Assalamu’alaikum Wr. Wb. Halal-bi halal yang dilaksanakan atau diadakan sebagian masyarakat dalam rangkaian Idul Fitri memang cukup logis, karena antara keduanya memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat. Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian jiwa (tazkiyah al-nafs), sedangkan halal bihalal merupakan salah satu cara membersihkan diri dari dosa dan kekhilafan, terutama dosa dan kekhilafan dengan sesame manusia. Hal ini sejalan dengan petunjuk ajaran Islam agar membangun hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan (habl min Allah) dan dengan sesama manusia (habl min al-naas). Dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW menginformasikan tentang orang yang pailit atau bangkruft di akhirat, padahal orang itu meninggal dengan membawa pahala ibadah yang cukup banyak:pahala shalat, pahala puasa, pahal zakat, pahala haji, dan lainnya, namun orang itu dilemparkan ke dalam api neraka, karena orang tersebut pernah mencaci maki atau mempermalukan orang lain di depan umum, pernah menuduh tanpa bukti, pernah memukul orang lain, pernah mengambil harta milik orang lain, dan pernah menghilangkan nyawa orang lain. Pahala ibadah orang tadi terpaksa harus diberikan kepada orang-orang yang dizaliminya itu sebagai tebusan atau penggantinya; dan ketika pahala tersebut tidak cukup untuk menebus semua kesalahannya itu, maka terpaksa kesalahan orang-orang yang dizaliminya itu ditimpakan kepada orang yang membawa pahala yang pernah berbuat zalim itu, dan selanjutnya orang tersebut dilemparkan ke dalam api neraka. Sebelum ajal datang menjemput, mari kita ingat-ingat amal perbuatan yang telah kita lakukan, dan jika isi hadis ini terkena pada kita, maka segeralah kita ambil langkap cepat, jangan ditunda-tunda lagi, sebelum ajal datang menjemput. Upaya meminta ma’af melalui halal bihalal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW. Beliau mengundang keluarga, para sahabat dan orang-orang yang suka bergaul dengannya. Pada kesempatan itu, Rasulullah SAW selain meminta ma’af, juga mempersilakan kepada hadirin untuk menyampaikan sesuatu keberatan, atau mungkin menyampaikan sesuatu kesalahan yang dilakukan Rasulullah SAW dan mempersilakan menuntut balas atas kesalahan tersebut. Kesempatan itu tersebut dimanfaatkan oleh sahabatnya yang bernama Akasah untuk mendekat, memeluk dan mencium badan Rasulullah karena cintanya, dengan berpura-pura ingin memukul badan Rasulullah SAW, karena ia mengaku untanya yang tidak mengenakan baju pernah terkena tombak Rasulullah SAW pada suatu peperangan. Selanjutnya halal bi halal mengingatkan kita tentang beberapa hal penting guna kesuksesan hidup kita di dunia dan akhirat. Beberapa hal penting tersebut, antara lain. Pertama, halal bi halal mengingatkan kepada kita tentang pentingnya menjaga kesucian diri kita dari dosa dengan sesama manusia, di samping dosa dengan Allah SWT. Dosa kepada Allah SWT ternyata lebih mudah dihapusnya daripada dosa dengan manusia. Alasannya adalah, bahwa meminta ma’af atau bertaubat kepada Allah kemungkinan diterimanya jauh lebih besar dibandingkan dengan meminta ma’af kepada manusia, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sedangkan manusia tidak demikian (terkadang tidak mau memaafkan atau pendendam, manusia punya sifat-sifat buruk, sedangkan Allah tidak punya sifat buruk). Selain itu, meminta ma’af kepada manusia hanya berlaku selama manusia itu hidup di dunia dan saling berjumpa atau saling berhalal bi halal, sedangkan meminta ma’af kepada Tuhan bisa terjadi setelah manusia mati atau ketika ia di akhirat nanti, kecuali dosa musyrik (menyekutukan Tuhan). Halal bihal terkait dengan upaya menjaga kesucian diri dari dosa dengan sesame manusia dapat dilihat dari makna halal bihal tersebut, yang menurut H.M.Quraish Shihab memiliki tiga arti. Pertama halal bi halal mengandung arti saling menghalalkan terhadap perbuatan haram yang pernah dilakukan, seperti memutuskan tali silaturahmi, saling mengucilkan (membelakangi), saling memarahi (bertengkar), (H.R. Malik, Bukhari dan Muslim), mencaci maki, menuduh, memfitnah, dan sebagainya. Kedua, halal bi halal mengandung arti saling melepaskan, menguraikan, mencairkan, atau menormalkan. