Articles‎ > ‎

ISLAM MADZHAB CIPUTAT YANG MENASIONAL DAN MENDUNIA

Islam yang membumi tampil dalam bentuk beragam mazhab. Ia merupakan produk ijtihad  (olah pikir) dari sejumlah ulama yang memiliki kapasitas intelektual, moral dan kepribadian luhur. Ia lahir dari sebuah kegalauan mujtahid atas sejumlah problema yang dihadapi ummat; sementara umat sendiri tidak seluruhnya mampu menghadapi problema tersebut karena berbagai keterbatan intelektual dan lainnya yang terbatas. Mazbah kemudian menjadi rujukan dan tempat berselancar bagi peneliti dalam menemukan jawaban atas assumsi dan teori-teori yang dibangunnya. Ia memiliki sisi positif dan negatif. Positif ketika mazhab tersebut dilihat sebagai produk olah pikir yang serba terbatas namun harus dihargai dan dihormati dan agar terus dikembangkan agar dapat menjawab tantangan zama dan mencairkan kebekuan. Negatif ketika mazbah tersebut dianggap sebagai olah pikir yang sudah final dan doktrin yang serba sempurna, dipegang teguh sepanjang zaman, dan antara satu dan lainnya bersikap eksklusif, mengklaim yang paling benar dan yang lainnya dianggap sesat. Sejak tahun 1957 sampai sekarang , di Ciputat, antara lain terdapat Perguruan Tinggi Islam Negeri bernama IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di dalamnya terdapat sejumlah orang yang dianggap memiliki kapasitas dan otoritas untuk melahirkan gagasan dan pemikiran dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Gagasan dan pemikiran mereka itu kemudian diikuti dan dikembangkan tidak hanya oleh organisasi sosial keagamaan Islam melainkan bertransimisi ke hampir semua propinsi di Indonesia. Karakter ini pada tarap selanjutnya melahirkan semacam Islam mazhab Ciputat. Dapatkah gagasan dan pemikiran mereka itu disebut mazhab? Bagaimanakah mazhab Ciputat itu tumbuh, berkembang dan bertransimisi ke berbagai daerah? Kontribusi apakah yang diberikan mazhab Ciputat itu bagi umat, bangsa, negara dan dunia pada umumnya? Dan bagaimanakah para pengikut mazhab tersebut menyikapi mazhab tersebut?

 

1.Pengertian dan Karakter

                Islam sebagai agama dan sumber nilai, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai  berbagai segi kehidupan manusia.[1] Dengan demikian, Islam memiliki sisi yang bersifat teologis dan sisi yang bersifat sosiologis-historis. Dari sisi teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah, dan karena itu sekaligus bersifat transendent. Namun dari sisi sosiologis historis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dan kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial historis ini tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal) tetapi ia juga mengejawantahkan diri dalam institusi-nstitusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.[2] Penjelasan Islam dari segi sudut teologis yang transformatif  ke dalam kehidupan sosial ini lebih lanjut dikemukakan Nurcholish Madjid. Ia misalnya mengatakan:

                Jika kita renungkan lebih mendalam, dapat dikatakan, bahwa tujuan paling penting amalan-amalan keagamaan adalah untuk mendidik kita agar memiliki pengalaman ketuhanan dan menanamkan kesadaran ketuhanan yang sedalam-dalamnya. Sebab dari kesadaran ketuhanan itulah berpangkal, bersumber dan memancar seluruh sikap hidup yang benar, dan dengan kesadaran Ketuhanan itu pula manusia akan dibimbing ke arah kebajikan atau amal saleh yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.[3]

Islam dalam perpaduan pendekatan normatif, teologis, sosiologis, historis dan moral spiritual  inilah yang selanjutnya digunakan untuk mengartikan Islam mazhab Ciputat. Harun Nasution, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut adalah tokoh utama penggagas Islam mazhab Ciputat. Nurcholish Madjid adalah termasuk alumni generasi awal tamatan IAIN Syarif Hidayatullah yang sangat terkenal dan fenomenal dengag gagasan-gagasan modernisme Islamnya. Sedangkan Azyumardi Azra, adalah termasuk generasi awal (al-sabiqun al-Awwalun) yang menyerap gagasan dan pemikiran Islam Harun Nasutioan, semasa sebagai mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  bahkan antara keduanya sudah terlibat secara intent dan subtantif dalam perumusan gagasan Islam mazhab Ciputat selanjutnya. Sedangkan hubungan Azyumardi Azra dengan Nurcholish Madjid terjadi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat. Selain pernah menjabat sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, Nurcholish Madjid pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Gagasan dan pemikiran keislaman dari ketiga tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal dan akar Islam mazhab Ciputat.

Selanjutnya penggunaan kosakata mazbah dalam “Islam Mazhab Ciputat” ini, selain memiliki arti mazhab pada umumnya, yaitu sebagai haluan dan ajaran mengenai hukum Islam yang menjadi anutan umat Islam (ada empat, yaitu mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki),[4] aliran atau sekte keagamaan yang memiliki gagasan dan pemikiran keagamaan dalam bidang teologi. Mazhab ini dalam sejarah cukup banyak jumlahnya. Masyarakat pengikutnya (follower) memilih di antara pendapat-pendapat mazhab tersebut sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Jika di Indonesia atau di kawasan Asia Tenggara pada umumnya masyarakat Islam memilih mazhab Syafi’i dalam bidang fikih dan mazhab Asy’ari dalam bidang teologi, maka di India, Mesir dan di negara-negara kawasan Timur Tengah ada yang memilih mazhab Maliki, Hanafi atau Hambali dalam bidang teologi; namun dalam bidang teologi umumnya memilih mazhab Asy’ari atau Maturi Bukhara. Penggunaan mazhab dalam Islam Mazhab Ciputat lebih luas dari itu, yaitu pengertian mazhab yang dekat dengan makna generiknya. Yaitu mazhab mengandung arti going to leave (tempat yang dituju), departure (arah yang dituju), way out (jalan keluar), escape (lahan atau wilayah), manner followed (ajaran pokok yang diikuti), adapted procedure or policy (tata cara dan kebijakan yang sudah disesuaikan dengan keadaan), road entered upon (jalur untuk memasuki sebuah kawasan), opinion (gagasan atau pendapat), view (pandangan), belief (keyakinan), ideology (sistem keyakinan), trend (kecenderungan),  religious creed (ajaran pokok keagamaan), faith (keimanan), dan denomination (pilihan).[5] Dalam realitanya, Islam Mazhab Ciputat memang tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, karena boleh jadi kalau dirumuskan akan jatuh pada doktrin dan ortodoksi yang justru akan mematikan budaya dan tradisi kebebasan berolah pikir sebagaimana yang digagas dan dikembangkan para tokoh pendirinya. Islam Mazhab Ciputat nampaknya tidak mau terjebat pada formula-formula atau rumusan yang baku sebagaimana yang terdapat pada mazhab-mazhab fikih atau teologi sebagaimana yang dijumpai dalam sejarah. Ketidak-mauan mazhab Ciputat untuk merumuskan formula-formula baku tentang berbagai produk ijtihad, dikhawatirkan keberadaannya dijadikan doktrin yang dipegang teguh yang pada akhirnya akan mengingat, mengurung, mengungkung, dan menjerat para pengikutnya dengan akibatnya membawa kemunduran, sebagaimana yang dijumpai pada berbagai gagasan dan pemikiran yang dikeluarkan seorang ulama, tokoh atau berbagai organisasi keagamaan Islam lainnya. Islam mazhab Ciputat ingin tetap berada pada karakter Islam yang original sebagaimana yang dijumpai dalam al-Qur’an. Yaitu Islam yang berpegang teguh pada spirit  wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu spirit ajaran yang seimbang antara agama (wahyu), ilmu (akal), dan amal (sikap dan perbuatan), ajaran yang menghargai akal sebagai anugerah Tuhan yang harus digunakan secara maksimal, bersikap terbuka (inklusif), moderat, toleran, rasional (mencari makna dan hikmah, serta faktor-faktor yang bisa diterima akal) atas sebuah ajaran atau fenomena sosial, memahami sunnatullah sebagai takdir Tuhan yang tidak dapat diubah, namun dalam waktu yang bersamaan manusia diberikan kebebasan untuk berkreasi (berikhtiar) dalam batas-batas sunnatullah (takdir) tersebut, dan tidak memilih paham takdir yang membawa akibat sikap fatalistik, jumud, beku, pasrah dan menyerah, mengandalkan Tuhan tanpa usaha, sebagaimana yang dijumpai dalam masyarakat Islam tradisional, berbicara berdasar data (berbasis research), menghargai pendapat orang lain, dan memandang mazhab sebagai kumpulan hasil olah pikir (ijtihad) yang tidak pernah final, dan karenanya dapat diperbaharui setiap saat. Karakter berfikir keislaman yang  utuh, komprehensif dan integrated dari berbagai  sudut pendekatan (multi approaches): normatif, teologis, spiritual, moral, sosiologis, antropologis, historis, filosof, kultural, dan sebagainya. Islam yang seperti itulah yang nampaknya dianut oleh Islam mazhab Ciputat. Yaitu Islam yang menampilkan wajah yang utuh, komprehensif, holistik, dan integrated dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dengan demikian, Islam Mazhab Ciputat dapat diartikan sebagai Islam yang digali melalui proses dialogis yang intent, saling menghargai dan menghormati antara ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan berbagai fenomena dan realitas sosial yang sifatnya saling mengisi dan melengkapi. Hasil proses dialogis ini dianggap sebagai sesutau yang tidak pernah selesai, dan akan terus diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Islam mazhab Ciputat menjangkau spektrun ajaran Islam yang dipahami secara aktual dan kontekstual, sehingga Islam dapat berdialog, berkolaborasi, bekerja sama, dan bertransformasi ke dalam berbagai kehidupan sosial. Islam mazhab Ciputat membekali setiap orang untuk mampu mentransformasikan, mengcontextualisasikan, dan mentransformasikan ajaran Islam dengan berbagai kehidupan masyarakat, serta dapat bergandeng tangan dengan semua umat dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya, aliran, partai dan lain sebagainya yang memiliki kesamaan visi untuk memajukan kehidupan yang berbudaya, beradab dan mensejahterakan seluruh umat manusia. Islam mazhab Ciputat pada akhirnya berujung pada mengupayakan terwujud missi Islam yang rahmatan lil alamin.

