Articles‎ > ‎

KUNCI MENJADI UMMAT YANG BAIK

KUNCI MENJADI UMMAT YANG BAIK

 

                Di dalam al-Qur’an Allah SWT menyatakan sebagai berikut.

 

 

 

 

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3

Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terabaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu) menyuruh (berbuat)  yang ma’ruf, dan mencegah  dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali ‘Imran, 3: 110).

                Ayat tersebut telah mendeklarasikan bahwa umat Islam adalah sebuah komunitas yang terbaik. Pernyataan tersebut selain sebagai sebuah pengakuan dan gelar yang terhormat dari Allah, sekaligus menjadi misi yang harus dijaga, diperjuangkan dan dirasakan manfaat kebaikan yang dimilikinya bagi orang lain. Hal ini dapat dianalisis dari penggunaan kata al-ummah yang ada setelah kalimat “kuntum khaira’:Kamu sekalian orang yang  baik. Secara harfiah, kata ummat terambil dari kata amma yaummu, yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata ini, lahir antara lain ata um yang berarti “ibu” dan “imam” yang berarti pemimpin, karena kedunya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.

 Selanjutnya kata ummat di dalam al-Qur’an yang seluruhnya mengandung arti yang positif, bahkan ideal. Melalui studinya yang amat cermat dan komprehensif terhadap al-Qur’an, H.M.Qurais Shihah  mengatakan, bahwa di dalam al-Qur’an, kata ummat dalam bentuk tunggal terulang 52 kali, dan oleh Ad-Dhamighani, kata tersebut mengandung sembilan arti, yaitu kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, dan manusia seluruhnya.Sementara itu, pakar bahasa al-Qur’an (w.508 H./1108 M.) dalam bukunya al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, al-Raghib al-Asfahany, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sam, baik penghimpunan secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Di dalam al-Qur’an surat al-An’am, 6:38 misalnya dinyatakan: Dan tidaklah binatang-binatang ang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga sebagai kamu. Dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: al-Namlatu ummatun min al-umami:Semut (juga) merupakan umat dari ummat-umat (Tuhan). Dari analisis kebahasaan dan qur’ani ini, nampak bahwa di dalam kata ummah terdapat ikatan persamaan yang menyatukan makhluk hidup manusia, atau bintang, seperti jenis, suu, bangsa, ideologi, agama, dan sebagainya. Ikatan tersebut telah menjadikan mereka satu umat. Dari semua pengertian tersebut terdapat benang merah yang menggabungkan makna-makna tersebut, yaitu himpunan. Kata ummah sunggh indah, luwes, dan lentur, sehingga dapat mencakup aneka makna, dan dengan demikian dapat menampung-dalam kebersamaannya-aneka perbedaan. Al-Qur’an memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain” himpunan pengikut Nabi Muhammad SAW (umat Islam), sebagai isyarat bahwa umat dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah SWT. Allah SWT menyatakan: “Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku,” (Q.S. al-Ambiya’, 21:92). Selain mengandung makna keluwesan dan kesediaan menampung keragaman, menurut H.M.Quraish Shihab, di dalam kata umat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ummat mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju suatu arah harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. Ali Syari’ati, dalam bukunya al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan  kata umat dalam konteks sosiologis, sebagai ‘himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersamasama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama. Selanjutnya di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah, 2, ayat 143, kata ummah dihubungkan dengan ata wasathan (moderat). Lengkapnya ayat tersebut: “Demikianlah itu Kami menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.  Terkait dengan ayat ini Murtadha Muthahhari dalam bukunya Islam dan Tantangan Zaman, 1996:59) mengatakan: Salah satu citi yang harus ada pada umat Islam ialah mengikuti jalan tengah yang berada di antara jalan ifrath (terlalu berlebih-lebihan) dan tafrith (terlalu mempermudah).

Pada mulanya, kata wasathan berarti segala yang b aik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua ekstrem. Keberanian misalnya adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah. Orang yang menghadapi dua pihak yang berseteru dituntut untuk menjadi wasith dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Dari sini lahirlah makna ketiga, yaitu adil. Dengan demikian umatan wasathan berarti umat yang moderat, posisinya berada di tengah, agar dilihat semua orang, dan segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian, agar mereka menjadi syuhada, teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya. Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.  Bersamaan dengan sebagai umatan yang wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama,  budaya dan peradaban), karena merea tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global. (Lihat H.M.Quraish Shihab,  Wawasan al-Qur’an,  1996:325-328).

Selanjutnya kata khaira ummah sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran, ayat 110 sebagaimana tersebut digunakan oleh al-Marhum, Prof. Dr.Kuntowijoyo, seorang tokoh Muhammadiyah dan ahli sosiologi dan antropologi digunakan dalam bukunya Paradigma Islam, (Bandung, 1996:113-115),  sebagai landasan untuk mengkontruksi dan merumuskan sebuah ilmu sosial propetik yang akan menggantikan ilmu-ilmu sosial Barat yang bercorak positivistik aliran Augus Comte yang gagal dalam memecahkan problema kemanusiaan, seperti diskriminasi, dan dehumanisasi yang menimbulkan gap antara kaum yang kaya dan miskin, menyebabkan orang terbelenggu kreatifitasnya, terkungkung oleh berbagai tradisi dan  budaya yang diciptakannya, sistem ekonomi, politik, hukum, dan lainnya yang sekuler yang menyengsarakan manusia. Dengan ayat 110 surat Ali Imran tersebut Kuntowijoyo ingin menawarkan sebuah ilmu sosial yang propetik, yang membawa rahmah bagi seluruh alam, yang mengeluarkan manusia dari sikap jahiliyah (biadab) kepada sikap beradab, yukhrijukum min al-dzulumat ila al-nuur (mengeluarkan manusia dari sikap yang tiranik kepada sikap yang adil), yahdli ila shirat al-mustaqim (memberi petunjuk ke jalan yang lurus);  rahmatan lil ‘alamien (memberi rahmat bagi seluruh alam). Berdasarkan petunjuk surat Ali Imran, 3 ayat 110 sebagaimana tersebut di atas, ada tiga misi utama yang terdapat dalam Ilmu Sosial Propetik.