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi riwayat Buchori dan Muslim yang tidak membolehkan memutuskan tali silaturahmi melebihi tiga hari, dan hendaknya segera mencairkannya dengan ucapan salam atau damai. Ketiga, halal bi halal mengandung arti melakukan kebaikan dengan sesama dan menghindari keburukan, atau mengganti perbuatan buruk dengan perbuatan baik (wa atbi’I al-sayyiata al-hasanata tamhuha). Hal ini sejalan dengan penggunaan kosakata halalan yang dikaitkan dengan memakan makanan yang baik baik dari zat, sifat maupun prosesnya. Dengan memelihara kesucian diri dengan cara demikian itu berarti telah kembali kepada fithrah, kesucian diri, kepatuhan, ketundukan, dan kepasrahan kepada Tuhan, dan itulah sikap sebagai seorang yang beragama. Kesucian diri ini merupakan modal spiritual dan moral yang amat berharga, karena jalur hubungan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan tidak lagi terhalang dosa, tabir (hijab) antara manusia dengan Tuhan telah tersingkap (mukasyafah), manusia dalam keadaan on atau siap menerima ilmu hudhuri dari Tuhan, dalam yang di kalangan para filosof disebut al-faidh (emanasi), di kalangan para sufi disebut al-ma’rifah, dan al-isyraqiyah, di kalang mufassir disebut al-mauhubuha dan ilmu al-laduni, di kalangan orang biasa disebut taufiq atau hidayah, dan di kalangan. Ibn Sina dalam Kitabnya al-Isyarat wa al-Tanbihat menggambarkan orang yang kembali kepada fithrah ditandai ketika suara hati nurani yang murni dan begitu lemah namun pengaruhnya amat dahsyat mulai muncul ke permukaan, sayup-sayup mulai terdengar, karena sebelumnya tertutup oleh berbagai kesibukan duniawi dan dosa-dosa, suara itulah yang dikumandangkan pada menjelang Idul Fithri: kalimat takbir, tahmid, tahlil dan tazkir:Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd. Suara yang suci saat termenung seorang diri, ketika pikiran mulai tenang, kesibukan mulai berkurang terdengar suara nurani yang mengajak anda berdialog, mendekat, berupaya menyatu dengan totalitas wujud yang Maha Mutlak, yang menyadarkan kelemahan diri kita di hadapan Tuhan yang Maha Kuada. Itulah suara Fithrah. Orang tersebut jadi arif, bebas dari ikatan raga, selalu gembira, banyak senyum, hatinya dipenuhi kegembiraan, sejak ia mengenal-Nya, dengan melihat Yang Maha Suci, semua manusia dianggap sama sebagai makhluk Allah, wajar mendapat rahmat, yang taat atau yang dosa, tidak akan mengintip-intip kelemahan orang lain, tidak pula mencari-cari kesalahan orang lain, tidak akan marah, tidak akan tersinggung walaupun melihat yang mungkar, keadaan jiwanya telah terkaiy dengan rahmat, dan kasih sayang Tuhan, karena ia memandang keindahan, sir, rahasia Allah, mengajak kebaikan dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, kecaman, kritikan yang memaki-maki atau ejekan, semua yang buruk hilang dari dirinya, yang ada hanya kebaikan. Cintanya pada benda tidak berbekas lagi, selalu jadi pema’af, dadanya lapang, tidak ada tempat lagi bagi kesalahan orang lain, tidak ada dendam. (Lihat H.M.Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 1992:321). Sikap dan kepribadian yang demikian itu, selain diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ia mema’afkan penduduk Thaif yang menzaliminya, atau ia tidak jadi memukul pembantu perempuannya yang melaikan tugas, atau ketika ia membantu pekerjaan pembantu laki-lakinya, Anas bin Malik yang kerepotan dalam mengerjakan tugasnya dan ia membayar upahnya sebelum keringatnya kering, atau ketika ia memaafkan wanita Khaibar yang meracunnya Bersama sahabat Bisyir bin Barra bin Ma’rur; atau seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib yang tidak jadi membunuh musuhnya yang meludahi wajahnya, padahal pedang Sayyidina Ali sudah di leher musuh, dengan alasan ia tidak mau membunuh dalam keadaan dikuasaib hawa nafsu. Kesucian diri dari dosa dengan sesama manusia itu diperlukan bukan hanya untuk kesuksesan hidup di akhirat nanti, melainkan untuk di dunia ini. Karena berbagai karunia Tuhan berupa rezeki yang berlimpah, harta benda, pangkat, kedudukan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya terjadi melalui proses interaksi, komunikasi, dan kerjasama yang harmonis dan baik dengan sesame manusia. Semua orang saling membutuhkan, dan jika hal ini terhambat, tidak lancer, atau terputus, maka yang akan rugi adalah manusia sendiri. Pedagang butuh pada pembeli dan sebaliknya, pemilik pabrik butuh karyawan dan sebaliknya, guru butuh murid dan sebaliknya, pemimpin butuh rakyat dan sebaliknya, dokter butuh pasien dan sebaliknya, khatib butuh jama’ah dan sebaliknya, laki-laki butuh perempuan dan sebaliknya, anak butuh ayah dan sebaliknya, supir angkutan umum butuh penumpang dan sebaliknya. Dinamika, siklus dan proses kehidupan yang demikian itu dapat berjalan dengan baik dan sehat, bila hubungan antara manusia berlangsung sehat, wajar, dan harmonis. Halal bihalal yang diadakan dalam rangka membangun kehidupan yang sehat, wajar, dan harmonis itu, yang merupakan modal sosial yang amat berharga dalam mewujudkan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Kedua, bahwa guna mewujudkan tujuan halal bi halal sebagaimana dikemukakan di atas, Islam memberikan rambu-rambu yang harus dipatuhi sebagai berikut. Dengan mengacu kepada firman Allah SWT berikut ini: ۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. Ali ‘Imran, 3:133-134) Maka rambu-rambu dalam rangka halal-bihalal sebagai berikut. Pertama, bahwa memohon ampun (al-taubat) baik kepada Allah, maupun kepada manusia (halal bi halal) hendaknya disegerakan atau tidak ditunda-tunda lagi. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT: وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga.”
Secara redaksional, kalimat tersebut berbentuk perintah, dan pada pokoknya, setiap perintah hukumnya wajib. Mushthafa al-Maraghy, dalam Kitab Tafsirnya, al-Maraghy, Jilid II, halaman 69, menafsirkan potongan ayat tersebut sebagai berikut: Wa baadiru ila al-‘amali bima yuwashilukum ilaa maghfirati zunubikum wa yudkhilukum jannatan waadiatan al laity a’addahallahu liman ittaqaahu wa imtisalu awamirihi wa tarki nawahihi:Dan bersegeralah kepada amal perbuatan yang dapat menyampaikanmu kepada pengampunan dosamu dan memasukanmu ke surge yang luas yang disediakan Tuhan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang mengikuti perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Namun tidak dijelaskan alasan mengapa permohonan ma’af kepada Allah SWT itu perlu dipercepat. Namun logika bisa mengemukakan alasan tersebut, antara lain, agar dosa yang dikerjakan tidak keburu lupa, sehingga mudah diingat, menunjukan kesungguhan untuk bertaubat, belum berdampak buruk lebih jauh terhadap kejiwaan manusia; dan tidak bertumpuk dengan dosa yang sangat dimungkinkan datang berikutnya; dan jika dosa tersebut terjadi pada manusia, maka dengan disegerakan meminta ma’af, agar dosa tersebut tidak berkembang luas dan tidak berdampak pada kehidupan lainnya:sosial, ekonomi, politik, dan lain. Keharusan cepat cepat bertaubat dan berhalal bihalal ini juga sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan Buchori Muslim sebagaimana tersebut yang mentolelir penundaan taubat atau halal bihalal itu hanya tiga hari. Dalam hal lain, Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar setiap orang tidak tergesa-gesa atau tidak terburu-buru dalam melakukan pekerjaan. Nabi dalam Kitab Tanbih al-Ghafilin, sebagaimana dikutip Usman bin Hasan bin Ahmad al-Syaakir al-Khuubawiy, Ulama abad ke-13 Hijrah, (hal.204), ada lima perbuatan yang harus disegerakan (al-‘ajalah, ta’jil). Lengkapnya ia mengatakan: Lakinna al-‘ajalata sunnatun fi khamsati mawa’dli’a: fi dufni al-mayyit, fi tazwiiji al-banaat; fi ada’I al-dain, fi al-taubah ba’da al-ma’shiyat, dan fi ihdlaari al-tho’am li al-musafir:Namun tergesa-gesa itu disunahkan pada lima hal: (1)mengubur jenazah; (2)menikahkan anak perempuan; (3)membayar hutangl (4)bertaubat setelah berbuat ma’shiyat; dan (5)menyajikan makanan bagi musafir (pengembara). Menyegerakan mengubur jenazah didasarkan pada sikap husn al-dzann, bahwa orang yang meninggal itu segera akan menemui Tuhannya dan menerima berbagai kenikmatan. Pada umumnya orang menduga mati itu menakutkan, orang enggan mati, berbagai cara dilakukan, rumah sakit dibangun, Teknik penyembuhan penyakit terus diteliti dan dikembangkan, para dokter yang ahli dan professional terus dioahirkan, dan obat-obatan diproduksi, dan sebagainya, antara lain karena ingin menunda kematian, atau dapat hidup lebih lama. Orang takut mati. Ini sama dengan bayi lahir ke dunia pada mulanya juga takut; selama dalam kandungan berbagai kebutuhan hidupnya terjamin; sedangkan kalua ia lahir ke dunia, ia harus berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya, ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru di alam dunia, ia harus tahu karakter ayah, ibu, kakek, nenek dan sebagainya, apakah tergolong orang yang santun, ramah, atau yang kasar dan bengis; ia harus tahu apakah orang tuanya tergolong kaya atau miskin, lingkungan yang aman atau lingkungan yang rawan, negara yang maju, atau negara yang terbelakang; bagaimana ia harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya, ia mulanya takut hidup di dunia ini, sehingga ada yang menafsirkan tangisan bayi saat lahir sebagai tanda keengganannya lahir ke dunia, dan ia ingin tetap dalam Rahim ibunya. Namun setelah lahir ke dunia, ia malahan lebih betah di dunia; tidak ingin pindah ke alam barzah; padalah boleh jadi di alam barzah lebih baik daripada di alam dunia. Tapi untuk meyakinkan bahwa di alam barzah lebih baik daripada di alam dunia bukan merupakan perkara yang mudah, karena berkaitan dengan keyakinan, dan tidak bisa diperkuat dengan bukti-bukti empirik. Namun, kita harus mengedepankan sikap husn al-dzann, bahwa orang yang mati itu tergolong orang yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala dari Tuhan, seperti orang yang akan mengabil gaji, bonus atau hadiah Selanjutnta menikahkan anak perempuan yang secara mental dan fisik sudah siap merupakan hal yang harus disegerakan. Namun hal ini terkait dengan budaya, tradisi dan pola hidup yang bersangkutan. Masyarakat yang tinggal di pedesaan misalnya cenderung cepat-cepat menikahkan anak perempuannya, karena secara ekonomi anak perempuan yang sudah menikah itu menjadi tanggungan suaminya, serta tuntutan dan kebutuhan hidup desa tidak terlalu kompleks; yang dituntut adalah jika secara fisik sudah memadai, dapat merawat tubuh, memasak, atau mengerjakan pekerjaan rumah, mengaji dan bergaul, bisa dipertimbangkan untuk berumah tangga. Hal ini berbeda dengan wanita di kota yang umumnya cenderung menunda pernikahan, karena ingin memiliki karir sebagaimana yang dicapai kaum laki-laki; dan secara ekonomi juga ingin mandiri, atau tidak bergantung sepenuhnya kepada kaum laki-laki. Namun