Articles‎ > ‎

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam memiliki perhatian yang amat besar terhadap masalah kepemimpinan. Perhatian Islam terhadap masalah kepemimpinan ini, antara lain dapat dijumpai penjelasannya di dalam al-Qur’an, al-hadis, pendapat para filosof, dan sejatah Islam, dengan penjelasannya sebagai berikut.
Pertama, di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang berkaitan dengan berbagai aspek kepemimpinan, seperti aspek bentuknya, tugas dan kewajibannya, proses pengangkatannya, kriterianya, dan sebagainya. Di antara ayat-ayat al-Qur’an tentang kepemimpinan tersebit misalnya:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisa, 4:59).
Pada ayat tersebut terdapat dua unsur kepemimpinan. Yaitu unsur istilah kepemimpinan dengan menggunakan istilah Ulil Amri yang secara harfiah berarti orang yang menguasai urusan. Imam al-Maraghy menafsirkan Ulil Amri kepada dua bagian, yaitu Ulil Amri fi al-din yang disebut ulama, dan Uli al-amri di al-daulah, yaitu kepala negara; dan unsur kepatuhan rakyat terhadap kepemimpinan. Yaitu bahwa taat kepada pemimpin itu hukumnya mubah, yakni boleh diikuti sepanjang pemimpin tersebut masih berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, sedangkan jika tidak berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, maka pemimpin tersebut boleh untuk tidak dita’ati. Ketentuan ini dapat dipahami dari teks ayat tersebut yang tidak menyebutkan kalimat athi’u di depan kosakata Ulil Amri. Hal ini berbeda dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya yang didahului oleh kalimat ahi’u (taatilah). Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW riwayat Imam Muslim yang menyatakan: bahwa mendengarkan dan mentaati pemimpin itu selama tidak memerintak kemaksiatan, dan jika ia menyuruh berbuat maksiat, maka tidak wajib dita’ati.




Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah, 2:30).
Di dalam ayat tersebut terdapat tiga aspek yang terkait dengan kepemimpinan, yaitu aspek proses pengangkatannya, orang yang diangkat, dan aspek tempatnya. Proses pengangkatannya dilakukan oleh Allah SWT sendiri, karena pada masa itu belum ada komunitas yang akan memilihnya, sehingga Allah SWT sendiri yang mengangkatnya. Orang yang diangkatnya adalah manusia, yang dalam hal ini Nabi Adam AS yang oleh para Malaikat diprotes, karena dikhawatirkan manusia tersebut akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Sedangkan tempatnya adalah di muka bumi. Selanjutnya jika dilanjutkan pada ayat 31 surat al-Baqarah dijumpai adanya persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin, yaitu memiliki latar belakang pendidikan atau bekal pengetahuan tentang kepemimpinan, sebagaimana yang dilakukan oleh Allah SWT ketika Ia memberikan pengajaran kepada Nabi Adam AS tentang berbagai nama-nama atau teori ilmu pengetahuan. Kemudian jika dilanjutkan kepada ayat 34 dari surat al-Baqarah ini, terdapat kewajiban kepada masyarakat yang dipimpinnya agar menghormati pimpinannya, sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada para malaikat untuk menghormati Nabi Adam AS. Selanjutnya pada ayat 35 surat al-Baqarah terdapat unsur pengalaman yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Yaitu bahwa transitnya Nabi Adam AS di syurga, sebelum turun ke bumi, dapat dipahami, agar Nabi Adam AS memiliki wawasan tentang perlunya mewujudkan bayang-bayang syurga di muka bumi. Dan jika terus dilanjutkan pada ayat 36-39 surat al-Baqarah, akan dijumpai, bahwa seorang pemimpin bukanlah superbodi atau orang yang tidak dapat berbuat salah. Hal ini ditunjukan oleh keadaan Nabi Adam AS yang ternyata dapat digoda oleh Syaithan, sehingga ia melanggar larangan Allah, yaitu memakan buah terlarang, sehingga Nabi Adam AS diusir dari Syurga dan turun ke bumi. Kemudian seorang pemimpin juga dapat menunjukkan keinsyafannya dengan bertaubat kepada Allah SWT, sebagaimana juga diperlihatkan oleh Nabi Adam AS.




