Articles‎ > ‎

MENINJAU KEMBALI PERAN STRATEGIS FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam adalah merupakan salah satu mata kuliah yang diajarkan pada fakultas keguruan pada perguruan tinggi Islam, negeri dan swasta. Dibandingkan mata kuliah lainnya,  mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam  ini tergolong sebagai new comer (pendatang baru). Buku-buku Filsafat Pendidikan Islam yang selama ini digunakan dosen dan mahasiswa, misalnya, baru  lahir di penghujung abad ke-20.   Buku-buku itupun baru bersifat pengantar, kurang sistematis, dan belum terkait langsung dengan peran strategis filsafat pendidikan Islam dalam mengatasi problema pendidikan Islam.
Di tengah-tengah keadaan Filsafat Pendidikan Islam yang demikian itu, pendidikan Islam pada khususnya, dan pendidikan pada umumnya masih menghadapi sejumlah permasalahan yang makin kompleks dan belum dapat diatasi secara tuntas. Masih rendahnya mutu lulusan, tenaga pendidik dan kependidikan yang kurang profesional, belum link and mach-nya lulusan pendidikan dengan dunia kerja, munculnya pemalsuan ijazah, tradisi nyontek, plagiasi skripsi, tesis dan disertasi, tawuran pelajar, pola hidup hedonistik di kalangan pelajar dan mahasiswa, pengangguran, belum siapnya semua lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi, dan kesejahteraan guru, adalah termasuk di antara problematika pendidikan yang hingga saat ini belum dapat diatasi dengan tuntas.
Idealnya Filsafat Pendidikan Islam harus mampu mengatasi sejumlah permasalahan pendidikan Islam tersebut. Melalui kajiannya secara sistematis, radikal, universal, spekulatif, komprehensif, holistik, dealektif, reflektif, induktif dan deduktif terhadap berbagai hal yang selama ini menjadi objek kajian filsafat, yaitu Tuhan, manusia, masyarakat, alam, etika, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya, dapat ditemukan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan pendidikan.  Dengan menggunakan jasa Filsafat Pendidikan Islam, problema pendidikan Islam akan dapat diatasi dengan tuntas, karena  di dalam mengatasi problematika pendidikan tersebut, filsafat pendidikan Islam bukan mengatasi akibatnya, melainkan mengatasi penyebabnya. Ibarat rumah yang bocor, Filsafat Pendidikan Islam bukan mengatasinya dengan cara menadahi  bocoran air tersebut dengan bak penampungan atau alat lainnya, tetapi dengan cara mengatasi penyebab bocor tersebut, misalnya dengan mengganti genting atau atap rumah tersebut. Namun, dalam realitanya, Filsafat Pendidikan Islam masih belum mampu mengatasi problema pendidikan sebagaimana tersebut di atas. Dengan merujuk kepada berbagai literatur yang otoritatif, serta dengan menggunakan pola berfikir dialektis kritis, tulisan ini lebih lanjut akan membahas tentang peran strategi Filsafat Pendidikan Islam dalam mengatasi problematika pendidikan Islam, dengan terlebih dahulu mengemukakan hakikat Filsafat Pendidikan Islam dan  problematika pendidikan Islam.