Sedangkan Ciputat itu sendiri adalah nama sebuah Kecamatan di Kota Tangerang Selatan, Banten. Keterkaitan Ciputat dengan Islam mazhab Ciputat ini, adalah karena di Ciputat ini berkumpul sejumlah tokoh, ulama, dan pemikir Islam yang gagasan dan pemikirannya tidak hanya diikuti oleh orang-orang yang ada di Ciputat melainkan di berbagai propinsi lainnya di Indonesia, bahkan manca negara. Sejumlah tokoh, ulama dan pemikir Islam itu menimba, meneliti, mengembangkan dan mentransfer ilmunya melalui lembaga pendidikan tinggi Islam yang bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktifitas para tokoh, ulama dan pemikir Islam tersebut mendapat dukungan kuat dari sejumlah organisasi kemahasiswaan Islam yang berada di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terdapat sejumlah tokoh yang diidentifikasi sebagai yang memiliki paham Islam mazhab Ciputat dengan ciri-ciri sebagai berikut.

Pertama, Harun Nasution memiliki corak pemikiran Islamnya yang rasional, toleran, moderat, inklusif, progressif, dan inovatif. Gagasan dan pemikirannya ini tidak hanya untuk kepentingan akademik dan pengembangan wawasan akademik saja,  melainkan untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam. Ia misalnya sering mengatakan, bahwa di antara penyebab kemunduran Islam adalah karena menganut teologi jabariyah (fatalism), mendahulukan kepasrahan pada Tuhan sebelum usaha, paham takdir yang tidak berbasis sunnatullah, sikap jumud, dan tertutupnya pintu ijtihad. Untuk itu mewujudkan keadaan Islam yang demikian itu, Harun Nasution mengajak umat Islam untuk bersikap toleran, tidak fanatik dan tidak sektarian, menghormati dan menghargai pendapat orang lain, memasukan mata kuliah studi Islam yang komprehensif dan berbagai aspeknya, serta mata kuliah umum, seperti sosiologi, sejarah, filsafat, perbandingan agama dan statistik, merubah metode pengajaran yang lebih dialogis; mengajak mahasiswa bersikap rasional,  kritis, objektif, dan komprehensif. Dalam hubungan ini, Harun Nasution, mengatakan, bahwa dalam Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M.). Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M.).[6] Harun Nasution, juga sangat mendorong perlunya melakukan pembaharuan dalam Islam. Upaya ini didasarkan pada kegalaunnya, tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke sembilan belas yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern.[7] Guna menumbuhkan berfikir rasional ini, Harun Nasution memperkenalkan dan mengajarkan mata kuliah Filsafat, suatu mata kuliah yang di tahun 70-an dianggap sebagai mata kuliah yang haram dipelajari oleh umat Islam karena khawatir umat Islam menjadi murtad, dangkal imannya, mendewakan akal pikiran, dan meninggalkan wahyu. Harun Nasution justeru sebaliknya mengatakan, bahwa antara agama dan akal tidak saling bertentangan. Al-Qur’an mengajarkan manusia agar menggunakan akalnya. Dan Nabi mengatakan, bahwa agama adalah sesuai dengan akal, dan tidak akan beragama bagi orang yang tidak berakal. Bahkan ajaran-ajaran agama nampaknya melampaui kemampuan akal manusia, atau bahkan ajaran Islam terlalu berat untuk dipahami oleh umat Islam. Akibat dari keadaan yang demikian, umat Islam hanya memeluk agama secara formalitas, emosionalitas, dan tidak tidak dapat menangkap ajaran yang dalam guna membawa kemajuan. Umat Islam tak ubahnya seperti keledai yang menggendong-gendong taurat di punggungnya. Namun sampai mati keledai tersebut tidak dapat memahami kandungan taurat itu. Guna membangkitkan semangat rasionalitas, menghargai dan menggunakan akal dalam beragama, Harun Nasution memperkenalkan pemikiran sejumlah filosof, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Ibn Tufail, melalui bukunya yang berjudul Filsafat dan Mistisisme dalam Islam.[8] Khusus untuk meyakinkan bahwa menggunakan akal sangat dianjurkan dalam Islam, Harun Nasution menulis buku Akal dan Wahyu. Di dalam buku tersebut Harun Nasution menyatakan bahwa akal digunakan dalam memahami tauhid, fikih, dan tafsir.[9] Berbagai kalangan melihat banyak sisi yang ditampilkan Harun Nasution. Nurcholish Madjid misalnya memandang Harun Nasution sebagai penganut paham teologi Muhammad Abduh yang dekat ke teologi rasional Mu’tazilah. Sementara yang lainnya, menilai Harun Nasution sebagai orang yang mengembangkan pemikiran toleransi dan moderat yang memungkinkan dilakukannya kerjasama antar umat beragama.[10]

