Articles‎ > ‎

MAKNA HALAL BIHALAL BAGI KEHIDUPAN MANUSIA: MERAJUT SILATURAHMI MERAIH PRESTASI

Halal bi Halal yang diselenggarakan pada setiap selesai menunaikan Idul Fithri penting dilakukan, karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, halal bi halal mengingatkan kita tentang pentingnya merajut silaturahmi, yakni menghubungkan ikatan kasih sayang, cinta kasih, dan persaudaraan  di antara kita. Hidup yang didasarkan pada kasih sayang, cinta kasih dan persaudaraan ini merupakan kehidupan yang aman, damai, harmonis dan menyenangkan. Mengurus, membesarkan dan mendidik anak yang demikian berat, akan terasa ringan jika didasarkan pada kasih sayang, cinta kasih, dan perusaudaraa. Demikian pula mendidik para siswa oleh para guru yang cukup menguras tenaga, pikiran, waktu, tenaga dan sebagainya, terutama bagi guru-guru yang ada di daerah yang masih diwarnai oleh berbagai kekurangan akan terasa ringan jika didasarkan pada ikatan kasih sayang, cinta kasih dan persaudaraan. Demikian pula merawat pasien oleh seorang dokter, pensejahterakan rakyat oleh pimpinan akan terasa ringan jika didasarkan pada ikatan  kasih sayang, cinta kasih, dan persaudaraan. Halal bi halal memiliki peran merajut silaturahmi yang didasarkan pada kasih sayang, cinta kasih dan persaudaraan. Rasulullah SAW mengatakan: Tidak dianggap sempurna iman seorang di antara kamu, sehingga ia menyintai saudaranya, sebagaimana ia menyintai dirinya (Q.S. Bukhari dan Muslim, dalam Hasyimi Bek, Muktar al-Ahadits An-Nabawiy, hal. 138. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT menyatakan: Sesungguhnya orang-orang mukmin  adalah bersaudara, karena  damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat di antara (Q.S. al-Hujurat, 49:10).
Kedua, di dalam al-Qur’an banyak dijumpai kosakata yang berkaitan dengan merajut  silaturahmi, seperti bertaubat yakni kembali kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya, yang antara lain kembali kepada keadaan bersaudara, al-afwu (ma’af) yang diulang sebanyak 34 kali yang berarti mema’afkan, al-safhu (lapang dada) yang diulang sebanyk 8 kali yang menggambarkan kelapangan dada, Allah berfirman: Apabila kamu mema’afkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Thaghabun, 64:14); al-Gufrhan yang berarti menutup, yakni menutup dosa dengan sesuatu, atau melindungi manusia dari siksa atau bencana, dan takfir yang diulang sebanyak 14 kali yang  berarti menutup. (Lihat H.M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 244-252).  Dari semua istilah ini, Islam lebih menganjurkan memberi ma’af, dari pada meminta ma’af. Hal ini sesuai  dengan prinsip ajaran Islam, bahwa memberikan itu lebih tinggi derajatnya daripada meminta. Di dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Mu’az, lihat  Al-Hasyimi Bek, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiy, hal. 30) dari Ibn Umar dinyatakan, bahwa di antara pekerjaan yang utama, ialah memberi makan kepada orang yang pelit (tidak pernah mau mengasih), menyambungkan tali silaturahmi kepada orang yang tidak pernah mau menyambung tali silaturahmi, dan memberikan ampunan pada orang yang pernah bebuat dosa. Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat mema’afkan seorang wanita khaibar yang meracunkan bersama dengan sahabatnya yang bernama Bishir bin Barra bin Ma’rur; mengampuni kaum Kafir Quraisy pada saat Futuh Mekkah, mema’afkan penduduk Tha’if yang menyakiti Rasulullah SAW dan masih banyak lagi.
Ketiga, halal bi halal terkait erat dengan misi Idul Fithri, yakni kembali kepada Fithrah atau kembalinya manusia pada keadaan sucinya atau keterbebasannya dari segala dosa dan nod, sehingga dengan demikian, ia berada dalamm kesucian. Kembali kepada fithrah berarti kembali kepada Allah, dekat kepada Allah, dan kembali atau dekat dengan manusia. Untuk bisa dekat dengan Allah dan dekat dengan manusia ini, manusia perlu meminta ampun kepada Allah dan meminta ma’af dengan sesama manusia melalui silaturahmi, mushafahah, saling mema’afkan, dan halal bi halal. Sebelum datangnya Idul Fithri mungkin manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia saling berjauhan, sebagai akibat