B.Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Hakikat, inti atau substansi Filsafat Pendidikan Islam adalah penggunaan jasa filsafat dalam memecahkan problema pendidikan. Jasa filsafat tersebut dapat berupa cara dan metode berfikirnya yang sistematik, radikal, universal, spekulatif, holistik, komprehensif, dialektik, kontemplatif, induktif, deduktif dan reflektif; maupun objek kajiannya, yaitu Tuhan (metafisika), manusia (psikologi), masyarakat (sosiologi), alam (kosmologi), etika,  estetika, dan ilmu pengetahuan (epistimologi) yang digunakan untuk merumuskan dasar-dasar, asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang berkaitan dengan seluruh komponen pendidikan. Di dalam merumuskan  visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik, pengelolaan administrasi, sarana prasarana, pembiayaan, lingkungan, kerjasama dan evaluasi harus didasarkan pada dasar-dasar, asas-asas dan prinsip-prins yang dihasilkan melakukan kajian filosofis terhadap berbagai objek filsafat. Dengan dasar-dasar, asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut, maka pendidikan Islam tersebut selain memiliki karakteristik, ciri khusus, dan distingsi yang membedakannya dengan pendidikan pada umumnya, juga agar pendidikan Islam memiliki pegangan, landasan, sandaran yang kuat dan terhindar dari kekacauan.
Berfikir sistematik dimaksudkan adalah berfikir yang tertib, tidak sporadis dan mengikuti ketentuan berfikir sebagaimana diatur dalam ilmu logika. Misalnya dengan menggunakan berfikir deduktif yang dimulai dari premis mayor, premis minor dan konklusi; atau berfikir induktif yang bermula dari menganalisa dari hal-hal yang bersifat partikular menuju ke arah yang bersifat general. Sedangkan berfikir radikal adalah berfikir tuntas, sampai ke akar-akar, dan sampai pada batas yang tidak dapat dipikirkan lagi, dan tuntas. Untuk itu perlu perenungan secara terus menerus hingga batas akhir akal tidak lagi sanggup melakukannya. Sementara itu berfikir universal adalah berfikir yang berorientasi pada menemukan gagasan umum, wordl view, dan weltanchaung. Misalnya setelah melakukan kajian secara mendalam terhadap berbagai hukum Islam, maka ditemukan gagasan umum, world view dan weltanchaung-nya, yaitu menegakkan keadilan dan kemanusiaan, sehingga penerapan hukum yang beraneka ragam itu tidak akan mengorbankan dan melanggar hak-hak asasi manusia. Demikian pula, dari berbagai aspek ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan urusan keduniaan maupun keakhiratan, baik urusan ibadah maupun mu’amalah:sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain sebagainya, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Pemahaman terhadap hal yang partikular ajaran Islam yang dilepaskan dari nilai universalnya ini, misalnya, menyebabkan pemahaman tersebut menjadi sempit, dan sektarian.  Selanjutnya berfikir secara spekulatif artinya berfikir secara merenung (tafakkur, dan tadabbur) dengan penuh konsentrasi, mencari  waktu dan sempat yang hening, sehingga pikiran tersebut dapat bekerja secara jernih, dan jauh dari intervensi hawa nafsu dan lainnya, serta dilakukan dalam kondisi jiwa yang bersih, mendekatkan diri kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Gua Hira, atau oleh setiap manusia pada saat melakukan i’tikap di masjid, atau sedang melakukan shalat tahajjud. Pikiran tersebut dilakukan secara menerawang setinggi-tingginya.  Sedangkan berfikir holistik adalah berfikir dengan meminta bantuan anggota fisik, pancaindera, akal, hati nurani, serta berfikir dengan meminta bantuan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi dan sebagainya, sehingga hasil pemikiran tersebut bersifat utuh dan lengkap. Sedangkan berfikir  komprehensif, maksudnya adalah berfikir tentang sesuatu dari berbagai aspeknya. Ketika berfikir tentang ajaran Islam misalnya, ia memikirkan ajaran Islam tersebut dari aspek  fikih, filsafat dan tasawuf, atau dari  berbagai aspeknya. Selanjutnya berfikir secara  dialektik, maksudnya menggunakan rumut tesis anti tesis dan sintesis. Sesuatu yang sudah jadi keputusan atau pendapat para ahli misalnya, tidaklah diterima begitu saja, melainkan secara terus menerus dipertanyakan atau dikonfrontirkan dengan pendapat lainnya sebagai antitesisnya, dan hasil konfrontir ini dihasilkan sintesis. Sintesis ini selanjutnya  menjadi tesis baru yang juga dikonfrontirkan oleh antitesis. Keadaan ini dilakukan secara terus menerus (never ending), sehingga tidak ada sebuah ilmu atau pendapat yang dianggap final. Sedangkan berfikir secara reflektif, adalah berfikir merenung dan merenung terhadap sesuatu, sehingga memperoleh pantulan dari sesuatu itu secara dan digunakan untuk memahaminya secara mendalam. Sebagai contoh misalnya seseorang yang membaca buku setebal 500 halaman. Setelah itu buku tersebut diletakkan di meja, dan kemudian dia bercerita tentang isi buku tersebut dengan bahasanya sendiri, dengan mengemukakan gagasan dan pokok-pokok pikiran besar tentang sesuatu itu. 
Berfikir filosofis yang demikian beragam dalam filsafat itu, di dalam al-qur’an dikenal dengan istilah tafakkur, tadabbur, ta’aqqul, takhannus, tafaqquh, intidzar, ta’wil dan iqra. Berfikir tafakkur identik dengan berfikir reflektif; berfikir tadabbur identik dengan berfikir spekulatif, berfikir ta’aqqul identik dengan berfikir dialektif, berfikir takhannus identik dengan berfikir universal, berfikir tafaqquh identik dengan berfikir sistematik, berfikir intidzar identik dengan berfikir holitik, dan berfikir iqra identik dengan berfikir radikal, dan berfikir  secara ta’wil identik dengan berfikir spekulatif dan kontemplatif.  Model, pola dan beragam variasi berfikir filosofis yang berbasis agama ini merupakan fenomena yang baru muncul pada penghujung kekhalifahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya pada zaman kekhalifahan Abbasiyah, khususnya zaman al-Ma’mun di abad ke-9 M.  Pada masa itu seorang ulama dapat menggunakan semua model dan pola berfikir tersebut secara sekaligus, dan memang seharusnya demikian, dan sama sekali tidak ada yang melarangnya, bahkan dianjurkan oleh al-Qur’an. Dengan model dan pola berfikir yang demikian itu, maka tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Seorang  ulama misalnya, ia sekaligus seorang yang intelek; dan juga seorang yang  intelek sekaligus juga seorang ulama. Ibn Sina (abad ke-10 M.) adalah seorang intelektual yang ulama, karena di samping ia memiliki keahlian di bidang filsafat, ilmu jiwa, astronomi, matematika dan kedokteran, ternyata ia juga menguasai tafsir dan tasawuf. Demikian pula Imam Syafi’i, di samping sebagai ulama fiqih, ternyata ia juga seorang ahli sosiologi, antropologi dan psikologi, sebagaimana terlihat dalam produk pemikiran fikihnya ketika ia berada di Kufah (qaul qadim), berbeda dengan produk pemikiran fikihnya dalam hal yang sama, ketika ia berada di Mesir (qaul jadid). Keadaan masyarakat, geografis, kondisi alam, sejarah, dan psikologi masyarakat Kufah dan masyarakat Mesir ternyata sangat mempengaruhi pemikiran fikihnya. Sejarah mencatat, bahwa ketika model dan pola berfikir filosofis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, ternyata semua bidang ilmu, baik agama maupun umum ternyata berkembang pesat. Sebaliknya ketika pemikiran filsafat tersebut ditinggalkan, bahkan dimusuhi mulai di zaman al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah setelah al-Ma’mun), ternyata perkembangan berbagai bidang ilmu, mengalami kemandekan.  Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran filsafat ini juga mempengaruhi seluruh bidang ilmu agama Islam. Pemikiran filsafat ke dalam teologi, sebagaimana terlihat pada teologi Mu’tazilah, Maturidiyah, bahkan Asy’ariyah. Selanjutnya pemikiran filsafat masuk ke dalam fikih, sebagaimana terlihat pada penggunaan qiyas, sebagaimana dijumpai pada pemikiran fikih Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf. Pemikiran filsafat juga masuk ke dalam tafsir, sebagaimana terlihat pada Tafsir al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari. Filsafat juga masuk ke dalam tasawuf, sebagaimana terdapat dalam tasawuf falsafi, sebagaimana terlihat pada tasawufnya al-Hallaj tentang al-Hulul, tasawufnya Ibn Arabi tentang Wihdat al-Wujud, tasawufnya Yazid al-Bustami tentang al-Ittihad, dan lainnya. Lebih dari, filsafat juga masuk ke dalam ilmu bahasa, sebagaimana terlihat pada kajian hermeunik, ta’wil, balaghah, dan mantiq.  
