Articles‎ > ‎

PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF KULTUR PESANTREN

A Dikhotomi Pendidikan

Hingga saat ini masih  belum ada definisi yang dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan nasional. Ketika orang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan nasional adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka jawaban itu hanya baru menyentuh sebagian kecil dari pendidikan yang ada di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru menangani pendidikan anak usia dinia, dasar dan menengah. Sedangkan pendidikan tinggi berada pada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Sementara itu terdapat pula Kementerian Agama yang menyelenggarakan semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Selain itu terdapat pula pendidikan kedinasan dan lainnya yang diselenggarakan oleh kementerian tertentu, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, dan lain sebagainya. Semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang diselenggarakan berbagai Kementerian tersebut acuannya sama, yaitu  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dengan berbagai turunannya yang demikian banyak. Dengan demikian, semuanya itu  merupakan isi dari pendidikan nasional.

Selanjutnya ketika pendidikan nasional dihadapkan dengan pendidikan pesantren, maka pada mulanya mengandung arti yang bernuansa dikhotomis. Pendidikan Nasional merupakan kelanjutan dari pendidikan yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda; sedangkan pendidikan pesantren merupakan warisan dari pendidikan yang dilaksanakan komunitas umat Islam. Sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda, pendidikan nasional memiliki karakter sekularistik, rasional, eksperimen dan empiris; sedangkan sebagai warisan komunitas ummat Islam, pendidikan pesantren memiliki karakter keagamaan, mengedepankan kekuatan rasa, doktriner dan  normatif.

Kedua corak pendidikan ini hingga tahun 70-an masih menunjukkan karakternya masing-masing dan cenderung dikhotomik. Upaya untuk mendekatkan kedua model pendidikan ini sebenarnya sudah dilakukan para Founding Father dan tokoh agama Islam yang modernis dari sejak zaman pra-kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dalam Kabinet Pertama RI, misalnya mengusulkan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah negeri. Selanjutnya berdasarkan Keputusan BP KNIP No. 15 Tahun 1945 tertanggal 22 Desember 1945, antara lain ditegaskan, bahwa dalam rangka memajukan pendidikan dan pengajaran yang ada, maka pendidikan yang ada di langgar-langgar, pesantren dan madrasah-madrasah hendaknya mendapat perhatian dan juga bantuan dari pemerintah. Upa memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum lebih lanjut terlihat pada proses lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran. Pendidikan agama baru benar-benar masuk ke dalam sekolah umum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Khusus tentang pesantren diatur dalam  Pasal 14 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Tentang betapa sulitnya mengintegrasikan antara pendidikan nasional dengan pendidikan pesantren (pendidikan agama) telah menjadi bahan kajian para ahli pendidikan. Ki Hajar Dewantara misalnya berpendapat, “karena terbukti soal pengajaran agama itu tidak mungkin diadakan persetujuan yang utuh dan sempurna, maka janganlah kongres mengadakan pemungutan suara untuk menetapkan putusan, karena susunan Kongres BP KNIP itu belum meliputi seluruh golongan pendidikan dan pengajaran. Ketetapan dalam hal itu kita serahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai soal politik; di sinilah terbukti baiknya ada kebebasan mendidikan sekolah-sekolah partikelir dalam negeri yang demokratis.[1] Hal ini memperlihatkan bahwa dalam mempertemukan pendidikan pesantren (agama) dengan pendidikan nasional secara politis cukup memakan waktu. Faktor sosial, politik, idelogi, agama, hak-hak asasi manusia dan budaya yang demikian heterogeen dan pluralistik, nampaknya menjadi penyebab utamanya. Sementara itu pergulatan antara umat Islam kaum tradisionalis yang cenderung berorientasi keagamaan (tafaqquh fi al-din), normatif, doktriner, ideologis dan formalistis dengan kaum modernis yang rasional, terbuka, moderat dan akomodatif merupakan hal yang secara internal belum benar-benar tuntas hingga saat ini.

