, Islamic Thought and Movements in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 2007), First Edition. Syatlout, Mahmud, Min Taujihat al-Islam, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), cet. I. Taher, Tarmizi, Ber-Islam Secaea Moderat, (Jakarta Selatan:Grafindo, 2007), cet. I. Tuwah, M, dkk, (ed.), Islam Humanis, (Jakarta:Moyo Segoro Agung 2001), cet. I. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. IV. [1] Madrasah di dunia Islam adalah lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk pendidikan dan pengajaran dan dalam pelaksanaannya berupaya mendidik manusia dalam urusan keduniaan, akhlak, jiwa, akal, kemasyarakatan, politik, perekonomian, perjuangan, dan fisiknya. Lihat Ali Abdul Halim Mahmud, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Madrasah, (Mesir: Dar al-Ta’uzi wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1425 H./2004), cet. I. hal. 5; Di Indonesia, mengalami dinamika dan perkembangan yang cukup pesar, mulai dari madrasah sebagai sekolah keagamaan (diniyah), madrasah menurut SKB-3 Menteri (70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama pada zaman Mukti Ali), Madrasah MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus), Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas keagamaan, dan madrasah diniyah dalam bentuk formal, non formal dan informal. Lihat PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. [2] Lihat Rober Hefner, Civil Islam, Moslem and Democratization in Indonesia; H. Hilaly Basya, “Islam Moderat di Asia Tenggara, dalam Sucipto Hery (Ed.), Islam Madzhab Tengah, Persembahan 70 Tahun Tarmidzi Taher, (Jakarta:Grafindo, 2007), cet. Hal. 389; Fuad Jabali dan Jamhari (ed), Islam in Indonesia Islamic Studies and Social Transformation, (Jakarta:ICIHEP, 2002), hal. 34. [3] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008), cet. I, hal. 148- [4] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008), cet. I, hal. 153-166.
[5] Lihat Akhmad Minhaji dan M.Atho Mudzhar, “Prof. K.H.Fathurrahman Kafrawi:Pengajaran Agama di Sekolah Umum” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI:Biografi Sosial Politik, (Jakarta:Diterbitkan atas Kerjasama Indonesia Netherlands Cooperation Studies (INIS) Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), hal. 48. [6] Pesantren dan madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia yang ditandai oleh adanya pondokan (asrama), mesjid, rumah kiai, kitab kuning, dan santri. Tujuan utama didirikannya adalah untuk menghasilkan orang-orang yang ahli ilmu agama Islam atau ulama, menyebarluaskan ajaran Islam, dan menumbuhkan kebudayaan Islam. Lihat Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, (Jakarta:LP3ES, 1982), halaman 92-93; dan Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:Bulan Bintang, 1984), halaman 151-168. [7] Di awal kemerdekaan, usulah tersebut dikemukakan lagi dan disetujui, khususnya pada masa Fathurrahman Kafrawi menjabat sebagai Menteri Agama RI. Lihat Akh. Minhaji dan M. Atho Mudzhar, Prof. K.H.Fathurrahman Kafrawi..op, cit, hal. 48. [8] Lihat Akh. Minhaji dan M. Atho Mudzhar, Prof. K.H.Fathurrahman Kafrawi..op, cit, hal. 48. [9] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. IV, hal. 128-129. [10] Lihat Naskah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia. [11] Lihat Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992), cet. III, hal. 16-17. [12] Lihat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:Fokus Media, 2010), hal. 20; lihat pula Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Bandung:Fokus Media, 2010), hal. 145. [13] Lihat Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I, hal. 143-144. [14] Lihat Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Jogjakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), halaman. 188-189. [15] Lihat M.Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (YogyakartaLPustaka Pelajar, 1996), cet. I, hal. V. [16] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung:Mizan, 1991), cet. IV, hal. 26. [17] Lihat Amin Abdullah, “Mempertautkan Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamy dan Dirasat Islamiyah, “dalam Marwan Saridjo, (ed), Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2009), cet. I, hal. 265-271. [18] Dalam buku yang diedit oleh Peter Connoly yang berjudul Aneka Pendekatan Studi Agama, dijumpai berbagai pendekatan dalam memahami agama, seperti pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis dan teologis. Demikian pula dalam buku yang ditulis Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, berbagai pendekatan studi agama tersebut telah dijabarkan dan diberikan contoh. Selanjutnya, M. Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Normativitas atau Historisitas telah dibahas pula berbagai macam pendekatan dalam studi agama. [19] Masing-masing paham Islam ini ada tokoh penggagasnya, dan penulis makalah ini memiliki koleksi seluruh buku yang membahas berbagai paham Islam tersebut. Sebagai contoh, Islam Inklusif dibahas oleh Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusid setebal 384 halaman dan diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1997; Sementara itu Tarmidzi Taher Menulis buku Ber-Islam secara Moderat setebal 220 halaman dan diterbitkan tahun 2007; Muhlis M. Hanafi menulis buku Moderasi Islam setebal 295 halaman dan diterbitkan tahun 2013; Fuad Jabali dkk, menulis buku Islam Rahmatan lil Alamin, setebal 206 halaman dan diterbitkan tahun 2011; M.Tuwah, dkk, megedit buku berjudul Islam Humanis setebal 137 halaman dan diterbitkan tahun 2001; Jamhari dan Jajang jahrani menyunying buku Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, setebal 252 halaman diterbitkan tahun 2014; dan Azyumardi Azra, menulis buku Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, setebal 300 halaman dan diterbitkan tahun 2002 oleh Mizan. Semua remakan tersebut lebih lanjut dapat dibaca dalam Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, tahun 2013), dan Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, tahun 1998). [20] Lihat Jamhari dan Jajang Jahrani, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I; Lihat pula Rizal Sukma and Clara Joewono, Islamic Though and Movements in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Center for Strategic and International Studies, 2007), First Publication, hal. 105-126). [21] Islam moderat di Asia Tenggara, selain sebagai gerakan pemikiran yang terbuka dan akomodatif terhadap modernitas Barat, juga menjadi antitesa atas Islam radikal. Lihat H.Hilaly Basya, Islam Moderat di Asia Tenggara, dalam Sucipto Hery (ed), Islam Madzhab Tengah… (Jakarta:Grafindo, 2007), hal. 389. [22] Dalam bahasanya Mahmud Syatlot, bahwa Islam membawa konsep kebahagiaan individu dan jama’ah, akidah, ibadah, ilmu dan harta. Lihat Mahmud Syaltout, Min Taujihat al-Islam, (Mrsir: Dar al-Qalam, 68); Selain itu Islam juga merupakan agama yang mendorong amat kuat agar setiap orang mengembangkan ilmu pengetahuan guna menjadi intelektual untuk mewujudkan kebaikan. Lihat pula Akbar Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society, (USA:Routledge, 2002), hal. 208; Lihat pula Ziauddin Ahmad, Influence of Islam on World Civilization, (New Delhi:Adam Publisher and Istributor), 1996), First Editoon. Hal. Xix. Sementara itu Fuad Jabali dkk, mengatakan, bahwa Islam rahmatan lil alamin adalah upaya menjadikan al-Qur’an untuk mewujudkan kebaikan bagi umat manusia, seluruh alam memesta. Liha Fuad Jabali, dkk, Islam Rahmatan lil Alamin, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 1998), cet. I, hal. 89. [23] Lihat Naskah Akademik Penyusunan Kurikulum Tahun 2013 (Jakarta:Depdikbud, 2013), hal. 3-5. |
Articles >