Selanjutnya pemikiran filsafat juga masuk atau digunakan dalam ilmu pendidikan Islam, maka lahirlah Filsafat Pendidikan Islam. Melalui ilmu ini, metode, model dan pola berfikir filosofis sebagaimana tersebut di atas digunakan dalam rangka menetapkan dasar-dasar, asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan Islam. Penggunaan filsafat oleh pendidikan Islam, menunjukkan, bahwa pendidikan Islam adalah sebagai bagian dari ilmu sosial terapan yang beradasarkan Islam, yang di dalam penerapannya membutuhkan berbagai disiplin ilmu lainnya. Itulah sebabnya terdapat sejumlah ilmu yang digunakan jasanya oleh pendidikan, seperti sejarah (Sejarah Pendidikan Islam), Sosilogi (Sosiologi Pendidikan Islam), Psikologi (Psikologi Pendidikan Islam), Manajemen (Manajemen Pendidikan Islam), dan demikian seterusnya. Namun demikian, sebagai bagian dari ilmu sosial, maka pendidikan Islam umumnya lebih dekat dengan rumpun ilmu-ilmu sosial atau non eksak, dibandingkan dengan rumpun ilmu eksak.
Seanjutnya berkaitan dengan objek kajian filsafat tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam, etika, estetika,  dan ilmu pengetahuan akan menghasilkan landasan-landasan yang dibutuhkan untuk membangun konsep pendidikan. Kajian tentang Tuhan terutama dari segi sifat dan af’al-Nya, karakter dan perbuatan-Nya, akan menghasilkan konsep tauhid yang selanjutnya menjadi landasan dan dasar utama pendidikan Islam. Dengan landasan tauhid ini, maka pendidikan Islam akan terbebas dari corak pendidikan yang sekuler yang berdasarkan pada rasio, dan femonena empiriknya, tanpa mempercayai adanya Tuhan, sebagaimana yang dijumpai di Barat. Dengan tauhid ini pula, setiap praktek pendidikan akan dinilai sebagai ibadah, merasa diawasi Tuhan, terbebas dari perbudakan dan intimidasi manusia, terbebas dari kecurikan dan diskriminasi. Dan dengan tauhid ini, pula akan dapat dibangun konsep ilmu yang holistik dan integrated. Yaitu suatu pandangan, bahwa ilmu yang dihasilkan dari wahyu sebagaimana dijumpai pada ilmu agama, ilmu yang dihasilkan dari penelitian terhadap fenomena alam jagat raya sebagaimana dijumpai pada ilmu-ilmu alam (sains), ilmu yang dihasilkan dari penenelitian terhadap fenomena sosial, sebagaimana dijumpai pada imu-ilmu sosia; ilmu yang dihasilkan melalui pendekatan intuisi-ilham dan hadas dengan Tuhan, sebagaimana dijumpai pada ilmu tasawuf, dan ilmu yang dihasilkan melalui penggunaan akal dalam memikirkan segala sesuatu secara sistematik, radikal, universal, spekulatif, deduktif, empirik, dialektik, analitik dan reflektif sebagaimana dijumpai dalam filsafat, pada dasarnya adalah satu. Karena sumber ilmu berupa wahyu, alam, fenomena sosial, hati nurani dan akal adalah ayat-ayat ciptaan Allah. Demikian pula alat yang digunakan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan, yaitu fisik, pancaindera, akal, dan hati nurani adalah ciptaan Tuhan. Dengan landasan tauhid ini, maka pendidikan Islam tidak akan mengenal adanya dikhotomi ilmu.
Selanjutnya kajian secara filosofis terhadap manusia dengan seluruh aspeknya, yakni fisik, pancaindera, akal, dan hati nurani, sifat, dan bakatnya yang dimilikinya akan menjadi landasan dalam menetapkan kurikulum,  berbagai metode dan pendekatan dalam proses belajar mengajar, serta materi atau bahan ajar. Ketika menetapkan nama-nama mata pelajaran  misalnya harus melihat tingkat usia, kecerdasan,  sifat dan bakat manusia. Pada usia kanak-kanak (6-12 tahun) misalnya mata pelajaran yang diajarkan masih terbatas belajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, olah raga, seni budaya, agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan praktek keagamaan. Demikian pula untuk anak usia di atasnya, isi dan muatan kurikulum harus disesuaikan. Kajian terhadap manusia, terutama dari segi kejiwaannya juga dibutuhkan dalam rangka menetapkan metode dan pendekatan yang paling cocok dengannya.
Kemudian kajian secara filosofis terhadap masyarakat, diperlukan untuk menentukan corak dan jenis pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat, serta memanfaatkan berbagai hal yang terdapat di masyarakat, seperti adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut, sehingga antara pendidikan dan masyarakat akan mengalami keterkaitan dan kesesuaian (link and mach). Pendidikan untuk masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat informasi misalnya harus dibedakan, karena hal yang berkaitan dengan pola komunikasi dan interaksi, pandangan terhadap ekonomi,  penggunaan sains dan teknologi, pengghargaan terhadap waktu, orientasi kehidupan, dan lainnya mengalami perbedaan. 
Selanjutnya pemikiran filosofis terhadap  alam, diperlukan dalam menentukan lingkungan, sarana prasarana pendidikan. Keadaan alam yang bersih, indah, sejuk, tenang, subur, dan terpelihara kelestariannya sangat diperlukan untuk mendukung keberlangsungan proses pendidikan. Demikian pula berbagai hal yang ada di alam, seperti tumbuh-tumbuhan (flora) dengan berbagai macam ragamnya, binatang (fauna) dengan berbagai macam ragamnya, air yang jernih, sejuh dan berlimpah, udara yang sejuk dan  bersih, tanah yang terhampar luas dengan berbagai kekayaan yang terdapat di dalamnya, gunung yang indah dengan berbagai aneka tambang yang terdapat di dalamnya, semuanya itu dapat digunakan sebagai sarana dan media pembelajar. Alam yang demikian indah dengan beraneka ragam yang terkandung di dalamnya dapat dinilai sebagai sebuah kitab raksasa yang terbuka, yang jika dibaca, dikaji dan diteliti akan dihasilkan rumpun ilmu-ilmu alam (sains). Ilmu-ilmu alam (sains) ini jika diterapkan akan dihasilkan teknologi yang sangat dibutuhkan untuk memberikan berbagai kenyamanan bagi manusia. 
Demikian pula kajian filosofis terhadap etika, sangat dibutuhkan oleh pendidikan, selain sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dalam rangka memberntuk kepribadian, juga diperlukan sebagai kode etik bagi guru, murid, dan seluruh pemangku pendidikan, agar apa yang dikerjakannya tidak bertentangan dengan akal yang sehat, hati nurani, kemanusiaan dan keadilan. Kode etika pesera didik dan kode etik pendidik  yang bagaimanakah misalnya, dapat dihasilkan melalui kajian secara filosofis terhadap etika.
Dalam pada itu, kajian secara filosofis terhadap  estetika atau keindahan (seni) selain sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dalam rangka membentuk kepribadian yang halus, santun dan beradab, juga diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar, penataan halaman, ruangan, dan juga sekaligus hiburan yang menyenangkan dan membuat peserta didik tidak merasa lelah, jenuh dan gersang dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
  Demikian pula kajian secara filosofis terhadap  ilmu pengetahuan selain diperlukan dalam rangka merancang dan menyusun kurikulum dan bahan ajar, juga bagi pengelolaan dan pelayanan kegiatan belajar mengajar. 
Dengan demikian, hakikat Filsafat Pendidikan Islam adalah kegiatan berfilsafat yang digunakan untuk menemukan dasar-dasar, asas-asas, dan prinsip-prinsip pendidikan Islam, baik pada dataran teoritis maupun praktis.  Dengan dasar-dasar, asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut, pendidikan Islam diharapkan memiliki jatidiri, karakter, pegangan, arah dan kendali yang membedakannya dari pendidikan lainnya. 