Artinya: Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkay muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali Imran, 3:26).
Di dalam ayat tersebut terdapat tiga unsur kepemimpinan. Pertama, unsur istilahnya, yang dalam hal ini adalah istilah al-mulk atau al-malik , yakni kerajaan atau raja. Kedua unsur proses pengangkatannya, yaitu oleh Allah SWT sendiri, walaupun dalam pelaksanaannya tidak secara langsung, melainkan melalui proses hukum Allah SWT. Ketiga, unsur pengaruhnya, yaitu berupa penghormatan dan kemuliaan yang didapatinya.



Artinya: Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan. (Q.S. al-Rahman, 55:33).
Di dalam ayat tersebut terdapat dua unsur kepemimpinan. Pertama, unsur nama atau istilahnya, yaitu al-Sulthan yang secara harfiah diartikan kekuatan, karena dalam realitasnya seorang pemimpin memang memiliki kekuatan berupa wewenang dan kedudukan yang secara hukum memiliki wewenang untuk menggerakan atau memerintahkan segala sesuatu yang berdampak luas, seperti menggerakan pasukang perang, menggerakan masyarakat untuk bergerak, menghentikan bantuan, menjatuhkan hukuman dan sebagainya. Kedua, unsur subjek yang dapat memiliki kekuatan (al-sulthan) tersebut, yang dalam hal ini adalah jin atau manusia. Karena itu, yang dapat membangun kerajaan itu, bukan hanya manusia, melainkan juga komunitas jin.



Artinya: Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami iman bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqan, 25:74).

Pada ayat tersebut terdapat dua unsur kepemimpina. Pertama, unsur nama atau istilahnya, yang dalam hal ini istilah Imam, sebagaimana istilah ini dijumpai dalam ibadah shalat, dan juga dalam kepemimpinan di kalangan Syi’ah yang dihubungkan dengan keturunan Nabi, yang selanjutnya dikenal dengan istilah ahl al-bait. Kedua, unsur subjek yang dapat diangkat menjadi iman, yang dalam hal ini adalah keturunan manusia.




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali debgan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu. (Q.S. An-Nisa, 4:144).
Pada ayat tersebut terdapat tiga unsur kepemimpinan. Pertama, unsur namanya, yang dalam hal ini menggunakan istilah wali atau auliya. Istilah ini misalnya digunakan untuk pemimpin sebuah kota, seperti Walikota, atau pemimpin anak murid, seperti Walimurid. Kedua, unsur prosesnya, yaitu melalui pengangkatannya yang dalam hal ini dilakukan oleh ummat manusia. Ketiga, unsur kriterianya, yang dalam hal ini harus dipilih dari Seorang-orang yang beriman, dan bukan dari orang-orang kafir.
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisa, 4:58).



Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S.al-Nahl. 16:90).
Dua ayat yang disebut terakhir di atas biasanya digunakan oleh para pakar untuk menjelaskan tentang kewajiban yang harus ditegakkan oleh seorang pemimpin. Yaitu bersikap amanah, yakni memelihara tanggung jawab dan menggunakannya secara benar, yakni memberikan dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya, bersikap adil, yakni memberikan beban atau sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan, atau memberikan upah sesuai dengan progres yang dicapainya,  berbuat kebajikan bagi semua orang, yakni berupa memakmurkan masyarakat, serta mencegah terjadinya kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.
Berdasarkan penelusuran beberapa ayat tersebut dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, unsur istilah yang digunakan al-Qur’an untuk kepemimpinan ternyata amat beragam, yaitu Ulil Amri, khilafah, al-imam, al-mulk/al-malik, al-shulthan, dan al-wali/al auliya. Semua istilah tersebut digunakan al-Qur’an sesuai dengan konteknya. Kedua, unsur proses pengangkatannya, yang dalam hal ini dilakukan secara langsung oleh Allah SWT, seperti pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah, dan ada pula yang dilakukan oleh manusia, seperti pengangkatan wali kota. Ketiga, unsur kriterianya, yaitu orang yang memiliki pendidikan, pengalaman, kesanggupan, dan kualitas iman serta moralitas yang tinggi. Keempat, unsur kedudukannya, yaitu sebagai orang yang dimuliakan dan dihormati serta dita’ati oleh rakyatnya. Keempat, unsur keterbatasannya, yaitu bahwa seorang pemimpin itu tidak bersifat mutlak. Ia dapat berbuat salah, dan karena tidak wajib dita’ati lagi. Kelima, unsur wilayah kekuasaannya, yaitu mengatur dan memakmurkan bumi guna mensejahterakan rakyat. Keenam, sifat dan karakter yang harus diwujudkan, yakni bersikap amanah, adil, berbuat baik, dan mencegah terjadinya kemungkaran.