dari perbuatan dosa, sebagaimana hal terlibat, bahwa sebelum Adam dan Hawa berbuat dosa dengan memakan buah terlarang misalnya berada dalam posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat “dekat” dengan kosakata “hadzihi”. Tetapi ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allahpun demikian, sehingga Allah harus menyeru mereka (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebakan Tuhan menujukan pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yaitu “itu”. Dengan demikian, untuk kembali kepada fithrah kesucian dan kedekatan dengan Allah dan dengan sesama manusia diperlukan sikap saling mema’afkan. Dekat dengan Allah ini sangat diperlukan, karena menyebabkan do’a dikabulkan, mendapat  hidayat, taufik, inayah, barakah, ilham dan sebagainya, bahkan kedekatan dengan Allah itu menjadi salah satu epistimologi keilmuan dalam Islam, yakni mendapatkan ilmu yang langsung dari Tuhan dalam bentuk al-faid, al-ma’rifah, al-isyraqiyah, al-mauhubah, al-laduni, dan lainnya sebagaimana yang banyak dialami oleh para ahli tasawuf. Dekat dengan Allah SWT dan dengan manusia menyebabkan hidup senantiasa di jalan yang lurus, pikiran jernih, hati merasa tenang, dan segala mendapatkan kemudahan.
Keempat, halal bi halal dalam arti merajut silaturahmi dan saling mema’afkan secara historis pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Dalam suatu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah mengumpulkan para sahabatnya untuk meminta ma’af. Salah seorang sahabat yang bernama Akasah memanfaatkan kesempatan halal bi halal tersebut untuk merasa lebih dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah juga tercatat, bahwa Nabi Muhammad SAW dalam haji waji Wada’ menganjurkan untuk saling bersaudara, saling mema’afkan, saling menyayangi, saling melindungi. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW mengajak serta seluruh isterinya, keluarganya, para sahabatnya, dan lainnya. 
Kelima, halal bi halal sebagai modal untuk meraih prestasi, karena dengan modal silaturahmi, cinta kasih, persaudaraan, dan hubungan yang harmonis dengan Allah SWT, dengan Rasul-Nya dan dengan sesama manusia menyebabkan segala urusan akan lancar. Hal yang demikian diyakini, karena ketika bekerja kita mengucapkan bismillahirrahmanirrahim yang pada intinya kita menggunakan fasilitas miliki Tuhan. Demikian pula ketika manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya membutuhkan dukungan dan kerjasama yang baik dengan sesama manusia. Orang kaya butuh orang miskin sebagai buruh yang menggerakan modalnya; seorang murid butuh guru dan sebaliknya; seorag pimpinan dukungan rakyat dan sebaliknya; seorang pedagang butuh pembeli dan sebaliknya; seorang pasien butuh dokter, dan sebaliknya; dan seterusnya. Karena itu hubungan antara manusia dengan Tuhan dan dengan sesama manusia harus dibina dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, halal bi halal tidak hanya dapat merajut silaturahmi, dan saling menghapuskan dosa, melaikan juga dapat meningkatkan prestasi kerja kita.
Keenam, halal bi halal erat pula kaitannya dengan melaksanakan agenda pasca Ramadhan, yaitu selain membangun hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia, juga untuk melanjutkan hasil didikan Ramadhan yang erat kaitannya dengan meraih prestasi yang lebih baik, sesuai dengan arti Syawal yang berarti peningkatan. Ramadhan telah mendidik kita untuk terbiasa lapar, dan lapar ini ternyata menyebabkan jiwa terasa lebih lega, pikiran terasa lebih jernih, badan terasa lebih ringan, penyakit makin menjauh, menimbulkan sikap simpati dan empati dengan orang yang serba kelaparan, dan sikap menghargai makanan atau nikmat dari Tuhan. Demikian pula perasaan haus juga menyebabkan kita menghargai betapa tingginya nilai air, betap perlunya menjaga air, dan betapa seluruh bidang kehidupan membutuhkan air.  