C. Problema Pendidikan Islam
Dewasa ini Pendidikan Islam masih memiliki sejumlah masalah yang belum sepenuhnya dapat dipecahkan. Hasil kajian para ahli menyebutkan sejumlah masalah pendidikan Islam tersebut sebagai berikut.
Pertama, secara konseptual, pendidikan Islam yang berlangsung selama ini masih lemah. Hal ini disebabkan, karena pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya:orientasi, visi, kurikulum, ilmu-ilmu yang diajarkan, metode dan pendekatan yang digunakan, dan lain sebagainya yang dilaksanakan, tidak disusun berdasarkan hasil kajian dan penelitian yang mendalam, sistematik dan konprehensif. Pendidikan Islam yang berjalan selama ini masih banyak yang didasarkan karena meniru, atau menjiplak milik orang lain yang tidak diketahui persis landasan filosofis yang digunakannya. Kurikulum dan ilmu-ilmu yang diajarkan, baik ilmu agama maupun ilmu umum tidak dilakukan kajian terlebih dahulu dari segi kesesuaiannya dengan ajaran Islam. Akibat dari keadaan demikian itu, maka pendidikan Islam cenderung hanya baru sebatas merek, lebel atau logo dan belum isinya. Mereka, lebel dan logonya Islam, tapi isinya bertentangan dengan ajaran Islam, namun isinya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini tak ubahnya dengan pepatah “minyak babi cap oonta”.  Lembaga pendidikan yang demikian itu umumnya berjalan di tempat, dan tidak memiliki jati diri yang jelas. Namun demikian, belakangan sudah ada beberapa lembaga pendidikan yang dari sejak awal pembukaannya sudah didasarkan pada pemikiran filosofis yang mendalam. Lembaga pendidikan Islam yang demikian itu, biasanya dari sejak dibuka sudah langsung dikenal masyarakat dan dapat langsung bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada sebelumnya.  Model lembaga pendidikan Islam yang kedua itulah yang harus menjadi pilihan, dan karenanya dibutuhkan sejumlah sumber daya manusia yang memiliki wawasan konseptual tentang pendidikan, pengalaman, kemampuan teknis operasional, komitmen dan etos kerja yang tinggi, serta dapat bekerja dalam sebuah tim yang handal dan solid. Tim ini berfikir siang malam, selalu mencari terobosan, dan senantiasa mencari inovasi baru, dan tidak puas dengan kemapanan, walaupun harus ditebus dengan resiko psikologis, sosiologis dan ideologis. Namun untuk memiliki tim “gila” yang demikian itu juga masih merupakan masalah, karena hal ini terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia terdidik, sebagai akibat kurangnya dana dan kebijakan untuk melakukan investasi SDM dan kaderisasi secara berkelanjutan.
Kedua, pendidikan Islam masih menghadapi warisan problema awal abad ke-20 yang belum terpecahkan. Muhammad Abduh (lahir th. 1849 M).), salah seorang tokoh pembaharuan dari Mesir yang amat dikenal, misalnya, selain menyebutkan tentang adanya takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC) sebagai penyebab kemunduran dunia Islam misalnya, menyebutkan pula tentang taklid kepada ulama lama yang terus dipertahankan, tidak menghargai penggunaan akal untuk berfikir (berijtihad).  Selanjutnya, Fazlur Rahman, salah seorang tokoh pembaharu dari India-Pakistan (1919-1988) misalnya, mengatakan, bahwa di antara problema pendidikan Islam yang ia jumpai pada saat itu adalah adanya sikap dikhotomi, yaitu mempertentangkan satu ilmu dengan ilmu lain, atau menerima suatu ilmu, tapi menolak ilmu lainnya, seperti menerima ilmu agama, tetapi menolak ilmu umum dalam kurikulum, hilangnya semangat menuntut dan mengembangkan ilmu sebagai bagian dari ideologi pendidikan Islam, sikap verbalistik sebagai akibat dari model pembelajaran yang receptif, repetitif, defensif dan hafalan, tanpa kritis, serta tidak ada keberanian untuk berijtihad.  Problema yang terkait dengan orientasi, visi, kurikulum, metode dan pendekatan dalam belajar mengajar ini, masih belum sepenuhnya hilang dari praktek pendidikan Islam selama. Sejumlah lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti Pesantren Salafiyah, Madrasah Diniyah, bahkan juga Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, juga masih belum sepenuhnya hilang dari problema pendidikan warisan abad yang lalu itu.
Ketiga, pendidikan Islam masih menghadapi problema yang terkait dengan adanya pandangan tentang Islam yang bersifat ideologis-politis, formalistik, dan tekstualis. Islam yang bercorak ideologis dimaksudkan adalah paham Islam yang menempatkan Islam sebagai tujuan, atau cita-cita hidup yang harus diwujudkan dalam realita. Islam dianggap sebagai ajaran yang kaaffah, yakni sudah mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari urusan mandi, shalat, thalaq, ruju, dan warisan, sampai masalah yang besar seperti urusan politik pemerintahan dan kenegaraan, bahkan urusan dunia secara keseluruhan. Paham Islam yang demikian itu misalnya diperlihatkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tidak hanya menginginkan diberlakukannya syari’at Islam, juga diberlakukannya konsep khilafah dalam sistem pemerintahan. Sedangkan paham Islam formalistik misalnya diperlihatkan oleh Partai Keadilan Sosial (PKS) dan yang sejenisnya yang menginginkan diberlakukannya syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, walaupun tidak mesti harus merubah sistem pemerintahan yang ada. Melalui jalur pendidikan (al-tarbiyah) terpadu yang dikembangkannya, serta melalui jalur Islamisasi yang digagas dan dipraktekkannya, PKS berusaha merubah atau mengganti istilah-istilah yang digunakan dalam kehidupan dengan  istilah dalam Islam. Untuk pendidikan misalnya, ia menggunakan istilah al-Tarbiyah; panggilan terhadap ayah diganti dengan abiy, panggilan terhadap ibu, diganti dengan umi, panggilan terhadap kawan laki-laki diganti dengan akhiy, panggilan terhadap kawan wanita diganti dengan ukhtiy, dan berbagai istilah lainnya. Untuk lebih memantapkan identitasnya, pengikut PKS ini ada yang terbiasa memelihara janggut panjang. Namun berbagai simbol keislaman ini segera dipertanyakan orang dengan sikap dan kepribadian yang sesungguhnya, ketika di antara tokoh-tokoh PKS ada yang terjerat kasus hukum, seperti korupsi, pencucian uang, nikah siri dan lain sebagainya. Sementara itu, paham Islam salafi diperlihatkan oleh Jamaha Tabligh dan yang sejenisnya. Kelompok terakhir yang beridelogi salafi ini biasanya dihubungkan dengan paham keagamaan yang dianut Muhammad bin Abd al-Wahhab, dengan ciri-cirinya antara lain, kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara tekstualis, tanpa adanya ta’wil atau interpretasi yang bersifat rasional dengan berbagai bantuan ilmu lainnya, tidak toleran terhadap paham Islam kelompok lainnya (intolerant-eksklusif), mengikuti tradisi Rasulullah SAW secara visualistik dan fisik, seperti memelihara janggot, bepergian dengan berjalan kaki, tidak menggunakan berbagai produk teknologi, memakai celana kutung, dan sebagainya.  