Kedua, di dalam hadis Rasulullah SAW dijumpai sabda Rasulullah SAW sebagai berikut.




Artinya: Setiap kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap kamu sekalian akan ditanya tetang kepemimpinannya. Seorang iman adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya; seorang suami  adalah pemimpin dalam keluarganya, dan Ia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang wanita (isteri) adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya; seorang pembantu adalah pemimpin pada harta majikannya, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya; seorang anak adalah pemimpin pada harta ayahnya, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan kamu semua adalah pemimpin, dan kamu sekalian akan ditanya tentang kelemimpinannya. (H.R.Mutaffaq alaih dari Ibn Umar).
Dalam hadis terdapat terdapat enam unsur kepemimpinan. Pertama, unsur istilah yang dalam hal ini digunakan kata ra’in yang secara harfiah berarti pengembala atau penjaga, dan al-imam yang secara harfiah orang yang berada di depan. Kedua, unsur subjeknya, yaitu semua lapisan masyarakat mulai dari tingkat tinggi sampai tingkat terendah, mulai dari kepala negar, suami, isteri, pembantu dan anak biologis. Ketiga, unsur pertanggung jawaban, yaitu bahwa masing-masing akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh orang yang memberikan jabatan kepemimpinannya di dunia ini, dan juga di akhirat nanti. Keempat, unsur bidang tugas kepemimpinannya yang antara satu dan lainnya berbeda-beda. Seorang imam atau kepala negara ditempatkan pada posisi pimpinan yang tertinggi di atas pemimpin keluarga, rumah tangga dan sebagainya. Sebagai kepala negara, ia memiliki lima fungsi. Pertama, fungsi fact finding, yaitu menyediakan berbagai keperluan rakyatnya. Tak ubahnya sebagai seorang pengembala ternak yang menyediakan rumput yang hijau, subur, bersih, dan banyak, air yang jernih dan berbagai kebutuhan lainnya. Kedua, fungsi directing, yaitu mengarahkan agar hewan ternak yang digembalanya itu dapat mengakses rumput tersebut dengan mudah. Ketiga, fungsi controling, yaitu mengawasi hewan gembalanya agar tidak memakan rumput di kebun milik orang, tidak jatuh kejurang, tidak diterkam serigala, dan sebagainya. Keempat, fungsi evaluating, yaitu menilai secara objektif dan komprehensif seluruh hewan ternaknya agar tidak ada yang sakit, yang mati, atau menghadapi permasalahan lainnya. Kelima, fungsi supervising, yaitu memberikan bimbingan, arahan dan pembinaan. Keenam, fungsi inpiring, yaitu memberikan pencerahan, gagasan, dan jalan keluar bagi yang dipimpinnya agar senantiasa hidup dalam keadaan sejahtera lahir dan batin. Keenam unsur ini dipelajari dan dibiasakan oleh Nabi Muhammad SAW saat ia masih remaja, ketika ia mengembali kambing. Jadi di balik kegiatan pengembala kambing itu ada unsur pendidikan kepemimpinan yang mendalam, yang kelak dibutuhkan pada saat menjadi Nabi dan pemimpin di Mekkah dan Madinah.