menikahkan anak wanita lebih cepat daripada anak laki-laki tetap perlu dipertimbangkan, dengan alasan terkait dengan usia subur untuk memperoleh keuturunan, bahwa melahirkan butuh tenaga muda, bahwa factor kecantikan wanita terkait dengan usia; dan agar kaum pria tidak mudah tergoda oleh wanita lain. Selanjutnya terkait dengan alasan membayar hutang dengan segera antara lain agar uang untuk bayar hutang itu tidak keburu terpakai keperluan lain; untuk menyenangkan hati orang yang dihutangi, mengingat orang yang menerima bayaran hutang biasanya senang hatinya, seperti orang yang dapat hadiah, dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antara yang mengutang dan yang memberi hutang, dan yang terpenting lagi agar sebelum ajal menjemput dalam keadaan tidak berhutang. Dalam pada itu berkenaan dengan bersegera taubat setelah berbuat ma’shiyat, sebagaimana dikemukakan di atas, agar ketika menghadap Allah dalam keadaan bersih dari dosa, sehingga terbebas dari siksaan kubur dan siksa neraka yang pedih. Allah SWT menyatakan: Sungguh berbahagialah orang yang membersihkan dirinya, kemudian ia menyebut nama Tuhannya dan mengerjakan shalat. (Q.S. al-A’la, 87:14-15). Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (Wa kaanallahu ghafuran rahiima: Q,S. An-Nisa, 4L152; lihat pula Q.S. Ali ‘Imran, 3:133) di atas. Berkenaan dengan menyegerakan memberi makan orang yang dalam perjalanan, karena sudah dapat diduga, bahwa orang tersebut tengah membutuhkan stamina guna melanjutkan perjalanannya; dan boleh jadi ia kehabisan bekal, dan jika tidak dibantu segera boleh jadi secara terpaksa ia akan mencari makanan dengan cara melanggar hukum. Kedua, disertai dengan kemampuan mengendalikan amarah. Karena boleh jadi ketika akan halal bihalal ia teringat kembali memori tentang keburukan, kezaliman, pertengkaran, kekezaman, perkataan, perbuatan, sikap dan lainnya di masa lalu yang dapat membangkitkan amarah. Dalam rangka halal bihalal hendaknya rasa dendam, sakit hati dan lainnya yang dapat membangkitkan emosi hendaknya diredam, dikendalikan, dan ia bertekad untuk memaafkan atau menghapuskan dosa orang tersebut. Hal ini dapat dipahami dari potongan teks ayat yang berbunyi:
ِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ “Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” Musthafa al-Maraghy menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: Ai wa al-mumsikiina ‘alaihi al-kaaffina an imdlaihi hiya al-qudrah ‘alaihi. Artinya yaitu menguasai dan mengendalikan amarah tersebut, walaupun sesungguhnya ia memiliki kesanggupan untuk melampiaskannya. Orang yang demikian itu dalam pandangan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang hebat, karena telah berjuang mengendalikan amarahnya. Ia telah berusaha sekuat tenaga menahan atau mencegah. Ia tak ubahnya seperti seseorang yang menahan atau membungkan sebuah bom yang akan meledak, lalu ditahannya, karena kalau sampai meledak bisa menimbulkan bencana besar. Al-Qur’an mengingatkan manusia dengan mengatakan: Jika manusia mengikuti hawa hawa nafsunya, maka akan terjadi kerusakan di daratan dan lautan. Nabi mengatakan: Orang yang hebat itu bukanlah orang yang temperamental atau melampiaskan hawa nafsunya, melainkan orang yang hebat itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya, ketika desakan amarah itu datang. Nabi Muhammad SAW menyarankan orang yang demikian dengan berwudlu, dan istighfar. Ketiga, halal bihalal disertai dengan mau memaafkan kesalahan orang lain.Hal ini dapat dipahami dari potongan ayat yang berbunyi: وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ “Dan memaafkan (kesalahan) orang.” Kalimat ini menunjukan bahwa memberi ma’af jauh lebih diutamakan daripada dimintakan ma’af. Jadi jangan menunggu orang yang