Adanya paham keislaman yang demikian itu pada masa Orde Baru tidak nampak sebagai bagian dari keberhasilan strategi dan pendekatan yang dilakukan ummat Islam pada paruh masa kekuasaan Orde Baru, melalui tokoh dan lokomotif umanaya, Nurcholish Madjid, ketika ia mengatakan: “Islam Yes, Partai Islam No.” “Islam yes” mengandung arti menerima ajaran Islam dalam konteks world view dan weltanchaung, substansi serta misi utamanya, yaitu memberikan rahmat bagi seluruh alam dengan cara menyebarkan memasyarakatkan ajaran Islam tentang kepedulian sosial terutama bagi kaum yang kurang mampu, memberantas kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, menegakkan keadilan, kesetaraan, kesederajatan, kedaulatan moral, dan sebagainya. Sedangkan “Partai Islam No.” mengandung arti menolak Islam dalam bentuk ideologis, politis dan formalistis sebagaimana tersebut di atas, sebagaimana yang ditampilkan dalam berbagai partai politik Islam. Pendekatan ini dinilai oleh Cak Nur dan para pengikutnya dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dianggap sebagai kontra produktif atau tidak menguntungkan, karena menyebabkan umat Islam selalu diawasi, dicurigai, dipinggirkan, bahkan dilemahkan dengan berbagai cara mulai dari yang halus sampai dengan yang kasar. Dalam masa  16 tahun (1965-1980) pemerintahan Orde Baru, posisi dan nasib umat Islam di masih belum beruntung, karena sikap dan paham Islamnya yang ideologis, politis dan formalistis itu. Sedangkan masa 16 tahun terakhir (1980-1998) hubungan umat Islam dengan pemerintah dalam keadaan rukun, damai, harmonis, bergandengan tangan, saling mempercayai, dan bahkan dalam keadaan “mesra”. Hubungan yang menguntungkan umat Islam ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan gagasan Nurcholish Madjid dan para kader HMI. Dalam situasi yang demikian, itu beberapa fenomen yang menguntungkan umat Islam segera lahir. Di antaranya, masuknya pendidikan Islam (Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam) ke dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, Bank Mualamat Indonesia (BMI), Undang-undang Peradilan Agama (UUPA), Harian Umum Republika, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), duduknya kader-kader Islam modernis, inklusif, pluralis, dan kultural dalam jajarang pimpinan ekskutif, dan legislatif.  Namun, ketika memasuka era reformasi yang dimulai tahun 1998, paham keagamaan Islam di Indonesia yang bercorak ideologis-politik, formalistik dan tekstualis itu muncul kembali dalam skala yang jauh lebih agressif dan terbuka dibandingkan dengan paham Islam ideologis-politis, formalistik dan tekstualis sebagaimana yang terjadi pada zaman Orde Baru. Di era reformasi ini, selain lebih terbuka, juga nampak banyak yang bercorak esktrim dan radikal. Lebih parah lagi, paham keislaman yang demikian itu telah pula masuk ke sebagian siswa sekolah menengah umum.  Tulisan Ahmad Asroni yang berjudul Reconstruction of Islamic Religious Education to Encountering Terrorsm and Islamic Radicalism: an Effort to Create Toleran and Inclusive Islamic Religious Education Teachers, yang dimuat dalam hasil Laporan  Centre for Research and Development yang diterbitkan Kementerian Agama Tahun 2012 misalnya melaporkan masuknya paham ekstrimisme dan radikalisme ke siswa sekolah menengah umum yang terjadi melalui para mentor yang diundang dalam kegiatan Rohani Islam (Rohis) di Sekolah.  
Tidak hanya itu, ke dalam sekolah juga telah masuk paham tentang sistem pemerintahan khilafah sebagai ganti dari sistem pemerintahan Republik. Hal tersebut misalnya terlihat dari adanya keengganan untuk mengikuti upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menolak Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan NKRI. Keadaan ini ada tahun 2013-2014 telah direspon oleh Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan ACDP yang dibantu oleh dana dari Australia, untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keberadaan potensi radikalisme dan ekstrimisme tersebut di lima wilayah:DKI Jakarta, Bandung, Solo, Medan dan Menado. Hasil penelitian tersebut menujukkan dengan jelas, bahwa potensi radikalisme dan ekstrimisme yang menggunakan bahasa agama di sekolah umum itu benar adanya. Untuk mengatasinya kini telah dilakukan upaya memasukan nilai-nilai demokrasi, multikultural, humanisme, serta wawasan kebangsaan, NKRI, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika ke dalam kurikulum sekolah.  Berhasilkan upaya ini, nampaknya belum dapat dipastikan. Sementara gerakan radakalisme dan ekstrimisme semakin mendapatkan momentumnya ketika semakin kuatnya gerakan NIIS (Negara Islam Irak dan Suria), atau ISIS (Islamic State of Irak dan Suria) yang telah menggerkan dunia.
Keempat, pendidikan Islam masih belum mampu merumuskan sebuah respon yang tepat dalam menghadapi tantangan era globalisasi yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi  canggih. Masuknya pendidikan Islam sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dalam suasana kompetisi yang tidak sehat, semakin meningkatkan tuntutan masyarakat untuk diperlakukan secara lebih demoratis, adil, egaliter, dan humanis, kesaling tergantungan yang menimbulkan hegomoni yang kuat atas yang lemah, penggunaan teknologi canggih yang kurang terkendali, dan munculnya pola hidup baru yang cenderung hedonistik, pragmatis, dan materialistik yang mendorong orang berlomba-lomba mengumpulkan harta dengan cara melanggar hukum. Walaupun penegak aparat hukum bekerja keras, seperti Polisi, Kejaksaan, Kehakiman, bahkan KPK, dan lainnya dalam memberantas pelanggaran hukum seperti korupsi, narkoba, prostitusi, perdagangan manusia, dan semacamnya, tidaklah akan berhasil secara tuntas, jika akar permasalahannya, yakni nilai-nilai  pragmatis, hedonistik, materialistik, transaksional dan semacamnya yang telah menjadi budaya yang mempengaruhi pola pikir, perasaan dan tingkah laku manusia tidak berhasil diatasi. Upaya para penegak hukum tersebut, hanya sekedar mengurangi atau menekan, tapi tidak dapat menghilangkan orang-orang yang melanggar hukum tersebut. Menanamkan nilai-nilai luhur ajaran agama seperti hidup sederhana, jujur, amanah, qana’ah, dan ibadah  secara menarik dan efektif adalah bagian dari tugas pendidikan Islam yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Tidak hanya itu, era globalisasi juga akan merubah pola dan pendekatan pendidikan. Seorang futurolog pernah meramalkan bahwa dalam tahun 2013-an perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat akan menjadi tanah gundul yang ditingggalkan orang:In 30 years most universities in the US will become a barren land. Menurut Abdurrahman Mas’ud, hal ini terjadi karena manusia sudah tidak perlu lagi prestise lembaga perguruan tinggi. Manusia sudah mampu memuaskan dirinya sendiri (self-sufficent), dapat mendidik dan mencerdaskan diri sendiri dengan bantuan penggunaan teknologi informasi, khususnya dengan fasilitas komputer. Jika ramalan ini benar, maka trend pembelajaran dewasa ini dan ke depan harus lebih menekankan belajar mandiri (independent learning).  Di pihak lain, ada pula yang berpendapat, bahwa di era globalisasi ini yang dibutuhkan bukan hanya money capital (modal uang) dan human capital (modal manusia), melainkan juga membutuhkan human capital (modal sosial) yang kokoh, yaitu trust (kepercayaan), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya.  Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah memiliki modal social ini. Jawabnya adalah, bahwa dalam bidang social capital ini bangsa Indonesia hampir mencapai titik zero trust society, atau masyarakat yang sulit dipercaya. Buktinya, menurut hasil survey the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004 bahwa indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai 9, 25% atau ranking pertama se-Asea, bahkan pada tahun 2005, indeknya meningkat mencapai 9,4. 