Ketiga, di kalangan para ulama, ilmuwan dan filosof dijumpai gagasan dan pemikiran tentang kepemimpinan yang sebagian besar dipengaruhi oleh ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, serta pemikiran dari para filosof Yunani dan lainnya.  Dalam kaitan ini, di zaman tercatat sejumlah nama besar ulama yang memiliki pemikiran tentang kepemimpinan, di antaranya Ibn Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan Ibn Khaldun. Di era kontemporer, terdapat nama pemikir politik, antara lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd al-Raziq, Ikhwan al-Muslimin, Abul Ala al-Maududi,  dan Muhammad Husain Haikal. 
Ibn Abi Rabi’ (hidup abad ke IX M.) misalnya memiliki pemikiran tentang asal usul timbulnya kota atau negara yang didasarkan atas sifat dasar manusia yang dalam memenuhi kebutuhannya memerlukan bantuan orang lain, dan karenanya mendorong mereka untuk hidup kumpul dan menetap di suatu daerah, berupa kota atau negara. Ibn Arabi juga memiliki pemikiran tentang orang yang dapat diangkat jadi pemimpin, yaitu (1)anggota dari keluarga raja, (2)aspirasi yang luhur; (3)pandangan yang mantap dan kokoh; (4)ketahanan dalam menghadapi kesukaran/tantangan; (5)kekayaan yang banyak; dan (6)pembantu-pembantu yang setia. Sedangkan tentang bentuk pemerintahan, Ibn Arabi menyarankan agar mengambil bentuk monarkhi atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk terbaik.
Selanjutnya al-Farabi  (257 H./870 M.-339 H./950 M.) memiliki pemikiran tentang teori asal usul lahirnya kota atau negara, negara yang ideal, dan pimpinan negara. Dalam hal asal-usul negara, ia memiliki pandangan seperti Plato, Aristoteles dan juga Ibn Abi Rabi. Yaitu teori yang didasarkan pada sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain, untuk itu mereka perlu hidup dalam sebuah masyarakat atau negara. Tentang negara yang utama (Madinah al-Fadilah) al-Farabi berdasar pada konsep tentang tubuh manusia. Menurutna bahwa bahwa negara ibarat sebuah tubuh manusia yang utuh dan sehat, yang semua organ dan anggota badanya bekerja sama sesuai dengan tugas masing-masing yang terkordinasi rapi demi kesempurnaan hidup tubuh itu, dan penjagaan akan kesehatannya. Selanjutnya terkait dengan yang boleh menjadi pemimpin, al-Farabi berpendapat, bahwa tidak semua warga negara mampu dan dapat menjadi kepala negara. Yang dapat dan boleh menjadi kepala negara utama hanyalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna, tentunya kelas tertinggi, dibantu oleh orang-orang pilihan juga dari kelas yang sama.
Dalam pada itu al-Mawardi ( 364 H./975 M.-450 H./1059 M.) juga memiliki teori tentang asal usul lahirnya kota atau negara, sendi-sendi negara, bentuk pemerintahan, dan cara memilih pimpinan. Tentang asal usul lahirnya negara, al-Mawardi sependapat dengan Plato, Aristoteles, dan Ibn Abi Rabi, yaitu bahwa manusia adalah makhluk sosial, tetapi al-Mawardi memasukan unsur agama dalam teorinya. Yaitu bahwa di samping manusia membutuhkan bantuan orang lain, juga memerlukan bantuan dan pertolongan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling membutuhkan bantuan orang lain, dibandingkan makhluk lainnya. Tentang sendi-sendi yang dibutuhkan negara adalah (1)agama yang dihayati, (2)penguasa yang berwibawa, (3)keadilan yang menyeluruh, (4)keamanan yang merata, (5)kesuburan tanah yang berkesinambungan, dan (6) harapan kelangsungan hidup. Tentang bentuk pemerintahan, al-Mawardi menyarankan agar mengambil bentuk khalifah, raja, sultan atau kepala negara.  