 

A.      Integrasi Pendidikan

Dewasa ini terdapat kecenderungan yang kuat untuk saling mendekatnya antara pendidikan nasional dengan pendidikan pesantren. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam prakteknya sering terperangkap dan didikte oleh hukum  pasar ekonomi  yang kapitalis dan liberalis. Standar-standar yang digunakan dalam menentukan berbagai komponen pendidikan:visi, misi, tujuan, kurikulum, mutu lulusan, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan dan evaluasi banyak menggunakan logika bisnis yang bercorak pragmatis, transaksional, dan materialistik. Nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang seharusnya menjiwai sistem pendidikan nasional, dalam prakteknya terkalahkan oleh hukum pasar yang kapitalistik dan liberalistik.[2] Lembaga pendidikan telah bergeser sebagai lembaga jual beli atau transaksi ilmu pengetahuan; lulusan pendidikan harus tunduk pada hukum pasar yang dalam hal ini dunia usaha dan industri (Dudi), biaya pendidikan yang dikeluarkan dinilai sebagai investasi yang harus kembali dan menguntungkan; posisi peserta didik sudah berubah menjadi pelanggan (customer) yang harus dimanjakan dan dibuatnya bahagia; posisi guru bergeser menjadi semacam faslitator yang harus melayani peserta didik dengan memuaskan; manajemen pendidikan harus menggunakan manajemen bisnis sebagaimana yang terlihat pada manajemen Total Quality Manajemen (TQM), dan ISO;[3] dan berbagai pelayanan harus serba cepat dengan dukungan teknologi canggih, terutama Teknologi Informasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan ditandai oleh praktek jual beli ijazah, keharusan mempercepat proses, penilaian yang cenderung kuantitif, perjokian dalam ujian, lembaga pendidikan sebagai tempat memasarkan berbagai produk, pergaulan di kalangan para siswa laki-laki dan perempuan yang cenderung bebas, tawuran, corat coret pakaian ketika lulus ujian, geng motor, pemerasan dan premanisme di kalangan para siswa, hingga pelecehan seksual.

Dalam menghadapi keadaan budaya pendidikan nasional yang demikian parah itu, pendidikan pesantren dengan kultur religiositasnya mulai dilirik dan dinggap sebagai alternatif yang dapat dimanfaatkan guna mengatasi budaya yang timbul pada pendidikan nasional. Kultur pendidikan pesantren yang bertumpu pada ajaran tawawuf seperti hidup sederhana (zuhud), menjauhkan diri dari hal-hal yang haram dan shubhat (wara’), senantiasa berserah diri kepada Tuhan setelah berusaha keras (tawakkal), mencukupkan diri dengan pemberian Tuhan (qana’ah), tabah dalam menghadapi cobaan dan dalam menjalankan perintah Tuhan (shabar), senantiasa menjaga hak milik orang lain serta  (amanah), jujur dalam  berkata (shidiq), bekerja tanpa pamrih (ikhlas), dan senatiasa berterima kasih atas pemberian Tuhan (syukur), ketekunan dalam menjalankan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah, berpuasa sunnah, menjauhi perbuatan dosa dan maksiat, serta menghiasi diri dengan akhlak mulia sebagaimana yang ada di pesantren[4] dianggap sebagai kultur pesantren yang perlu diadopsi oleh pendidikan nasional.