D.Peran Strategis Filsafat Pendidikan Islam
Pertanyaannya, mampukan Filsafat Pendidikan Islam mengatasi problema pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas. Jawabnya bisa mampu dan bisa tidak. Filsafat pendidikan Islam diyakini mampu mengatasi problema pendidikan Islam tersebut terbatas pada dimensi konseptualnya. Sedangkan pada dimensi teknis operasional dan pelaksanaannya jelas membutuhkan keterlibatan semua sektor. Mengatasi problema pendidikan Islam tidak hanya dapat diatasi oleh Filsafat Pendidikan Islam, melainkan juga butuh keterlibatan pemerintah selaku penentu kebijakan melalui berbagai peraturan perundangan dan keputusan lainnya, penyediaan anggaran yang cukup, ketersediaan sumber daya manusia, keterlibatan dunia usaha dan industri, peran serta media masa, orang tua di rumah, dan masyarakat dengan berbagai potensi yang dimilikinya.
Peran strategis yang dapat dilakukan Filsafat Pendidikan Islam dalam mengatasi problema pendidikan hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Filsafat Pendidikan Islam berperan penting dalam memberikan landasan, dasar, asas dan prinsip yang kokoh, agar selain menjadi identitas juga menjadi pegangan yang kuat dalam mengendalikan pendidikan, juga agar pendidikan tersebut dapat mengatasi problema yang dihadapi. Pemikiran yang sistematik, radikal, universal, kontemplatif, dialektif, analitis, komprehensif, induktif, deduktif, dan reflektif terhadap obyek kajian filsafat yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, diharapkan dapat berkontribusi dalam mengatasi problema tersebut di atas. Untuk mengarahkan agar pendidikan tidak semata-mata dianggap sebagai komoditas yang diperdagangkan, transaksional dan berorientasi pasar semata-mata misalnya, dapat dimasukan pandangan filsafat tentang Tuhan (tauhid) yang menganggap pelaksanaan pendidikan sebagai ibadah kepada Allah yang dilaksanakan dengan ikhlas. Demikian pula, untuk mengatasi pendidikan yang hanya mengutamakan ilmu-ilmu sekuler, atau hanya ilmu agama saja, sebagaimana terlihat dalam pandangan ilmu yang dikhotomik dapat diatasi dengan pandangan filsafat yang didasarkan pada tauhid tentang ilmu pengetahuan. Yaitu bahwa baik ilmu agama, ilmu alam (sains), ilmu sosial, ilmu humaniora, filsafat dan tasawuf pada hakikatnya adalah hasil dari hasil ijtihad manusia yang memahami ayat-ayat Allah SWY, berupa al-Qur’an (ayat qauliyah), fenomena alam (ayat kauniyah), fenomena sosial (ayat insaniyah), akal pikiran, dan intuisi. Selanjutnya untuk mengatasi masalah lulusan pendidikan yang menganggur, dapat diatasi dengan pemikiran filsafat tentang manusia dan masyarakat. Yaitu, bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari unsur fisik, pancaindera, akal, intuisi dan hati nurani (spiritualias keagamaan). Semua unsur yang terdapat dalam diri manusia ini harus dibina secara serasi dan seimbang, sehingga ia menjadi manusia yang dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga ia tidak akan menganggur. Demikian pula dengan pandangan filsafat tentang masyarakat, akan mengarahkan pendidikan agar program-programnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (link and mach), memanfaatkan masyarakat sebagai subjek dan objek pendidikan, serta dengan melatih peserta didik agar mampu bermasyarakat. Dalam hal ini termasuk pula dengan memanfaatkan nilai-nilai budaya, tradisi, adat itidat yang baik yang terdapat di masyarakat yang selanjutnya dikenal dengan istilah budaya lokal (local wisdom), seperti yang ada di Aceh, Riau, Banjarmasin, Sumatera Barat, Jawa dan lainnya, ternyata mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam.  Kajian para ahli tentang budaya yang ada di berbagai daerah di Indonesia  Selanjutnya guna mengatasi adanya tawaruan pelajar, pergaulan bebas, kekerasan di sekolah, budaya nyontek, dan lainnya, dapat diatasi dengan cara memanfaatkan pandangan filsafat tentang etika dan este.
Kedua, Filsafat Pendidikan Islam akan dapat mengatasi masalah pendidikan, apabila pengertian dan hakikat filsafat dikembalikan kepada makna yang luas sebagaimana tersebut di atas. Yaitu sebagai bahwa dengan berfikir secara sistematik, radikal, universal, kontemplatif, dialektif, analitis, komprehensif dan reklektif, deduktif dan induktif tentang berbagai masalah:Tuhan, manusia, masyarakat, alam, etika, estika dan ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas. Dalam realitanya filsafat telah diperkecil ruang lingkup dan jangkauan kerjanya, sehingga ia tidak lagi menjadi induk berbagai macam ilmu pengetahuan, melainkan ia hanya tampil sebagai ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari ilmu lainnya, dan hanya mengkhususkan diri untuk mendukung paham tasawuf falsafi. Dengan kata lain, filsafat hanya digunakan oleh para sufi aliran filsafi. Dengan cara demikian, maka yang dihasilkan oleh filsafat hanyalah ilmu-ilmu yang bersifat sufistik, seperti al-faid dalam istilah ibn Sina, al-ma’rifah dalam istilah al-Ghazali, al-isyraqiyah dalam istilah Syahwardi, al-mauhubah dalam istilah Imam al-Syarbasyi, al-laduni dalam istilah para ulama, atau wangsit dalam istilah orang Jawa. Dalam filsafat Ibn Sina tentang jiwa misalnya dijumoai penjelasan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari daya makan (al-ghaziyah), tumbuh (al-munmiyah), dan berkembang (al-mulidah). Selanjutnya dalam jiwa binatang terdapat daya bergerak (al-muharrikah), dan menangkap (al-mudrikah), yang terdiri dari menangkap dari luar dengan pancaindera, dan menangkap dari dalam dengan indera bersama (al-hiss al-musytarak), representasi (al-khayyal), imaginasi (al-mutakhayyilah), estimasi (al-wahmiyah), dan rekoleksi (al-haafidzah). Sedangkan jiwa manusia memiliki akal praktis (al-‘amilah), dan akal teoritis (al-‘alimah) yang terdiri dari akal materil (al-aql al-hayulany), intellectus inhabitu (al-‘aql bi al-malakah), akal aktuil (al-‘aql bi al-fi’li) dan acquired intellect (al-aql al-mustafad) yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi pada daya-daya. Akal dalam tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak selama terdapat di dalamnya; akal dalam tingkatan inilah yang dapat menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (al-aql al-fa’al) yang berada di luar diri manusia. Filosof-filosof mempunyai akal dalam tingkatan al-mustafah dan dengan demikian apat berhubungan dengan Akal Kesepuluh, yang tersebut dalam falsafah emanasi mereka.  Dari penjelasan ini terlihat, bahwa filsafat hanya dibatasi pada masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah metafisis dengan menggunakan berfikir kontemplatif dan deduktif. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan alam dengan menggunakan metode induktif, masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat dengan menggunakan metode induktif dan empiris, serta masalah etika, estika, dan ilmu pengetahuan dengan metode analitis, dialektif, reflektif, tidak lagi dikembangkan. Agar filsafat dapat berperan sebagaimana mestinya, dan menjadi induk semua ilmu, hendaknya filsafat sendiri melakukan otokritiknya secara objektif. Konsep filsasat yang mistik tidak lagi dapat memecahkan semua masalah. Berfilsafat di masa kontemporer ini tidak hanya dengan empiris-logis, melainkan penataan aktifitas hati dan ruh non-limit, mengkaji segala yang wujud baik yang sensibel, logis, transenden, dan bahkan realitas-realitas yang yang tidak terbukti eksistensinya, seperti hayuli, emanasi, ittishal-infisal, dan semua terma-terma lain yang berakhir ada pertarurahan keimanan bukan empiris rasionalis.  Dengan demikian ke depan perlu adanya upaya merekonstruksi kembali filsafat Islam secara tuntas, dan sesudah itu barulah digunakan jasanya untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Ketiga, Filsafat Pendidikan Islam akan dapat memecahkan masalah pendidikan, terutama yang terkait dengan adanya paham Islam yang ideologis-politis, formalistik, defensif, repetitif, normatif dan tektualis, dengan paham Islam yang rahmatan lil alamin, substantif, kultural, kontektsual, adaptif dengan budaya lokal, nilai-nilai dan falsafah bangsa,  berwawasan demokrasi, multikultural dan humanis. Dalam kaitan ini, maka pemahaman Islam tidak dapat dilepaskan dari visi transendentalnya, visi kemanusiaannya, world view, weltanchaung-nya, spiritnya, seperti penegakkan keadilan, kejujuran, kerja keras, disiplin, tanggung jawab sosial, dan lain sebagainya. Untuk itu gagasan tentang modernisasi sebagaimana digagas para tokoh pembaharu Islam, baik di Indonesia maupun di negara lain, dan hubungan Islam dan negara, harus dilukan.  Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam tidak hanya akan mampu menyelesaikan tentang hal-hal yang berkaitan langsung komponen pendidikan, tetapi juga mampu memecahkan masalah mendasar baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan Islam.