 Kedua, Nurcholish Madjid. Terkait dengan gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid dapat dijumpai dalam berbagai karya tulisnya.  Menurut M. Dawam Rahardjo, bahwa maksud dari berbagai tulisan Nurcholish Madjid, adalah memberi landasan teologis, terutama bagi golongan intelektual, agar mampu memberikan responsi positif terhadap modernisasi, tetapi tetap bertolak dari mengacu kepada iman-Islam.[11] Pendapat ini sejalan dengan yang dijumpai dalam karya monumental Nurcholish Madjid yang berjudul Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan dan Kemodernan. Dalam buku tersebut, Nurcholish memaparkan kajian mendalam tentang iman yang jauh berbeda dengan kajian tentang iman sebagaimana yang dijumpai dalam buku-buku keimanan yang terdapat dalam berbagai kitab kuning yang cenderung teo-centris, membahas sifat-sifat Tuhan berdasarkan dalil naqli (al-Qur’an dan hadis) tanpa dihubungkan dengan kehidupan manusia secara kontekstual dan aktual. Iman dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki keterkaitan dengan tata nilai Rabbaniyah, emansipasi dan hakikat kemanusiaan, perwujudan masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Iman menurut Nurcholish Madjid juga terkait dengan upaya memajukan masyarakat. Di dalam buku itu juga Nurcholish berbicara tentang disiplin ilmu keislaman tradisional:kalam, fiqih dan tasawuf; konsep kosmologi, antropologi, hukum, universalisme Islam, Islam dan kedudukan bahasa Arab, menangkap kembali dinamika Islam klasik dan kosmopolitanisme, makna modernitas dan tantangannya, ajaran nilai etis dan kitab suci, penggunaan bahan-bahan modern untuk memahami Islam, konsep keadilan dalam Qur’an, masalah teknologi, Islam dan budaya lokal, kaum Muslimin dan partisipasi sosial politik, serta reaktualisasi nilai kultural dan spiritual dalam proses transformasi masyarakat.[12] Gagasan-gagasan Nurcholish Madjid yang demikian aktual, kontekstual, segar, responsif, inovatif dan modernis ini pada hakikatnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan induk beliau yang tertuang dalam buku Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi buku wajib dalam pelatihan dan pengkaderan di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam, dan telah dikaji lebih lanjut oleh Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Mazhab HMI Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Namun sungguhpun Nurcholish begitu berani mengemukakan gagasan dan pemikiran yang di tahun 70-an masih tergolongan langka, bahkan bisa menimbulkan kejutan-kejutan, namun  dari sejak awal Nurcholish Madjid mengingatkan agar hat-hati dalam memahami agamanya. Menurutnya berbicara tentang agama memerlukan sikap ekstra hati-hati. Sebab sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat bersifat individual yang dipengaruhi latar belakang dan kepribadiannya. Agama adalah penyataan keluar sifar hanif manusia yang telah tertanam dalam alam jiwanya. Maka beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan manusia secara esensial.[13]  Guna memudahkan dalam memetakan gagasan modernitasnya, Nurcholish terlebih dahulu mencoba mengidentifikas komunitas Muslim yang ada di Indonesia ke dalam enam kelompok. Pertama, gerakan al-takfir wa al-Hijrah di Mesir yang ultra ekstrim (Q.S.3:193), mencukupkan segala kesalahan dan dosa yang telah terjadi baik sengaja atau tidak sengaja. Kedua, kelompok revolusioner yang tidak percaya pada pendekatan-pendekatan konstitusional dan legal untuk memperjuangkan ide-ide mereka, tetapi hanya mempercayai cara-cara radikal dan revolusioner, tetapi tidak sampai mengkafirkan orang lain. Ketiga, kelompok konstitusional yang umumnya merupakan warisan kejayaan politik Islam di Indonesia zaman Masyumi. Keempat, kelompok akomodasionis yaitu orang-orang yang bekerjasama dengan Pemerintah. Kelima, kelompok oportunis yaitu orang yang mengaku berjuang untuk Islam, tetapi sebenarnya tidak yakin akan ajaran Islam. Keenam, kelompok silent majority, yaitu mreka banyak sekali, tetapi tidak berfungsi apa-apa; mereka kelompok otomis, seperti unggukan pasir yang masing-masing lepas.[14] Dalam upaya memajukan kehidupan ummat Islam,  Nurcholish juga mengajukan gagasan tentang sekularisasi (bukan sekularisme), yakni memperlakukan hal-hal yang agama sebagai agama, dan yang bukan agama. Ketika orang-orang non Muslim mencapai kehidupan yang sukses secara sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain sebagainya, sesungguhnya karena ia mengikuti aturan-aturan Tuhan yang sifatnya universal yang apabila dilakukan dengan benar, Tuhan akan memberikannya tanpa memandang keagamaannya secara formal. Kegiatan dalam bertani, beternak, berdagang, dan sebagainya ada operating prosedurnya atau sunnatullah-nya. Jika sunnatullah itu dilakukan dengan benar dan konsisten, maka tanpa mempersolkan agamanya, akan tetap sukses.Sunnatullah itulah yang disebutnya sebagai yang bukan agama (bukan ajaran) tapi sesuatu yang bersifat teknis dan lintas agama. Selain itu Nurcholish Madjid mengung gagasan tentang Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, mendorong perkembangangan ilmu pengetahuan, kehadiran Tuhan dalam kehidupan, manusia sebagai makhluk individu dan masyarakat, ikhtiar dan takdir yang dikembalikan kepada semangat al-Qur’an dan Hadis yang mendorong usaha keras dan sungguh-sungguh dari manusia.[15] Nurcholish juga memang, bahwa sebetulnya tidak ada masalah apabila kita sebagai seorang Muslim berpedoman pada ajaran Islam, memandang segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.[16] Selain itu Nurcholish juga punya perhatian terhadap citra partai politik yang menggunakan label Islam, tapi prilakunya tidak Islami, seperti gontok-gontokan, fitnah, caci maki dan tindakan tidak terpuji lainnya pada saat pemilihan ketua partai, perebutan jabatan di dewan perwakilan rakyat, pemilihan kepala daerah dan sebagainya. Untuk itu Nurcholish Madjid mengatakan: Islam Yes, Partai Islam No. Islam yes dimaksudkan bahwa mengamalkan ajaran Islam secara substantif dan kultural, walaupun tidak menggunakan label Islam, adalah sesuatu yang baik. Sedangkan “Partai Islam no”, dimaksudkan bahwa menggunakan label Islam tapi tidak mengamalkan ajaran Islam adalah tidak baik, karena dapat merusak citra Islam sebagai agama yang mulia. Menurut Cak Nur, demikian biasa Nurcholish Madjid disapa, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, bahwa partai-partai yang mengklaim sebagai pertai Islam masalah sering sekali tak Islami. Bahkan terlihat tidak memperjuangkan Islam, tetapi kepentingan elit politiknya dan kepentingan pribadi. Jadi nilai-nilai Islam yang masuk dalam politik, hendaknya tidak dalam bentuk klaim-klaim eksklusif sebagai partai Islam, Yang namanya partai Islam, belum tentu tingkah laku elit politiknya Islami, sebagai contoh, mereka gontok-gontokan memperebutkan kekuasaan. Padahal Islam mengajarkan supaya mereka berdamai.[17]

Gagasan modern Nurcholis Madjid lebih lanjut nampak pada bidang pendidikan pondok pesantren. Pada bukunya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren Nurcholish Madjid misalnya mengemukakan tentang berbagai kelemahan dunia pesantren, antara lain pada aspek kepemimpinan yang sentralistik, manajemen yang berbasis keluarga, kurikulum yang dikhotomis, lingkungan yang kumuh dan semrawut, wawasan kebersihan dan kesehatan yang rendah, jiwa interpreneur yang lemah, dan kurang percaya diri.