Namun demikian, pesantren sebagai anak penyebaran agama Islam di Jawa[5] juga memiliki berbagai kelemahan. Nurcholish Madjid misalnya menyebutkan adanya enam problem yang dialami pendidikan pesantren, yaitu penampilan penghuni/santri yang secara fisik dan mental masih tertinggal; kurikulum yang dikhomotik, kepemimpinan yang otoriter dan sentralistik, keterampilan alumni yang rendah, serta kurang memiliki kemampuan interpreneurshif.[6] Namun mulai tahun 80-an berbagai kendala ini sudah mulai diatasi, sehingga profil pesantren saat ini sudah amat variatif. Dunia pesantren saat ini mulai akrab dengan metodologi ilmiah moderm, semakin berorientasi pada pendidikan fungsional, diversifikasi program, dan telah berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[7]

Yang menarik dari dinamika pesantren yang demikian itu antara lain terlihat pada kemampuannya beradaptasi dan mengakomodasi berbagai kemajuan dari luar, termasuk dari kultur yang ada pada pendidikan nasional untuk dimasukkan ke pesantren, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai lembaga tafaqquh fi al-din dengan nilai-nilai sufistiknya sebagaimana tersebut di atas.

 

C.Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.

Pertama, bahwa antara pendidikan nasional dan pendidikan pesantren sesungguhnya bersifat saling mengisi dan melengkapi. Keunggulan dunia pesantren dalam membina lulusannya dalam bidang akhlak mulia, perlu diadopsi oleh pendidikan nasional. Sebaliknya keunggulan pendidikan nasional dalam bidang ilmu pengetahuan umum, teknologi dan bahasa Asing perlu diadopdi oleh dunia pesantren. Inilah yang selanjutnya digunakan dalam mendesain kurikulum pesantren dan pendidikan nasional.

Kedua, bahwa dalam mendesain pola integrasi pesantren ke dalam pendidikan nasional dapat dilakukan dengan cara menjadikan mata pelajaran akhlak mulia sebagai sebuah nilai yang hidup (living value) sebagaimana hal yang demikian sudah terjadi di pesantren. Dan agar proses ini dapat berjalan, maka harus dikawal oleh Kepala Sekolah sebagai figur sentral dan tokoh idolanya, sebagaimana hal yang demikian diperankan oleh kyai di pondok pesantren.

Ketiga, bahwa pendidikan nasional perlu mempelajari kultur kepeloporan, kerakyatan dan kesahajaan pondok pesantren dalam mengembangkan pendidikan, serta dalam kemampuannya menghadapi arus dan glombang modernisasi dan globalisasi. Pendidikan nasional, perlu belajar ke pendidikan pesantren yang sangat kreatif dan inovatif dalam mengembangkan berbagai programnya, tanpa kehilangan jati dirinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. I.

Azra, Azyumardi, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1986), cet. I.

Bruinessen, Marvin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung:Mizan, 1999), cet. III.

Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, (Jogjakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962).

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren:Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta:LP3Esm 2011), cet. VIII.

Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:Paramadina, 1997), cet. I.

Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:LkiS, 2004), cet. I.

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam:Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. III.

-------------, Sosiologi Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I.

-------------, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2015), cet. I.

-------------,Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media Group, 2015), cet. V.

Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1994), cet. I.

Sukma, Rizal and Clara Joewono, (ed), Islamic Thought and Movement in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 2007), First Publication.

Syalabi, Ahmad, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Kasysyaf lin Nasyr wa al-Thaba;ah wa al-Tauzi, 1954).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:Fokusmedia, 2010), cet. I.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara Zumber Widya, 1994), cet. IV.

Zarkasyi, K.H. Abdullah Syukri, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), cet. I.

 



[1] Lihat Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Jogjakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), hal. 188-189.