E. Penutup
Berdasarkan uraian dan paparan sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan kesimpulan sebagai penutup sebagai berikut.
Pertama, Filsafat Pendidikan Islam adalah penggunaan jasa filsafat untuk menyelesaikan masalah pendidikan. Cara berfikir filsafat yang sistematik, radikal, universal, kontemplatif, komprehensif, analitis, dialektif, deduktif, induktif, dan reflektif, serta objek kajiannya berupa Tuhan (metafisik), manusia (jiwa), masyarakat (sosiologi), alam (kosmologi), ilmu pengetahuan (epistimologi), etika, dan estetika dapat digunakan untuk merumuskan dasar-dasar, prinsip-prinsip dan asas-asas yang digunakan untuk mendasari rumusan, konsep, teori dan praktek pendidikan.
Kedua, problematika pendidikan baik yang berkaitan dengan visi, orientasi, mutu, kurikulum, metode dan pendekatan dalam belajar, pengelolaan, sarana prasarana, keterkaitannya dengan dunia usaha dan industri, pengangguran, tawuran pelajar, pergaulan bebas, munculnya paham Islam yang ideologis-politis, tekstualis, ekstrim, radikal, tidak responsif terhadap problema sosial, dogmatis, normatif, repetitif,  depensif, dan juga ketidak berdayaannya dalam menghadapi tantangan globalisasi dan sebagainya  terjadi karena tidak didasarkan pada pandangan filosofis yang benar tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam, ilmu pengetahuan, etika, dan estetika sebagaimana tersebut di atas, serta tidak pula dipahami dalam  hubungannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang berkembang, serta tidak dibangun berdasarkan pendekatan yang integralistik dan holistik dengan berbagai disiplin lainnya.
Ketiga, bahwa filsafat yang digunakan untuk membangun Filsafat Pendidikan Islam dewasa ini harus di-review kembali, mengingat filsafat yang ada sekarang cenderung dibatasi pada masalah mistik yang bercorak falsafi, sebagaimana yang digunakan oleh para filosof Muslim pada umumnya. Filsafat yang sebenarnya adalah harus menjadi induk semua ilmu pengetahuan. Untuk itu, filsafat saat ini harus pula bergandengan dan berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu-ilmu bantu lainnya yang relevan.
Keempat, agar Filsafat Pendidikan Islam dapat memberikan arah, mengingat dan mendasai pelaksanaan pendidikan dengan kokoh, maka Filsafat Pendidikan Islam tersebut harus diturunkan dan diformulasikan ke dalam bentuk Ideologi Pendidikan Islam. Agar tidak takut terjebak ke dalam ideologi yang umumnya mengingat dan membawa kepada keadaan yang jumud, statis dan membelenggu, maka harus dipastikan bahwa hakikat ajaran Islam yang memadukan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia harus dapat disinergikan secara serasi, sehingga tidak terjebak ke dalam sikap yang  fatalistik atau sikap yang liberal, melainkan sebuah sikap yang tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan humanis-teo-centris.
Kelima, Filsafat Pendidikan Islam dewasa ini, tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan problema internal dunia pendidikan, melainkan juga dapat berkontribusi dalam menyelesaikan problema eksternal yang mempengaruhi pendidikan Islam, seperti problema relasa Islam dan negara, Islam dan kepedulian sosial, Islam dan tantangan globalisasi, Islam dan perdamaian, dan seterusnya. Hasil kerja Filsafat Pendidikan Islam dalam merelasikan filsafat dengan berbagai masalah internal dan eksternal tersebut diharapkan dapat mewarnai berbagai komponen pendidikan Islam.
Keenam, secara umum, kajian terhadap Filsafat Pendidikan Islam yang dilakukan para sarjana Muslim ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kajian filsafat yang dilakukan para sarjana Barat. Hal ini terbukti masih miskinnya para filosof pendidikan Islam, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Belum dijumpai pakar filsafat pendidikan Islam sekaliber Jean Piaget (1896-1980), Burhus Prederic Skinner (1904-1990), Paulo Freire (1921-1997), Torsten Husen (1916), Benyamin S. Bloom (1913-1999), Howard Gardner (1943), Ivan Illich (1926-2002) dan masih banyak lagi. Akibat dari keadaan demikian, kajian Filsafat Pendidikan Islam di dunia Islam masih jalan ditempat, dan karenanya tidaklah mengherankan, jika pendidikan Islam di dunia saat ini, masih kalah bersaing dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Untuk itu perlu ada kajian tentang peninjauan kembali peran strategis Filsafat Pendidikan Islam, sehingga ia mampu mengatasi berbagai permasalahan pendidikan umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya.
Ketujuh, sehubungan dengan beberapa butir kesimpulan tersebut di atas, maka perlu dibentuk sebuah forom atau lembaga yang secara khusus mengkaji Filsafat Pendidikan Islam bukan dalam arti yang klasik, seperti dengan mengulang-ulang pendapat dan pemikiran para filosof Muslim di zaman klasik, melainkan sebuah kajian Filsafat Pendidikan Islam yang kontemporer. Yaitu Filsafat Pendidikan Islam yang dibangun atas dasar tanggung jawabnya untuk mengatasi berbagai problema pendidikan dengan mengkolaborasikannya dengan berbagai disiplin ilmu, diturunkan ke dalam rumusan ideologi, dan didukung pula oleh pilot projek mengenai pelaksanaanya, atau ditopang oleh uji cobanya pada lembaga pendidikan Islam yang dirancang untuk itu. Tidak hanya Filsafat Islam, bidang studi ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti Tafsir, Hadis, Fikih, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Akhlak dan Sejarah Islam, juga harus rekonstruksi kembali, baik dari segi isi atau materi yang dibahasnya, maupun dari segi metodologi dan sistem penulisannya untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.  Dengan cara demikian, studi Islam tidak hanya menjadi wacana atau konsumsi intelektual saja, melainkan juga sebagai pedoman hidup bagi masyarakat. Demikian pula perubahan paradigama kajian Islam dari model Ulum al-Din sebagaimana dijumpai di pesantren dengan ciri-cirinya:depensif, normatif, a-historis, a-sosiologis, repetitif, tektualis, dan eksklusif, dan model al-Fikr al-Islamy sebagaimana dijumpai pada pemikiran Islam Harun Nasution dengan bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, dengan ciri-cirinya:komprehensif, rasional, inklusif, historis, dan sosiologis, harus dilengkapi dengan model Islamic Studies (Studi Islam) yang selain memiliki ciri-ciri sebagaimana terdapat dalam model al-Fikr al-Islamy dilengkapi dengan menggunakan multi approaches (aneka pendekatan), integrated dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.