Dengan memperhatikan berbagai gagasannya itu, kalangan intelektual pada umumnya melihat bahwa gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid berkisar pada masalah Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan secara harmonis. Dengan kesederhanaannya, ia juga dinilai sebagai seorang muslim asketis yang berfikiran modern berspirit perjuangan. Dan dari segi metode dan pendekatannya dalam merumuskan gagasan dan pemikirannya, Nurcholish Madjid memiliki kemiripan dengan Falur Rachman yang menggukana model double movement. Teknis operasionalnya, model ini dilakukan dengan cara melacak, mengkaji dan mendalami warasan khazanah Islam di masa klasik (golden Age) dengan tujuan bukan untuk sekeder nostalgia, romantisme, menghibur diri, atau berbangga-bangga serta menutupi kekurangan dan ketidak berdayaan yang dirasakannya, melainkan untuk diambil spirit dan inspirasinya untuk mengkontruksi gagasan dan pemikiran baru guna mengatasi masalah yang dihadapi sambil mendialogkan dan melengkapinya dengan ide-ide dan gagasan pemikir dari Barat untuk diambil sebuah sintesis. Kemampuan Nurcholish Madjid yang mirip Fazlur Rahman, terbilang sebagai sesuatu yang jarang bisa dilakukan para pakar Muslim atau para ulama khususnya sebagai akibat minimnya persyaratan kemampuan bahasa, keluasan bacaan, serta kekuatan spirit penggalian ide-ide dan gagasan dari al-Qur’an. Nurcholish dapat melakukan proses dialektika antara warisan klasik Islam dan ide-ide modern dari Barat, karena Nurcholish memiliki  modal kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang kuat yang ia miliki  selama belajar di  Pesantren Darul Ulum-Jombang, Jawa Timur, Pondok Modern Gontor Ponorogo, Jurusan Sastra Arab selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta studi di Chicago, Amerika Serikat. Dengan modal kemampuan bahasa Arab yang kuat, ia dapat membaca berbagai literatur klasik berbahasa Arab karangan para tokoh pemikir Islam kelas dunia, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ikhwan al-Shafa, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, al-Mawardi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi. Sedangkan dengan kemampuan bahasa Inggrisnta, ia dapat membaca, memahami, dan menggali gagasan-gagasan pemikiran modern Barat dalam berbagai bidang, seperti pemikiran sosiologi dari Augus Comte, Thomas Aquinas, Schumacher; pemikiran sejarah seperti dari Philip K. Hitti, H.A.R. Gibb, Thomas W. Arnold; pemikiran empirisme eksperementalis dari Roger Bacon dan Pransic  Bacon, pemikiran politik John Locke dan Montesqui, Robert Bellah, dan Snouck Hurgronye; pemikiran agama dari Wilfred Canwil Smith, dan Joachim Wach; pemikiran ekonomi dari Adam Smith; berbagai pemikiran aliran filsafat:naturalisme, existensialisme, sosioalogis, pragmatisme, materialisme, humanisme, radikalisme, liberalisme dan sebagainya dengan penuh hati-hati, memilah dan memilih, sehingga ada yang ditolak, dan ada pula yang diakomodir. Kemampuan dalam bidang bahasa, metodologi berfikir dan kesungguhan untuk memberikan jawaban dan solusi untuk mengatasi keterbelakangan umat inilah yang menyebabkan Nurcholish Madjid dalam melakukan model double movement atau dialektika yang produktif. Hasil dialektika dan sintesis Nurcholish Madjid terkadang tidak terjangkau oleh nalar para tokoh muslim dan ulama pada umumnya, sehingga gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid itu terkadang menimbulkan resistensi dan ketegangan-ketegangan, hingga karena yang disebut terakhir ini tidak mampu mengimbangi kemampuan yang dicapai Nurcholish Madjid, sehingga sering menuduhnya sebagai seorang yang sekuler, pluralis dan liberal. Seluruh gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid ini diarahkan untuk memajukan Islam dan umatnya. Pilihannya bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan memimpinnya sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1967-1969) dan (196901971), karena organisasi ini memiliki tujuan: (1)membela negara RI dan menaikan harkat masyarakat Indonesia, dan (2)menjaga dan memajukan agama Islam. Melalui organisasi itu, Nurcholish melakukan pelembagaan ideoologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada tahun 1969 yang menjadi panduan ideologis untuk semua kader HMI. Gagasan dan pemikiran ideologisnya itu lebih lanjt ia sampaikan pada pidato tentang: :Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” pada tanggal 2 Januari 1970. Dari gagasannya ini segera dapat diketahui hal-hal yang mendasari lahirnya gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid, yaitu kegelisahan dan kegalauannya atas kondisi umat Islam Indonesia yang telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan daya tonjok psikologis dalam perjuangannya. Modernisasi yang digagasnya dalam arti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir dan bekerja yang maksimal dinilai oleh Nurcholish Madjid sebagai perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Menurutnya, Islam selalu mengajak umat Islam untuk menjauhkan diri dari dari sikap eksklusif dalam beragama dan lebih menekankan ke arah sikap yang inklusif, dan bahkab pluralis di tengah keragaman agama di Indonesia. Menurutnya, para penganut berbagai agama asalkan beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, maka mereka akan memperoleh pahala dari Tuhan mereka.[18]

 

 

 

Ketiga, Azyumardi Azra,  memiliki corak pemikiran Islam  yang modern, demokratis, moderat, toleran, inklusif, terbuka dan rasional. Pemikiran moderni Azyumardi Azra antara lain nampak dalam bidang pemikiran Islam, pendidikan, dan tasawuf. Melalui kajiannya dalam bidang sejarah dan sosial, Azyumardi misalnya menunjukkan, bahwa modernisasi pemikiran Islam sesungguhnya telah ada akar-akarnya pada ulama di abad ke XVII dan XVIII. Temuannya ini, beliau tuangkan dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara-Haramain Abad ke-XVII dan XVIII. Dalam kaitan ini ia mengatakan, bahwa agama memberikan kepada manusia sejumlah konsep mengenai kontruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengetahuan dan pengalaman empirik kemanusiaa itu sendiri, melainkan dari otoritas ketuhanan.[19] Itulah sebabnya lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan, bahwa persoalan interaksi Islam dan budaya termasuk budaya Melayu, Kalimantan, pada intinya melibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya, “ketegangan” antara doktrin agama yang dipercayai bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nlai budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu sejalan dengan ajaran-ajaran ilahiyah.[20] Dalam melakukan modernisasi pemikiran Islam, Azyumardi juga menyarankan tentang perlunya melihat keragaman yang terjadi dalam memahami Islam. Menurutnya, berbagai sarjana dan peneliti tertentu mendefinisikan Islam dengan menggunakan kriteria formal yang sederhana, seperti penyebutan syahadat atau pemakaian nama Islam, Sedangkan yang lain mendefinisikan Islam dengan cara yang lebih sosiolog, dan suatu masyarakat akan dianggap Islam, jika Islam telah aktual, memberikan prinsip-prinsip yang berfungsi secara aktual bagi segenap lembaga sosial budaya dan politik.[21]

Azyumardi juga menaruh perhatian besar terhadap kemajuan pendikan Islam. Pada bukunya yang berjudul Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Azyumardi tidak kutang dari dua belas topik tentang pendidikan, antara lain pendidikan Islam dan kemajuan sains, ilmu dan tradisi keilmuan dalam masyarakat Islam, modernisasi pendidikan Islam dan epistimologi ilmu, missi profesi dan pendidikan Islam, kebangkitan sekolag elit Muslim, Pesantren dan pembaharuan, surau, pembaharuan IAIN dan pengembangan intelektual Muslim.[22] Selanjutnya Azyumardi juga mencacat berbagai keunikan pesantren di Indonesia dalam melaksanakan agenda pembaharuannya. Ia misalnya mengatakan, bahwa modernisasi pendidikan pondok pesantren di Indonesia tergolong unik, yaitu menerapkan pola menolak sambil sedikit-sedikit menerima dengan cara yang halus dan tidak menimbulkan goncangan. Modernisasi pendidikan pondok pesantren di Indonesia tidak sampai menghilangkan pendidikan pesantren sebagaimana yang terjadi di Turki melalui gerakan sekularisasi Kemal Attaturk, atau gerakan nasionalisasi pendidikan di Mesir yang dilakukan Gamal Abdul Nasher. Terkait dengan pembaharuan pendidikan Islam ini, Azyumardi mengarakan: bahasa dalam dua dasawarsa menjelang millinium ketiga berbagai lembaga Islam mengalami perkembangan dan pembaharuan yang cukup observable. Perkembangan itu pada sebagian lembaga dapat dikatakan sebagai konsolidasi dan pemantapan lembaga-lembaga dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman. Contoh yang observable adalah madrasah dan pesantren yang mengalami penyempurnaan melalui Nomor 2 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[23]  Tidak hanya itu, Azyumardi juga memandang, bahwa modernisasi pendidikan Islam, dalam batas-batas tertentu, sesungguhnya telah terjadi pada zaman yang oleh Harun Nasution disebut sebagai periode pertengahan antara abad ke 13 sd akhir abad ke-18. Azyumardi melihat, bahwa modernisasi pendidikan agama telah terjadi pada abad ke-17 dan 18 M, antara lain munculnya neo sufisme yang mengkonsolidasikan atara tasawuf dan fikih yang semula bermusuhan, keterlibatan para ulama dalam kehidupan pemerintahan; dan timbulnya gerakan intelektual di kalangan ulama nusantara, dalam bentuk penulisan buku-buku keagamaan Islam.[24]