Menurut hasil penelitian, manusia hanya bisa bertahan tiga menit tanpa udara, 3 hari tanpa air, dan 21 hari tanpa makanan. Air yang sedemikian penting, ternyata tidak tersedia secara melimpah seperti yang selama ini kita kira. Air tawar jumlahnya hanya 2,5% dari air yang tersedia di bumi. Dari yang 2,5% tersebut, 2/3 darinya berbentuk es di kutub, maka air tawar yang tersedia di sungai, danau, air tanah dan uap itu jumlah totalnya tidak lebih dari 0,77% dari seluruh air di bumi. Sisanya adalah air asin yang tidak bisa langsung digunakan. Air tawar yang hanya 0,77% itu digunakan oleh berbagai kepentingan. Sumber daya air digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti minum, mandi dan mencuci, juga berbagai macam industri dari mulai tekstil, asembling, semikonduktor sampai pertambangan. Demikian juha untuk keperluan pembangkit listrik, pertanian, perkebunan dan peternakan. Tidak ada sektor kehidupan yang tidak memerlukan air, karena air adalah kehidupan. Ramadhan telah mendidik kita untuk menjadi orang zuhud (tidak terpedaya oleh materi), sabar, jujur,  ikhlas, tawakkal, qana’ah, ridla, dan sebagainya. Nilai-nilai yang diajarkan dalam ilmu tawasuf ini ternyata terkait erat dengan meraih prestasi. Dengan zuhud orang tidak akan tergoda oleh harta, dengan sabar seseorang dapat bersikap ulet, tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi menghadapi berbagai masalah; dengan jujur, seseorang akan terhindar sikap koruptif; dengan ikhlas, seseorang akan mencurahkan segenap potensi dan kemampuan secara maksimal dan tidak hitung-hitungan; dengan tawakkal, seseorang akan memiliki sikap mental yang tenang dan tidak akan goyah dalam menghadapi goncangan, karena ia memiliki pegangan yang kuat; dengan qana’ah, seseorang tidak akan bersikap berlebihan; dan dengan ridha, seseorang akan merasa lega dalam menerima beban yang diberikan kepadanya. Itulah sebabnya, saat ini  nilai-nilai spiritual erat kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja.
Ketujuh, berdasarkan petunjuk al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 133 dan 134, upaya merajut silaturahmi ini dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, mau berinfaq dalam keadaan lapang dan sempit, dalam keadan berlimpah dengan harta atau dalam kekurangan (yunfiquuna fi al-sarra wa al-dharra) ai al-ladzina yunfiquuna fi al-sa’ah wa al-dhayyiq fa tunfuquuna fi kulli haalin bihasbiha wa laa yatryukuna al-infaaqa biwajhihi (al-Maraghy, Juz III, hal. 69); Kedua, berusaha keras menahan amarah. Ai wa al-mumsikina ‘alahi al-kaaffina ‘an imdhaihi ma’a al-qudrat ‘alaihi wa man ajaaba daa’iya al-ghaiz wa tawajjuhu bi’azimati ila al-intiqam laa yuqafu ‘inda hadd al-‘itidal, wa laa yaktafi bi al-haqq ba yatajawazuhu ila al-baghy, wa man tsamma kaana min al-taqwa kadzmihi. Artinya:menahan diri untuk mengendali amarah walaupun ia memiliki kesanggupan untuk melampiaskannya dan orrang yang dapat mengendalikan dorongan amarah tersebut dan mengarahkannya dengan memastikan berpegang teguh pada kebenaran secara lurus.  Ketiga, diiringi dengan berbuat baik (wa Allah yuhibbu al-muhsinin). Ai wa Allahu yuhhibu al-ladzina yatafadlaluuna ‘ala ubbadihi al-ba’isina wa yuwasiwuhum biba’dli maa an’ama Allah bin ‘alaihim syukran lahu ‘ala jazili ni’amihi. Artinya bahwa Allah menyukai orang-orang menguatamakan panggilannya atas hamba-hamba-Nya serta menolong orang yang dapat kesulitan dengan memberikan sebagian karunia Allah, serta senantiasa bersyukur atas segala ni’matnya. (Lihat al-Maraghy  Juz III, hal. 69-72).  Ketiga, jika terjadi kehilafan berupa berbuat buruk atau dzalim pada diri sendiri, segera meminta ampun atas dosa-dosanya dan tidak melanjutnya.
Kedelapan, bahwa seseorang tidak cukup hanya berbuat baik dengan Tuhan saja, melainkan juga harus berbuat baik dengan sesama manusia. Dalam hadis Rasulullah SAW dinyatakan, bahwa orang yang bankruft atau pailit di akhirat adalah yang datang kepada Allah di hari kiamat dengan membawa pahala berbagai macam ibadah, namun amalnya ini dapat dihapuskan oleh berbagai perbuatan buruk dengan sesama manusia seperti:mencaci maki, menuduh tanpa bukti, memukul, mengambil harta orang lain, dan menumpahkan darah. Setelah amal kebaikannya itu tidak cukup untuk membayar keburukannya, maka terpaksa dosa orang yang dizaliminya itu ditimpakan kepada mereka, kemudian dilemparkan ke dalam api neraka.

Jakarta, 29 Juli 2015

Prof. Dr. H.Abuddin Nata, MA.

Comments