Daftar Pustaka

Abul Ainain, Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby, tp.th.) cet. I.
Abdurrahman, Moelim, Islam Transformatif, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), cet. III.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 2008), cet. II.
Ahmad, Ziauddin, Influence of Islam on World Civilizatin,  (Shandar Market-Chilli Qabar, Delhi:Adam Publishers & Distributors, 2001), cet. I.
Ahmed, Akbar, Diccoveriing Islam Making Sense of Muslim History and Society,  (London and New Yorks: Routledge, 2002), cet. I.
Ali,  Syed Ameer, Api Islam, (alih bahasa)  H.B.Jasin), dari judul asli The Spirit of Islam, (Jakarta:Pembangunan, 1956).

Ali, Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung:Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 1996), cet. III.

-----------, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 1996), cet. III.

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1994), cet. IV.
Azra, Azyumardi, Islam Substantif, Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung:Mizan, 2000), cet. I.
------------, Indonesia, Islam and Democracy Dynamics in a Global Context,  (Jakarta:The Asia Foundation, Solstice dan ICIP, 2006); 

Baidowi, Ahmad, Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah, (UIN Sunan Kalijaga:TH Press,2010), cet. I.

Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta:Kompas, 2001).

Cooper, John, Ronald Nettler and Mohamed Mahmoud, Islam and Modernity Muslim Intellectuals Respond, (London, New York:I.B.Touris Publisher). 
Conoly, Peter, (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogjakarta:LkiS, 2002), cet. I.
Djaenuri, Achmad, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001), cet. I.
F. O’Neil, William, Ideologi-ideologi Pendidikan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), cet. II.
Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fajar Dunia, 1999), cet. I.
Fuaduddin & Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1419 H./1999 M.
Fuad Jabali dan Jamhari, Islam in Indonesia Islamic Studies and Social Transformation, (Jakarta:Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, 2002), cet. I; 

Hefner, Robert W., Making Modern Muslims The Politic of Islamic Education in Southeast Asia, (Honolulu:University of Hawai Press), cet. I.
Nor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia,  (Jogjakarta:Arruz Media,  2007), cet. I.
Huntington, Samuel P., Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (terj.) Sadat Ismail dari judul asli The Clasch of Civilization and the Remarking of Word Order, (Jakarta:Qalam, 2007), cet. X.
Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflk, Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya; (Jakarta:Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012);

Islahi, Maulana Sadruddin, Islamic Civilization: Real Perspective, (Kuala Lumpur:Golden Books Centre SDN, BHD, 1997.
Jabali, Fuad, dkk, Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, (Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Agama Islam, 2011).
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada,  2004), cet. I.
Kamaluddin, M.,  Laode,  (ed), On Islamic Civilization Menytalakan Kembali Lintera Peradaban Islam yang Sempat Padam, (Jakarta:Republikata,  2010), cet.
Al-Kailany, Majid Irsan, al-Fikr al-Tarbawiy ind Ibn Taimiyah, (al-Madinah al-Munawwaroh:Maktabah Dar al-Turats, tp. th.).
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, (Jakarta:Paramadina, 2005), cet. I.
-----------, Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan, Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2006), cet. I.
Al-Kurdy, Rajih Abd al-Hamid, Nadzriyat al-Ma’rifah Bain al-Qur’an wa al-Falsafah, (al-Ma’ahid al-‘Aly lil Fikr al-Islamiy-Salsalah al-Rasail al-Jami’iyah, tp.th.).
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta:Pustaka al-Husna, 1986), cet. I.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Membumikan Islam, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1995), cet. II.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta:Paramadina, 1992), cet. II.
-----------, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina, 1995).
-----------, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jaarta:Paramadina, 1997), cet. I.
Mirza, Muhammad R., dan Muhammad Iqbal Siddiqi, Muslim Contribution to Science, (Lahore (Pakistan):Kazi Publication, 1986), First Edition.
Mudyahardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001).
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusur Dunia Pendidikan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006),
Munawwarah, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan, Perspektif Islam dan Umum, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003).
Muthahhari, Ayatullah Murthada, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung:Mizan, 2005), cet. I.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:UI Press, 1979), cet. II.
-----------, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), cet. I.
-----------, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan,  1995), cet. III.
Nata, Abuddin,  Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005), Edisi Baru.
------------, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I.
------------, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), cet. I.
------------, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), cet. I.
------------, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. II.
------------, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I.
------------, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I.
Nodding, Nel, Philosophy of Education, (A Member of The Perseus Book Group:Netview Press, 2006).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 1980), cet. I.
Qoshidi, Robit, dkk., Rekonstruksi Disiplin Keilmuan Islam, (Mesir: Lakpesdam dan LTNU Mesir, 2009), cet. II.
Rorty, Amelie Oksenberg, (ed), Philosophers on Education New Historical Perspective, (London dan New York:Routledge, 1998).
Sukma, Rizal and Clara Joewono, (ed), Islamic Thought and Movement in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 2007), First Publication.
Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Motode, Epistimologi dan Sistem Pendidikan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. I. 
Tholkhah, Imam, (Team), The Strategic Role of Religious Education in The Development of Culture of Peace, (Jakarta: Centre for Research and Development of Religious Education and Religion Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, 2012).
Palmer, Joy, A., 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai Masa Sekarang, (Yogyakarta:Jendela, 2003), cet. III.
Rahman, Yusuf, Islam, Society and Politics in Indonesia, (Jakarta:Interdisciplinary Isamic Studies Program Faculty of Graduate Studies Syarif Hidayatullah Jakarta,  2006), cet. I.;

Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979).
Sutrisno, Suparlan, Filsafat Pendidikan, (Jogyakarta: Arruz Media, 2007), cet. II.
Ullich, Robeth, A History of Religion Education, (New York:New York University Press, 1968).
Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, (Tangerang:Rahmat Semesta Alam,  2008), cet. I.
Welsh, Frank, The Hostory of The World from The Down of Humanity to the Modern Age, (London:Qurcus, 2011).

Comments