 

 

 

Selanjutnya gagasan pemikiran tentang demokrasi Azyumardi Azra, banyak dihubungkan dengan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila, bukan demokrasi yang berkembang di Barat. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang menghargai kemanusiaan, persatuan Indonesia, musyawarah mufakah dan ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial.  Itulah sebabnya ketika berbicara tentang nasionalisme dalam hubungannya dengan demokrasi, Azyumardi  mengutip pendapat Soekarno yang mengatakan. “Nasionalisme kita… bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka. Ia adalah nasionalisme yang lebar. Nasionalisme yang tumbuh daripada pengetahuan atau susunan dunia dan riwayat. Ia bukanlah :”Jinggo nasionalisme: atau “Chauvanisme,” dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu… nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakas Tuhan” dan membuat kita hidup dalam roch.[25] Dalam konteks demokrasi di Indonesia ini, Azyumardi  menulis gagasannya itu dalam berbagai buku dan artikel di Indonesia. Ia misalnya mengatakan, bahwa demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi yang nilainya rendah, atau demokrasi yang cacat, karena masih diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak terpuji, seperti mony politic, konspirasi, transaksional dan sebagainya. Selanjutnya gagasan dan sikap moderat Azyumardi Azra, pada sikapnya yang kurang suka pada ajaran Islam yang fanatik dan sektarian. Yaitu ajaran Islam yang hanya membenarkan pahamnya sendiri, tidak menghargai dan bahkan menganggap sesat ajaran Islam yang dianut orang lain. Azyumardi menginginkan suatu pandangan Islam yang moderat, kompromistis,  toleran, damai dan terbuka. Dalam kaitan ini, Islam yang moderat dan toleran, Azyumardi mengemukakan hasil observasi sosiologis dan historinya dengan mengakatan: Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur budaya lokal itu membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain, sering dianggap sebagai pinggiran, selain secara geografis, Indonesia adalah negeri Musoim yang paling sedikit mengalami Arabisasi, misalnya tidak menggunakan huruf Arab sebagai bahasa nasionalnya.[26]

 

D. Jaringan Transmisi Islam Mazhab Ciputat

                Gagasan dan pemikiran Islam Mazhab Ciputat yang digali, dirumuskan dan dikembangkan Harun Nasution disalurkan melalui berbagai saluran. Pertama, melalui jalur fungsi dan jabatan yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai dosen dan tokoh cendekiawan Muslim yang disegani, Harun juga menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1973-1981). Dalam kedudukan sebagai dosen, Harun Nasution dengan istiqamah memberikan kuliah pada mahasiswa seluruh strata. Pada mahasiswa strata 1 (S1) Harun Nasution memberikan matakuliah pengantar studi Islam melalui buku Islam ditinnjau dari Berbafai Aspeknya sebanyak dua jilid. Melalui mata kuliah ini, Harun Nasution memberikan wawasan Islam yang luas, rasional, toleran dan modern. Para mahasiswa yang pada umumnya memiliki latar belakang pemahaman Islam yang sempit dan sektarian diubah menjadi memiliki wawasan Islam yang luas dan moderat. Para mahasiswa tamatan pesantren dan madrasah pada waktu itu umumnya diajarkan pemamahan Islam menurut mazhab tertentu, sedangkan oleh Harun Nasution mereka diberikan pemahaman semua mazab dan aliran. Dalam bidang teologi mereka tidak hanya dikenalkan pada mazhab Syafi’I, tetapi juga mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, al-Dzahiri, bahkan mazhab yang terdapat dalam kelompok Syi’ah; dalam bidang teologi, mereka tidak hanya diberikan pemahaman teologi Asy’ariyah, melainkan juga teologi Mu’tazilah, Maturidiayah, dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang tasawuf, tafsir dan hadis diperkenalkan berbagai paham dan corak aliran yang terdapat di dalamnya. Dalam bukunya itu, Harun Nasution juga memperkenalkan aspek ajaran tentang filsafat, sejarah, aliran modern, politik pemerintahan, pranata sosial, kebudayaan, peradaban, dan sebagainya. Selanjutnya pada Program Pascasarjana, Harun Nasution mengajarkan mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, Kalam, filsafat, tasawuf dan aliran modern yang pada intinya merupakan pengembangan dan pendalaman dari materi yang ia ajarkan pada mahasiswa program strata 1. Tidak hanya itu, Harun Nasution juga mengajar berbagai mata kuliah tersebut pada program pascasarjana di berbagai daerah, seperti pada IAIN, Padang, Sumatera Barat, IAIN Palembang, IAIN Medan, IAIN Surabaya, IAIN Aceh dan sebagiannya.  Dalam pengajaran tersebut, Harun Nasution juga menggunakan pendekatan dialog dan dialektika melalui diskusi dan seminar. Para mahasiswa diminta membaca, memahami, menulis dan menyajikan makalah, memberikan jawaban atas masalah atau pertanyaan pada saat diskusi, diajak untuk menggali argumentasi baik dari al-Qur’an, al-hadis, pendapat para ulama, menggunakan data-data sejarah, fakta sosial, atau hasil ijtihadnya sendiri, kemudian diajak menarik kesimpulan yang terkadang berbeda dengan pemahaman yang sebelumnya sudah dimiliki mahasiswa. Sebagai contoh, semula mahasiswa menyimpulkan, bahwa Mu’tazilah adalah aliran sesat dan orang yang mempelajarinya dapat menjadi kafir zindik. Setelah kuliah dengan Harun Nasution, mereka mulai menghargai pendapat Mu’tazilah, tidak menganggapnya tersesat atau kafir, melainkan memandangnya sebagai setara dan sebangun dengan aliran teologi lainnya, dan mereka tahu, bahwa aliran yang selama ini dianutnya (Asy’ariyah) pada mulanya berasal dari Mu’tazilah, dan juga menggunakan logika deduktif dari Aristoteles. Namun Harun Nasution tidak memaksa mahasiswa untuk berpindah pada mazhab tertentu, karena tujuan yang ingin dikejar oleh Harun Nasution adalah agar mahasiswa memiliki pemahaman Islam yang luas, moderat, toleran dan tidak sektarian. Tidak hanya terbuka dan semakin luas wawasan keislamannya, mahasiswa yang disentuh Harun Nasution juga menjadi mahasiswa yang kritis, rasional, terbuka, moderat, toleran, dan terbiasa berdialog dengan berbagai aliran baik dalam intern umat Islam, maupun juga dengan kelompok agama lainnya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution juga disalurkan melalui forum ilmiah, seperti diskusi, seminar, simposium, sarasehan, konsorsium dan sebagainya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution juga ditransmisikan melalui jabatan yang ia miliki. Pada saat ia menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan jabatan yang dimilikinya itu, Harun Nasution berhasil mengembangkan kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan memasukan mata kuliah umum, seperti sejarah dunia, sejarah Indonesia, sosiologi, wawasan sains dan teknologi, antropologi, aliran modern, metodologi penelitian, statistik, bahasa Indonesia, aliran politik, dan sebagainya. Selain itu, Harun Nasution juga merubah pendekatan dan metode perkuliahan, dari yang semula menggunakan pendekatan yang berbasis pada guru (teacher centred) melalui kuliah dan ceramah; menjadi menggunakan pendekatan yang berbasis mahasiswa (student centred) melalui diskusi, seminar dan pemecahan masalah. Harun Nasution juga memasukan dosen dengan latar belakang disiplin ilmu dan keahlian yang beragam, bukan hanya yang berasal dari lingkungan intern IAIN sendiri, melainkan dari berbagai perguruan tinggi umum, dan lembaga-lembaga kajian ilmiah lainnya. Dalam hubungan ini tercatat, nama Prof. Dr. Jujun Suria Sumantri (ahli filsafat Ilmu), Prof. Dr. Sucipto, (ahli kurikulum), Prof. Dr. Deliar Noer (ahli sejarah), dan  Prof. Dr. Anah Suhaenah (ahli metodologi pengajaran) yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta (dahulunya IKIP Jakarta);  Prof. Dr. Edi Swasono (ahli ekonomi),  Dr. Panuti Sudjiman (ahli bahasa Indonesia),  dan Dr.Parsudi Suparlan (ahli antropologi dan sosiologi) yang berasal dari Universitas Indonesia; Prof.Munawwir Sadzali (ahli ilmu tata negara) dari Kementerian Luar Negeri; Prof. Dr. A. Baequni (ahli nuklir) dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Prof. Dr. Karel Stembring (peneliti sejarah) dan John Moeleman (ahli sejarah dan antropologi) dari Belanda; Prof. Dr. Uner Turgey (ahli perkembangan modern dalam Islam) dari MacGill University, Canada; dan masih banyak lagi.