[2] Pada tahun 70-an, Pemerintah Orde menjatuhkan pilihannya pada konsep pertumbuhan ekonomi guna mensejahterakan masyarakat dengan menggunakan konsep pengembangan ekonomi dari Professor Sumitro Joyohadi Kusumo. Sementara itu, konsep pembangunan Indonesia yang bertumpu pada sumber daya manusia yang berbudaya dan beradab dari Professor Sudjatmoko tidak menjadi pilihan Pemerintah Orde Baru. Dalam keadaan demikian, maka Pemerintah Indonesia mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan memberikan keleluasaan untuk mengekplorasi sumber kekayaan alam Indonesia, terutama minyak dan gas bumi. Sementara itu mendukung di bidang teknik dan keterampilannya, Pemerintah Indonesia mendatang sejumlah konsultan asing. Dengan kebijakan yang demikian itu, maka Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Pembangunan ekonomi yang liberal ini didukung oleh tiga kekuatan besar, yaitu para birokrat, pemilik modal (konglomerat) dan militer. Akibatnya muncullah orang-orang kaya dari kalangan birokrat, penguasaha dan militer. Keadaan ini pada tahap selanjutnya telah menanamkan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang hedonistik, pragmatis, transaksional, materialistik, kapitalistik dan liberalistik. Setelah era reformasi, nilai-nilai kehidupan masyarakat yang demikian itu tidak memudar, terbukti oleh banyaknya kasus korupsi, penggunaan narkoba, prostitusi, kehidupan serba bebas dan sebagainya. Dalam keadaan demikian program revolusi mental yang digagas oleh Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, dan juga pendidikan karakter di sekolah semakin sulit diwujudkan.

[3] TQM dan ISO pada mulanya digunakan dalam kegiatan bisnis (ekonomi). Pada tahap selanjutnya TQM dan ISO digunakan dalam kegiatan pendidikan, karena pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam GATS (General Agreement for Trading Service) merupakan komoditas yang diperdaganhkan, maka mau tidak mau pendidikan harus menggunakan manajemen bisnis. TQM dan ISO bertumpu pada lima pilar. Pertama, memuaskan pelanggan; Kedua, perbaikan terus menerus; ketiga, budaya kerja yang unggul (great culture), keempat, tim kerja yang handal; kelima, kepemimpinan yang efektif, dan keenam adanya reward (upah-hadiah) dan funshment (hukuman). Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media Group, 2002), ke-5; hal. 383-388; Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2013), cet. I.;  hal. 33-42; dan Abuddin Nata, Sosiologi Pendidikan Islam; (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2014), cet. I. hal. 121-130;

[4] Kultur religioositas yang terdapat pada pendidikan pesantren terjadi karena pengaruh kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karangan Burhanuddin al-Zarnuji, seorang ulama abad ke-13 yang berasal dari Persia. Dengan keahliannya dalam bidang agama dan sastra, al-Zarnuji dalam kitabnya itu memperkenalkan sejumlah etika yang harus dipegang teguh oleh guru dan murid dalam menuntut ilmu. Kitab Ta’lim al-Muta’allim ini termasuk kitab yang wajib dipelajari oleh para santri pada berbagai pondok pesantren.

[5] Lihat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam; (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 144-145; Lihat pula  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 1962),231-234.; Lihat pula  Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung:Mizan, 1999), cet. III, hal. 17.

[6] Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:Paramadina, 1997), cet. I, hal. 90-99.

[7] Dilihat dari segi programnya, saat ini sudah ada delapan macam tipologi pesantren. Pertama, pesantren yang hanya mengajar ilmu agama sebagaimana terdapat dalam kitab kuning tanpa batas waktu, tanpa jenjang dan perangka pendidikan lainnya, yang selanjutnya dikenal sebagai pondok pesantren salafiyah. Kedua, pesantren salafiyah yang memiliki madrasah diniyah. Ketiga, pondok pesantren yang memiliki madrasah sebagai sekolah umum yang beciri khas agama Islam. Keempat, pondok pesanteen yang memiliki sekolah umum. Kelima, pondok pesantren yang memiliki perguruan tinggi agama; keenam, pondok pesantren yang memiliki perguruan tinggi umum; ketujuh pondok pesantren Ma’had Ali di berbagai perguruan tinggi; dan kedelapan pondok pesantren virtual yang keanggotaannya terus bertambah dengan berbasis teknologi informasi. Lihat Abuddin Nata,  Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press,  1915), hal. 128; Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 2011), cet. VII, hal. 86-87;

Comments