Dengan demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan diserta mandat politik. Dengan demikian, seorang iman di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik. Sedangkan tentang orang yang dapat diangkat menjadi kepala negara, menurut al-Mawardi adalah harus berbangsa Arab dari suku Quraisy, sedangkan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Selanjutnya al-Ghazali (450 H./1058 M./505 H./1111 M.) juga memiliki teori tentang asal usul negara, pimpinan negara, sumber kekuasaan dan kewenangan kepala negara. Tentang asal usul negara, al-Ghazali juga mendasarkan teori kepada sifat dasar manusia sebagai makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain, dan karenanya ia perlu hidup bermasyarakat dalam sebuah negara. Tentang tujuan manusia bermasyarakat atau bernegara menurut al-Ghazali, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi, tetapi guna mempersiapkan diri bagi kehidupan sejahtera di akhirat nanti. Berkautan dengan sumber kekuasaan dan kewenangan kepala negara, al-Ghazali berpendapat, bahwa Allah memilih dua kelompok pilihan. Pertama, para nabi hyang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua, pararaja dengan tugas menjadi agar hamba-hamba Tuhan tudak saling bermusuhan dan saling melanggar hak yang ain, dengan kearifannya mengembangkan kesejahteraan mereka dan memandu mereka ke arah kedudukan yang terhormat, seperti kata ungkapan bahwa sultan adalah bayangan Allah di atas bumi-Nya. Tentang siapa yang dapat diangkat jadi raja atau sultan adalah mereka yang memiliki persyaratan (1)dewasa atau aqil baligh, (2)otak yang sehat; (3)merdeka dan bukan budak; (4)laki-laki; (5)keturunan Quraisy, (6)pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7)kekuasaan yang nyata; (8)hidayah; (9)ilmu pengetahuan; dan (10)wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diru, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela.
Selanjutnya Ibn Khaldun ((732 H./1332 M.) juga memiliki teori asal usul negara, jabatan raja, khalifah dan imam dan ashabiyah. Tentang asal usul negara, menurut Ibn Khaldun, bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Tentang bentuk pemerintahan, Ibn Khladun memilih bentuk kerajaaan, dengan fungsi utama srbagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim, guna memecahkan berbagai masalah yang timbul akibat sifat buruk manusia. Terkait dengan teori ashabiyahnya, Ibn Khaldun mengatakan, bahwa semua orang memiliki kebanggaan akan keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru antara mereka yang mempunyai hubungan darah dan keluarga merupakan watak alami yang ditempatkan oleh Allah pada tiap hati manusia. Itulah yang melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu, sera rasa ikut malu dan tidak rela kalau di antara mereka yang mempunyai ikatan darah, atau keturunan atau keluarga, mendapat perlakuan yang tidak adil atau hendak dihancurkan. Ikatan ashabiyah ini menjadi dasar utama bagi lahirnya solidaritas kelompok untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berasal dari kelompoknya, sampai kemudian diganti dengan pertimbangan yang lebih bersifat pragmatis dan transaksional, ketika ikatan kelompok tersebut sudah memudar atau tidak nampak lagi. Ibn Khaldun mengatakan, bahwa adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan bagi bangunnya suatu dinasti atau negara besar.
Dengan memperhatiam pendapat-pendapat tersebut di atas, terdapat catatan sebagai berikut. Pertama, terdapat persamaan tentang teori asal usul nenegara yang berbasis pada kebutuhan dasar manusia, kecuali al-Mawardi yang menambahkannya dengan dasar agama. Kedua, terdapat perbedaan tentang istilah kepala negara, yakni dapat mengambil bentuk khilafah, kerajaan atau kesulthanan, dan belum ada bentuk presidensial. Ketiga, terdapat perbedaan tentang siapa yang boleh menjadi kepala negara. Di antara mereka ada yang mensyaratkan harus dari suku quraisy, seperti al-Mawardi dan al-Ghazali, dan ada pula yang membolehkan dari suku lain, seperti Ibn Khaldun. Keempat, semuanya sepakat, bahwa kepala negara harus laki-laki; Kelima, terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara yang berbeda-beda. Keadaan ini terjadi selain disebabkan oleh pandangan ideologi masing-masing berbeda-beda, juga karena situasi sosial politik yang dialami masing-masing berbeda-beda, serta kedekatan masing-masing tokoh tersebut dengan para penguasa yang berbeda-beda pula.