                Murid-murid dan didikan Harun Nasution yang demikian banyak jumlahnya itu pada tahap selanjutnya berupaya menggali, mengembangkan dan menyebar-luaskan gagasan dan pemikiran Harun Nasution pada saat mereka melaksanakan tugas sebagai dosen dan sebagai pemimpin pada berbagai perguruan tinggi Islam dan Perguruan Tinggi umum di berbagai daerah di Indonesia. Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, Prof. Dr. Bachtiar Effendi, Prof. Dr. Atho Mudzhar, dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar misalnya adalah sebagian dari murid Harun Harun Nasution yang sangat diakui kepakaran dan kridebilitas intelektualnya, serta sangat luas pengaruhnya baik di dalam maupun luar negeri. Murid-murid Harun Nasution ini masih dapat ditambah lagi dengan sejumlah dosen yang saat ini telah meraih gelar profesor dan doktor yang aktif dalam berbagai kegiatan penelitian, namun namanya tidak sepopuler dengan beberapa muridnya itu. Azyumardi Azra selain tercatat sebagai

 

 

 

sebagian besar melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran yang ia lakukan mulai dari tingkat strata 1 (S2), Strata 2 (S2), hingga Strata 3 (S3) serta berbagai kegiatan ilmiah lainnya yang menempatkan Harun Nasution sebagai nara sumber.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keempat,Komaruddin Hidayat,

 Kelima, Fachry Ali,

Keenam, Bakhtiar Effendi,

Ketujuh, Mulyadhi Kartanegara. Sebagai murid Harun Nasution, dan orang yang amat dekat dengan Nurcholis Madjid, Mulyadhi Kartanegara yang mendalami filsafat Islam, memiliki ide-ide modern yang berbasis pada warisan khazanah intelektual Muslim pada zaman kejayaan Islam. Ia begitu mendalam berbagai gagasan dan pemikiran para tokoh filsafat dan tasawuf Islam. Gagasan dan pemikiran modernnya, ia menginginkan memajukan umat Islam dengan cara memiliki wawasan al-Qur;an sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan menggunakan pendekatan filsafat dan tasawuf Islam yang sejalan dengan al-Qur’an, Mulyadhi Kartanegara menggagas tentang Integrasi ilmu dengan menggunakan tauhid sebagai basis integrasi, prinsip utama integrasi ilmu, basis integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu, metafisika; integrasi sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi metode ilmiahm integrasi teoritis dan praktis, dan psikologi sebagai sebuah studi kasus.[27] Upaya memperkenalkan integrasi ilmu melalui filsafat ini dilakukan pula dengan cara menerjemahkan buku Sejarah Filsafat Islam yang ditulis Madjid Fakhry dan kata pengantarnya oleh Nurcholish Madjid.

Mansur Fakih (alm.), Saiful Mujani, dan  Oman Fathurrahman, yang pernah berkiprah di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat. Sementara itu Dien Syamsuddin, Sudarnoto Abdul Hakim, Suwito, dan sejumlah tokoh lainnya pernah berkiprah di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat. Sedangkan tokoh lainnya, seperti H.M.Quraisy Shihab, Said Agil Husain al-Munawwar, Nasaruddin Umar,  dan Huzaimah Tahido Yanggo, pernah berkiprah di Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII).

Melalui berbagai karya tulisnya mereka ikut mengembangkan Islam Mazhab Ciputat. Tradisi penggunaan nama kota atau tempat sebagai mazhab sudah lama digunakan. Di kalangan para ahli fikih misalnya dikenal nama mazhab Kufah dan Bashrah. Di Kufah ada Mazhab Hanafi yang banyak berpegang pada al-ra’yu (akal sehat) dalam bentuk qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab Kufah, maka yang ditimbulkan kesan rasionalnya. Sebaliknya Mazhab Bashrah yang kurang berani menggunakan al-ra’yu (akal sehat) atau banyak menggunakan dalil naqli (wahyu), dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab Bashrah, maka yang ditimbulkan kesan tradisionalnya. Demikian pula, ketika orang menyebut Islam Mazhab Ciputat, maka yang terkesan adalah rasional, moderat, inklusif, kontekstual, aktual, integrated, substantif, kultural, holistik dan komprehensif.

 

B.Latar Belakang dan Tokoh Penggagas

                Latar belakang lahirnya Islam Mazhab Ciputat dapat dihubungkan dengan adanya kegalauan sejumlah tokoh Islam dan pemimpin nasional terhadap keadaan umat Islam Indonesia yang terbelakang dan tertinggal dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Umat Islam harus dibina kemampuannya agar mencapai kemajuan dengan cara memberikan pendidikan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Islam yang bermutu, unggul dan modern. Dalam hubungan ini, Natsir misalnya mengatakan: “Pendidikan pondok pesantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang yang beriman dan beprilaku baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia.”[28]

Sementara itu Mohammad Hatta mengatakan, bahwa tujuan pendidikan tinggi Islam adalah:

                  Harus mampu menghasilkan para sarjana Muslim yang mengerti tentang masyarakat yang selalu berubah. Jika mereka tak memahami perubahan masyarakat di sekitarnya, mereka tidak layak memimpin. Alasan tersebut membuat filsafat, sejarah dan sosiologi merupakan komponen-komponen yang sangat penting dimasukan dalam kurikulum Sekolah Tinggi Islam.[29]

                                Sementara itu Satiman mengemukakan  4 hal yang melatar-belakangi lahirnya Sekolah Tinggi Islam (STI), yaitu:

                  Pertama, kesadaran bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan dibandingkan dengan non-Muslim. Kedua, masyarakat non-Muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka. Ketiga, perlunya mengembangkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional. Keempat, dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperkenalkan. Sekolah Tinggi Islam diusulkan perlu untuk menjawab keempat persoalan tersebut.[30]