Pertama, membebaskan manusai dari berbagai hal yang merugikan dirinya, yaitu membebaskan manusia belenggu hawa nafsunya, sikap mentalnya yang lemah, cara pandangnya yang keliru, lingkungan pergaulan dan budayanya yang  buruk, struktur dan sistem sosial yang diskriminatif, struktur dan sistem  ekonomi kapitalistik dan monopoli,  struktur dan  politiknya yang kotor. Sebagai khaira ummah, kita harus berjuang membebaskan manusia dari berbagai belenggu yang merugikannya. Inilah makna dari kalimat ukhirat linnaasi (mengeluarkan manusia) sebagaimana terdapat pada ayat 110 surat Ali Imran. Kita harus memiliki filosofi seperti ikan di laut, walaupun air laut itu asin, namun ia tidak asin. Ini artinya, manusia harus memiliki daya tahan mental yang kuat, dan bisa keluar dari himpitan struktur dan sistem kehidupan yang membelenggunya.

Kedua, memperlakukan manusia secara manusiawi, dengan cara melepaskan manusia dari berbagai sistem dan aturan yang menyebabkan tereduksi dirinya atau mengalami proses dehumanisasi. Kehidupan mereka yang berada dalam tekanan yang kuat menyebabkan mereka seperti mesin atau robot yang bekerja secama mekanik. Demikian pula pendekatan kekuasaan yang diterapkan, menyebabkan mereka berada dalam tekanan berat, stress, galau, dan gelisah, yang sangat mudah digerakan untuk berbuat anarkis dan ekstrimis. Terkait dengan melakukan manusia secara manusiawi ini,  maka model pendekatan dalam manajemen misalnya dapat dirubah dengan menerapkan manajemen yang berbasis perilaku yang bertumpu pada upaya menghasilkan orang-orang yang hebat (great person) dengan berlandaskan pada motivasi yang tumbuh dari kemauan dan pilihannya sendiri  dengan berlandaskan nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan keikhlasan kepada Allah SWT. Dalam kaitan ini kita tidak menggunakan filosofi menggetuk telur ayam dari luar agar telurnya menetas, melainkan membiarkan ayam tersebut keluar sendiri dari telur setelah melalui proses pematangan yang cukup. Misi Ilmu Sosial Propetik ini didasarkan pada kalimat ta’muruuna bi al-ma’ruf wa tanhauna an al-munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar). Dalam kaitan ini, maka motivasi, komunikasi, kepemimpinan yang berbasis simpati dan empati, budaya yang unggul dan lainnya layak untuk diterapkan.

Ketiga, memberikan landasan spiritual atau wawasan metafisik, berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Yakni dengan cara memberikan penyadaran, bahwa berbagai hukum yang berlaku pada manusia, baik hukum yang ada dalam al-Qur’an (ayat al-qauliyah), hukum yang ada di alam jagat raya (sunnatullah) atau (ayat al-kauniyah), dan hukum yang ada di masyarakat (ayat al-insaniyah) adalah ayat-ayat Allah SWT yang pasti dan mutlak benar. Semua ayat ini jika dikaji dengan berbagai metode akan menghasilkan rumpun ilmu agama, ilmu alam dan ilmu sosial. Namun dengan berbagai temuanya itu semakin membawanya dekat dengan Allah, semakin tawadlu, bersyukur kepada Allah SWT, karena tujuan akhir dari semua usaha dan aktivitas manusia sesuai dengan petunjuk al-Qur’an adalah agar mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Misi ilmu sosial profetik yang ketiga ini, oleh Kuntowijoyo disebut proses transendensi. Proses ini dipahami dari kalimat wa tu’minuuna billah (dan mereka beriman kepada Allah) sebagaimana terdapat pada ayat 110 surat Ali Imran.

Sejalan dengan uraian tersebut, dari sisi moral, Ahmad Musthafa al-Maraghy, dalam Tafsirnya al-Maragghy Jilid II: 30 menyatakan: Inna haadzihi al-khairiyata laa tastbutu illa idza haafadzat ‘ala haadzihi al-ushul al-tsalatsah. Yakni al-amru bi al-ma’ruf, wa al-anhyi an al-munkar wa al iman billahi fi al-dzikr:Sesunggunya kebaikan ini tidak akan melekat pada umat kecuali, jika ia memelihara tiga hal yang pokok, yaitu perintah berbuat baik, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah dalam zikir.

 

                                                                                                Jakarta, 7 April, 2017

 

                                                                                                Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.

 

 

 

 

Comments