Keempat, di dalam sejarah terdapat bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Di zaman Nabi Muhammad SAW yang menjadi kepala negara adalah Nabi sendiri, yang diangkat oleh Allah, tanpa menggunakan gelar khalifah, raja, sulthan atau lainnya. Tugas keagamaan dan pemerintahan berada di tangan Nabi yang dikontrol oleh Allah SWT. Sungguhpun Nabi Muhammad SAW meminta pendapat para shahabat dalam memutuskan perkara, namun hasil akhirnya diserahkan kepada Allah SWT. Sistem ini dapat disebut sebagai theo-democrasi, yaitu demokrasi yang berdasarkan ketuhanan.
Selanjutnya di zaman Khulafarur Rasyidin selain menggunakan istilah Khalifah al-Rasul, seperti Abu Bakar, Usman dan Ali, juga menggunakan istilah Amirul Mukminin, sebagaimana yang digunakan oleh Umar Ibn Khattab, karena ia tidak mau menggunakan istilah khalifah khalifatur Rasul, yakni khalifah penggantinya khalifah Rasul. Istilah ini dianggapnya kurang praktis. Sistem yang digunakan adalah aristokrat demokrasi, yakni demokrasi yang ditentukan oleh kelompok elit yang dikenal dengan istilah ahl halli wa al-aqdi, yang terdiri dari shabat senior, yaitu Abu Bakar, Umar, Usma, Ali, Thalhan, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqas. Seluruh khalifah al-Rasyidin terdiri dari kaum Muhajirin dan suku Quraisy. Ini menunjukkan bahwa pengaruh kesukuan masih cukup kuat.
Dalam pada itu di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah menggunakan nama khalifah, namun dalam prakteknya mengambil bentuk monarkhi atau kerajaan, karena seorang khalifah tidak diangkat berdasarkan pemilihan, melainkan didasarkan pada turun temurun. Di samping itu kedua kekhalifahan tersebut masih berbasis ashabiyah, karena didasarkan pada keturunan, yakni keturunan bani Ummayah dan keturunan Abbasiyah dari Bani Hasyim. Selain itu, mereka itu masih berbasis pada keturunan Quraisy, kecuali pada akhir masa bani Abbasiyah yang sudah didasarkan pada keturunan Persia.
Setelah kekhalifahan Abbasiyah hancur, nama kekhalifahan berubah menjadi kesulthanan atau dinasti seperti kesulthanan Turki Usmani, kesulthanan Syafawi, kesulthanan Mughul, yang isinya masih berbentuk kerajaan, namun sudah tidak lagi berbasis pada ashabiyah, melainkan sudah berpindah pada ideologi Sunni dan Syi’ah. Kesulthanan Usmani dan Mughal misalnya beraliran Sunni, sedangkan kesulthanan Syafawi beraliran Syi’ah.
Selanjutnya setelah perang dunia kedua, dan negara-negara Islam melepaskan diri dari penjajahan Eropa (Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Portugus, dll), dan penjajahan Barat (Amerika Serikat dan sekutunya), bentuk pemerintahan negara Islam sudah bervariasi. Ada yang mengambil bentuk kerajaan seperti Saudi Arabia dan Maroko; Kesulthanan seperti Bruneai Darus Salam; perpaduan kesulthanan dan parlementer seperi Malaysia; negara Islam seperti Iran dan Pakistan; negara republik seperti Mesir; negara sekuler seperti Turki, dan bukan negara sekuler serta bukan negara agama, seperti Indonesia.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, tidak ada bentuk negara yang seragam yang digunakan oleh negara Islam. Kedua, tidak ada ada lagi negara Islam yang menggunakan sistem khilafah. Ketiga, berbagai bentuk negara tersebut sesuai dengan pilihannya yang didasarkan pada keadaan situasi sosial, ekonimi, politik, ekonomi, budaya yang terdapat dalam negara tersebut. Keempat, sungguhpun bentuk negara tersebut bermacam-macam,  namun prinsip-prinsip etika Islam yang harus ditegakan dalam negara tersebut tetap dipelihara, yaitu sikap adil, jujur, amanah, bertanggung jawab, berbuat baik kepada sesama, dan mensejahterakan masyarakatnya, serta melindungi hak-hak asasi manusia. Yaitu hak hidup, hak beragama, hak memperoleh pendidikan, hak memiliki harta, dan hak memiliki keturunan (Maqashid al-Syar’iyah).


Comments