                Sejalan dengan itu, mendiang Presiden Pertama Indonesia, Soekarno melihat, bahwa keadaan umat Islam di Indonesia pada tahun 60-an berada dalam jurang kemunduran, kekolotan dan keterbelakangan. Dalam hubungan ini, Soekarno menyebutkan 5 faktor yang menyebabkan umat Islam dalam keadaan demikian. Pertama, karena berubahnya demokrasi menjadi aristokrasi, dan republik menjadi dinasti; Kedua, taqlid yang mematikan kehidupan berfikir dalam Islam; Ketiga, berpedoman pada hadits-hadits dhaif (lemah); Keempat, aristokrasi dalam masyarakat Islam, dan Kelima, kurangnya kesadaran sejarah.[31] Selain itu Bung Karno juga galau dengan ajaran Islam yang dianut ummat Islam pada saat itu. Menurut Bung Karno, bahwa ajaran Islam yang dianut oleh umat Islam pada umumnya saat itu adalah ajaran Islam yang sudah kehilangan spiritnya sebagaimana dikehendaki al-Qur’an dan Hadis; ajaran Islam yang tinggal “abu”nya, sedangkan spiriti atau apinya sudah padam. Mereka menganggap cukup sudah mengamalkan ajaran Islam jika sudah shalat, puasa, pergi haji, mengaji al-Qur’an, berzikir, berdo’a, berziarah kubur, dan melakukan ritualitas lainnya. Sedangkan pesan moral, spiritual, disiplin, dan kerja keras dari ajaran ritual yang dipraktekannya itu tidak nampak. Sementara itu paham teologi yang dianut umat Islam juga adalah teologi kepasrahan, fatalistik, dan keterpaksaan. Mereka percaya bahwa nasib manusia di dunia sudah ditakdirkan Tuhan sejak zaman azali. Paham takdir yang sesungguhnya dikehendaki al-Qur’an adalah, bahwa dalam seluruh ciptaan Tuhan ada batas-batas atau ketentuan yang serba pasti yang selanjutnya disebut sunnatullah. Air mengalir ke bawah, api mengarah ke atas dan panas, pertumbuhan fisik manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang dan lainnya berjalan sesuai aturan (takdir) Tuhan. Adanya takdir Tuhan itu merupakan arena bagi manusia untuk melakukan riset dan kajian untuk menemukan hikmah, berupa teori-teori yang selanjutnya diuji dan divalidasi serta dirumuskan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

                Kegalauan yang dirasakan para tokoh Islam dan pemimpin nasional di Indonesia juga dirasakan oleh sejumlah tokoh di berbagai dunia Islam lainnya, seperti Muhammad Iqbal, dan Syed Amer Ali dari India, Fazlur Rahman dari Pakistan, Lodropt Stoddard dan lain-lain. Muhammad Iqbal misalnya memahami Isra’ Mi’raj sebagai upaya memadukan ajaran langit di bumi. Itulah sebabnya apa yang diperoleh Nabi Muhammad SAW dari Mi’raj harus membawa kemajuan di bumi. Sementara itu Syeed Amer Ali melihat bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaur Rasyidin  adalah ajaran yang sudah sangat maju; ajaran yang menyuruh manusia bekerja keras, memeras otak, membanting tulang, berorientasi pada mutu, egaliter, terbuka, menegakkan kedamaian, keadilan, kesederajatan dan berorientasi pada mutu dan kemampuan (meritokrasi). Inilah yang oleh Robert Bellah disebut sebagai Masyarakat Muslim Klasik, yaitu masyarakat yang terbuka, demokratis dan partisipatif), dan bahwa keadaan itu berubah total setelah tampilnya dinasti Bani Umayyah. Oleh karena itu, kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan realitas dalam masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang dilihat Bellah, sebagai “kegagalan” di masa awal itu sendiri, karena belum adanya prasarana untuk menopang prinsip-prinsipn yang disebutnya modern itu.[32]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sementara itu, Fazlur Rahman menemukan empat hal yang membawa kemunduran umat Islam, yaitu kehilangan etos mencari ilmu sebagai ibadah, pandangan yang dikhotomis tentang ilmu, tidak berani berijtihad, dan sikap membeo, hafalan dan verbalistik dalam belajar. Rahman melihat bahwa umat Islam merasa berdosa jika tidak shalat, namun tidak merasa dosa jika tidak belajar; umat Islam menganggap bahwa menuntut ilmu agama adalah wajib hukumnya, sedangkan menuntut ilmu umum bukanlah kewajiban, bahkan bisa merusak akidah. Umat Islam dalam beragama cukup mengikuti ajaran para ulama terdahulu. Dan dalam belajar yang terpenting memahami, mengulang-ulang, menghafal dan memeliharanya.

                Sehubungan dengan itu, Bung Karno memandang perlu untuk memperkenalkan gagasan dan pemikiran Islam dari sejumlah tokoh tersebut kepada masyarakat Indonesia. Untuk itu, Bung Karno merekomendasikan kepada sejumlah tokoh untuk menerjemahkan berbagai buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

                Gagasan dan pemikiran Islam yang progressif dari sejumlah tokoh tersebut itu termasuk di antara bahan bacaan yang dipelajari oleh para dosen dan mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah yang ada di Ciputat. Dengan demikian, terjadi semacam pertemuan antara gagasan Muhammad Natsir, Satiman, Mohammad Hatta, Bung Karno, Muhammad Iqbal, Syeed Ameer Ali, Fazlur Rahman, dengan pemikiran Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, H.M. Quraisy Shihab, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fakhry Ali, Dien Syamsuddin dan lainnya. Latar belakang dari kegalauan sejumlah tokoh inilah yang menjadi latar belakang lahirnya Islam Mazhab Ciputat.

 

D. Kotribusi

 

 

 

 

 

 

 

 

2.Pertumbuhan, perkembangan dan Bertransmisi

3.Kontribusi bagi umat, bangsa dan negara

4. Sikap para Follower.

 

 

 

A.Pengantar

                Ciputat adalah nama salah satu kecamatan yang berada di wilayah Tangerang Selatan, Banten. Lima belas tahun yang lalu, ketika Banten masih termasuk wilayah Jawa Barat, posisi Ciputat berada di wilayah pinggiran, yakni di ujung Utara Jawa Barat; dan di ujung Selatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.Sekarang ketika Ciputat masuk wilayah Banten berada di Tangerang Selatan, yang sesungguhnya lebih tepat disebut berada di ujung Timur Banten, jika dilihat dari garis lurus pusat pemerintah Propinsi Banten saat ini. Pada tahun 60-an, Ciputat masih termasuk wilayah yang tersisolir, bahkan orang menyebutnya sebagai “tempat jin buang anak.” Bahkan ketika penulis mulai menginjakkan kaki ke Ciputat di tahun 75-an, kondisi Ciputat sudah amat sepi. Kendaraan umum yang biasa ngangkut penumpang pada saat itu masih sangat terbatas, antara bis Swift yang tarifnya sekitar 15 rupiah perorang. Ketika masuk waktu maghrib, kendaraan umum nyaris tidak ada. Para pedagang yang mengangkut barang dagangan berupa buah-buahan, sayur mayur atau hewan ternak dari arah Parung ke Kebayoran Lama atau ke Pasar Ciputat yang biasa buka hari Sabtu dan Selasa, menggukan gerobak dari kayu, dengan roda besar yang dilapisi besi dan ditarik satu atau dua ekor sapi, dan terkadang dengan menggunakan speda ontel atau berjalan kaki. Kiri kanan jalan masih ditumbuhi pohon karet dan buah-buahan, dan harga tanah di pinggir jalan pada waktu itu sekitar 10 sampai 15 ribu rupiah permeter persegi. Masyarakat pada waktu itu masih jarang yang memiliki televisi, karena masyarakat masih banyak yang belum mendapatkan aliran listrik. Hiburan favorit masyarakat pada waktu “layar tancep”, yaitu sebuah pertunjukan film layar lebar yang ditancapkan di ruang terbuka, dan penontonnya duduk di rumput atau halaman di sekitar layar tersebut, bersyukur kalau tidak hujan, namun kalau hujan penonton menyelamatkan diri berteduh di emperan rumah atau lainnya.

                Pada tahun 1957 Kementerian Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Ciputat. Tujuannya antara lain untuk menghasilkan tenaga ahli ilmu agama untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Kementerian Agama, juga untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, lembaga dakwah, dan lainnya. Pada tahun 1960, ADIA digabung dengan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang ada di Jogjakarta bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang memiliki fakultas Syari’ah dan Ushuluddin yang ada di Jogjakarta; dan fakultas Tarbiyah dan fakultas Adab yang ada di Jakarta. Pada tahun 1963, fakultas-fakultas yang ada di Jogjakarta setelah ditambah dengan fakultas lainnya berubah menjadi IAIN Sunan Kaligaja, dan fakultas-fakultas yang ada di Jakarta setelah ditambah fakultas lainnya berubah menjadi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penambahan fakultas-fakultas ini sesuai dengan ketentuan, bahwa pada sebuah IAIN minimal harus ada empat fakultas.