bersalah yang meminta ma’af, karena boleh jadi dia malu, dia takut, dia tidak punya keberanian, atau dia menjadi sasaran balas dendam. Sebaiknya kita yang lebih dahulu yang memaa’fkan. Inilah prakteknya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Thaif yang menyakitinya, kepada wanita Khaibar yang meracuninya; atau kaum Kafir Quraisy yang meneror, mengintimidasi, mengusir dan ingin membunuhnya; dan ini pula yang dipraktekkan oleh Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari 27 tahun oleh bangsa kulit putih, namun ia tidak dendam atau ingin membalas kekejaman bangsa kulit putih pada dirinya. Ketika keluar dari penjara, Nelson Mandela berpidato dan berkata: Siapakah di antara kalian yang lebih disakiti bangsa kulit putih dibandingkan dengan diriku, tidak ada. Tapi barangsiapa yang meyakiti orang kulit putih, maka orang tersebut akan saya tembak sekarang juga. Hal ini sejalan dengan syarat taubat atau halal bihalal sebagaimana dikemukakan Usman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khubawiy (hal. 38) yang mengatakan: tu’rafu taubat al-rajuli bi arba’ata asy’a’a: Awwalu yamna’u lisanahu min al-fudlul wa al-ghiibah wa al-namimah wa al-kidzb; wa al-tsaani an laa yaraa fi qalbihi hasadan wa laa ‘adawatan li ahadin min al-naas, wa al-tsaalitsu an yatruka ashhaaba al-suu’I wa laa yushahibu ahadan minhum, wa al-raabi’u an yakuuna musta’idan li al-mauti naadiman ‘ala al-zanbi wa mustaghfiran lima sabaqa min zunubihi mujtahidan fi tha’ati rabbihi.: Seseorang baru dikatakan sudah bertaubat atau berhalal bihalal bila dipenuhi empath al. Pertama, sudah mampu menjaga lidahnya dari mengarang-ngarang kata-kata, bergunjing, mengadu domba dan berdusta, Kedua, di dalam hatinya tidak ada lagi sikap iri dan permusuhan kepada siapapun; Ketiga, sudah dapat meninggalkan pergaulan dengan orang-orang yang buruk, dan Keempat, sudah siap menghadapi kematian, menyesali dosanya, dan memohon ampunan atas dosa yang masa lalu, serta berusaha sungguh-sungguh agar menjadi orang yang taat kepada Tuhannya. Bersamaan dengan itu, Sayyidina Ali mengatakan bahwa perbuatan disebut taubat apabila: (1)menyesali dosa yang lalu; (2)mengulangi (mengkada) perbuatan yang tercecer, (3)mengembalikan orang yang dizalimi; (4)mendidik diri agar ta’at beribadah, sebagaimana ia telah berbuat maksiat; (5) merasakan manisnya ta’at sebagaimana ia merasakan manisnya maksiat; dan (6)mengganti tertawa dengan menangis, (hal. 203). Keempat, dengan berbuat kebaikan .Yakni tidak cukup hanya dengan bersegera taubat, menahan amarah dan memaafkan, tetapi disertai dengan berbuat, yakni kepada orang-orang yang pernah bermusuhan atau bertengkar, hendaknya dibangun hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan, baik dalam bidang kekeluargaan, perdagangan, Pendidikan dan sebagainya; misalnya berbesanan, usaha patungan, memberikan Pendidikan dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan teks potongan ayat yang berbunyi:
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: wa atbi’i al-sayyiata al-hasanata tamhuha. Hendaknya perbuatan buruk masa lalu diganti dengan perbuatan baik yang dapat menghapus perbuatan buruk tersebut. Termasuk perbuatan baik dengan cara beristighar. Di antara kalimat sayyidul istighfaar adalah: Allahumma anta rabbi laa ilaaha ila anta khalaqtani wa ana abduka wa ana ala abdika wa wawa’dika ma istatha’tu abu u laka bini’matika alayya wa abuu bi zanbiy faghfirly fa innahu laan yaghfiruz zunuuba illa anta. (Durratun Nashihin, hal. 204).
Demikianlah, mudah-mudahan hikmah makna halal bi halal ini dapat kita pahami, hayati dan amalkan dengan sebaik-baiknya. Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Jakarta, 7 Juli, 2017
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.
|
Articles >