                Seiring dengan itu, di sekitar kampus IAIN Ciputat berdiri pula organisasi-organisasi kemahasiswaan  yang berbasis keislaman, keindonesiaan dan kemodernan. Sebagian ada yang berafiliasi, atau yang menjadi anderbou Nahdhatul Ulama (NU) seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang menjadi anderbau Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

                Berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam, khususnya IAIN sebagaimana dikemukakan para pendirinya, Mohammad Natsir, Satiman dan Mohammad Hatta adalah untuk menghasilkan ulama yang intelektua. Yaitu ulama yang  selain memiliki pengusaan dan keahlian ilmu agama yang bersumber kitab kuning (the Yellow Book),  sebagaimana yang umumnya dimiliki tamatan pesantren, juga memiliki penguasaan terhadap ilmu-ilmu sosial, sejarah, filsafat dan lainnya sebagai alat untuk menganalisis, mengaktualisasika, mengkontekstualisasikan dan mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hubungan ini, Natsir misalnya mengatakan: Pendidikan pondok pesantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang yang beriman dan beprilaku baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia.[33] Sementara itu Mohammad Hatta mengatakan:

                  Lembaga Sekolah Tinggi Islam mampu menghasilkan para sarjana Muslim yang mengerti tentang masyarakat yang selalu berubah. Jika mereka tak memahami perubahan masyarakat di sekitarnya, mereka tidak layak memimpin. Alasan tersebut membuat filsafat, sejarah dan sosiologi merupakan komponen-komponen yang sangat penting dimasukan dalam kurikulum Sekolah Tinggi Islam.[34]

                                Sementara itu menurut Satiman ada 4 hal yang melatar-belakangi lahirnya Sekolah Tinggi Islam (STI) sebagai berikut.

                  Pertama, kesadaran bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan dibandingkan dengan non-Muslim. Kedua, masyarakat non-Muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka. Ketiga, perlunya mengembangkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional. Keempat, dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperkenalkan. Sekolah Tinggi Islam diusulkan perlu untuk menjawab keempat persoalan tersebut.[35]

                Sejalan dengan itu, mendiang Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, melihat, bahwa keadaan umat Islam di Indonesia pada tahun 60-an berada dalam jurang kemunduran, kekolotan dan keterbelakangan. Dalam hubungan ini, Soekarno menyebutkan 5 faktor yang menyebabkan umat Islam dalam keadaan demikian. Pertama, karena berubahnya demokrasi menjadi aristokrasi, dan republik menjadi dinasti; Kedua, taqlid yang mematikan kehidupan berfikir dalam Islam; Ketiga, berpedoman pada hadits-hadits dhaif (lemah); Keempat, aristokrasi dalam masyarakat Islam, dan Kelima, kurangnya kesadaran sejarah.[36]

                Itulah di antara obsesi, cita-cita dan keinginan yang berada di balik berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam di Indonesia. Dari sejak berdirinya pada tahun 1957 sd 1970-an, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau IAIN lain pada umumnya masih belum mampu mewujudkan cita-cita para founthing father tersebut. Hal ini terjad karena masih kuat sumber daya manusia, khususnya para dosen yang mengajar di IAIN yang secara umum belum tersentuh ide-ide kemajuan Islam. Kurikulum IAIN pada saat ini masih dikhotomis (hanya mengajar ilmu-ilmu agama), menggunakan rujukan bahan ajar dari kitab-kitab warisan ulama abad klasik dan petengahan (kitab kuning) yang isinya sudah banyak yang kurang mampu menjawab tantangan zaman, sementara pendekatan pembelajaran masih menggunakan teacher centred (berpusat pada dosen), dan metode pengajarannya bersifat repetitif, depensif, receiptif, normatif, dan doktriner, serta menganggap ilmu agama sebagai sesuatu yang sudah final, dan posisi mahasiswa cukup memahami, menghayati dan mengfalnya saja, serta menyampaikannya kepada masyarakat seperti yang mereka terima itu. Melihat keadaan yang demikian, Mukti Ali yang pada tahun 70-an menjabat sebagai Menteri Agama melihat bahwa apa yang terjadi di IAIN pada saat itu tidak sesuai dengan cita-cita berdirinya sebagaimana yang digagas para founthing father sebagaimana disebutkan di atas. Itulah sebabnya, Mukti Ali membubarkan IAIN yang karakternya demikian itu, dari yang semula sekitar 114 buah, menjadi hanya 13 buah dengan menggunakan konsep yang sesuai dengan yang digagas para founthing father. Dari sejak itulah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali kepada khithah awal berdirinya, dan hingga sekarang Islam yang diajarkannya di Perguruan Tinggi telah membentuk semacam Islam mazhab Ciputat.

                Makalah ini akan lebih lanjut akan mengkaji corak Islam mazhab Ciputat, latar belakang, faktor-faktor penyebab, upaya-upaya yang dilakukan para lulusannya, pengaruhnya, serta appresiasi atau penghargaan berbagai pihak terhadap Islam mazhab Ciputat.

  1. Pengertian dan Corak Islam mazhab Ciputat
  2. Latar Belakang
  3. Faktor-faktor penyebab


[1] Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), hal. 24.

[2] Lihat Azyumardi Azra, Pergerakan Politik Islam dari Fundamentalis, Modernis hingga Post-Modernis, (Jakarta:Paramadina, 1996), cet. I, hal. i.

[3] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995), cet. I, hal. 189.

[4] Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hal. 640.

[5] Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (ed), by. J. Milton Cowan, (Beirut: Librarie Du Liban; and London:MacDonald & Evan Ltd, 1974), Third Printing, hal. 313.

[6] Lihat Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung:Mizan, 1416 H./1995 M.), cet. III, hal. 7.

[7] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), cet. I, hal. 9.

[8] Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), cet. II.

[9] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:UI Press, 1986), cet. I,

[10] Lihat Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta:Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan LSAF, 1980).

[11] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesia, (Bandung:Mizan, 1993), cet. V, hal. 30.

[12] Luhat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. II.

[13] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesia, (Bandung:Mizan, 1993), cet. V, hal. 122-123.

 

[14] Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta:Paramadina, 1979), cet. I, hal. 91.

[15] Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta:Kultura GP Press Group, 2007), cet. I, hal. ix.

[16] Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta:Kultura GP Press Group, 2007), cet. I, hal. ix.

[17] Azyumardi Azra, Islam Substantif, Agar Umat Islam Tidak Jadi Buih, (Bandung:Mizan, 1421 H./2000 M.), cet. I, hal. 321.

[18] Lihat Kompas, Sabtu, 27 Agustus, 2016, hal. 7.

[19] Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual da Gerakan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999), cet. I, hal. 229.

[20] Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual da Gerakan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999), cet. I, hal. 229.

[21] Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung:Mizan, 1423 H./2002 M.), cet. I, hal. 17.

[22] Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1420 H./1999 M.), cet. I.

[23] Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual da Gerakan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999), cet. I, hal. 229.

[24] Lihat Azyumardi Azram Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVII, (Bandung:Mizan, 1416 H./1995), cet. III.

[25] Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual da Gerakan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1999), cet. I, hal. 100.

 

[26] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung:Mizan, 1993), cet. Vm hal. 67.

[27] Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press; 2004);

[28] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 3.

[29] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 6.

[30] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 4.

[31] Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1420 H./1999 M.), cet. II, hal. 112-118.

[32] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), cet. V, hal. 63-64.

[33] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 3.

[34] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 6.

[35] Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003 M.), cet. I, hal. 4.

[36] Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1420 H./1999 M.), cet. II, hal. 112-118.

Comments