Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya menyiapkan sumber daya manusia agar sukses dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Oleh karenanya keadaan masyarakat yang dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan, harus diantisipasi oleh dunia pendidikan. John Dewey (1850-1952) dari aliran pendidikan progressif misalnya mengatakan, bahwa pendidikan bersifat kontinyu, reorganisasi, rekonstruksi dan perubahan pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan perubahan pengalaman hidup itu sendiri. Demikian pula Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dari aliran pendidikan kultural-nasionalis mengatakan, bahwa pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam sekarang. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Keadaan masyarakat yang harus dipertinggi derajatnya oleh dunia pendidikan saat ini, adalah masyarakat yang akan berhadapan dengan tantangan dan peluang yang ada pada Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulain tahun 2015 ini. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darusssalam, Thailand dan lainnya sepakat untuk berhimpun dalam satu wadah yang disebut MEA. Walaupun tujuan MEA ini ada hubungannya dengan upaya meningkatkan dinamika pembangunan yang lebih tinggi, terintegrasi, pengentasan kemiskinan dan tercapainya tingkat kemakmuran yang merata dan berkelanjutan di antara sesama negara ASEAN, namun MEA ini menimbulkan ancaman yang serius bagi negara-negara yang tidak siap. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya persaingan yang semakin ketat, terutama dalam bidang ekonomi. Persaingan tersebut lahir sebagai akibat dari adanya pasar tunggal dan basis produksi yang mengharuskan adanya aliran barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja yang serba bebas yang disepakati Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pasar tunggal ini di satu segi merupakan peluang yang luas dalam berbisnis, namun juga menjadi ancaman bagi negara-negara yang tidak memiliki kemampuan berkompetisi. Demikian juga adanya kawasan ekonomi yang kompetitif, pembangunan ekonomi yang setara dan integrasi ke dalam ekonomi global, akan semakin menimbulkan ancaman yang serius bagi masyarakat yang tidak siap. Berbagai tantangan dan peluang yang lahir dari MEA ini sesungguhnya merupakan tantangan dan peluang yang umumnya dijumpai pada era globalisasi. Masalahnya adalah, apakah Indonesia sudah siap memasuki MEA yang penuh persaingan itu? Dan apakah dunia pendidikan sudah siap menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi persaingan pada MEA ini? Tulisan ini akan mencoba mencari jawaban atas masalah tersebut. Jika dilakukan analisis secara objektif, adil dan komprehensif terhadap kesiapan negara kita menghadapi MEA, sesungguhnya terdapat segi-segi kelemahan yang menggambarkan ketidak-siapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi MEA. Segi-segi kelemahan tersebut antara lain terkait dengan adanya sejumlah persoalan klasik yang belum teratasi secara tuntas. Rendahnya daya saing sumber daya manusia, ketertinggalan dalam bidang infrastruktur, ketergantungan pada barang-barang impor yang berkelanjutan, orientasi mengejar ekonomi jangka pendek yang berpusat pada ekonomi makro yang menguntungkan para importir dan memperlemah nilai tukar rupiah atas dolar, masih rumitnya jalur birokrasi, ledakan penduduk yang tidak terkendali, serta masih minimnya lulusan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang berminat menjadi pengusaha atau pencipta lapangan kerja, merupakan sejumlah masalah yang menyebabkan Indonesia kurang siap menghadapi MEA. Namun demikian, Indonesia juga memiliki segi-segi kekuatan yang apabila dikelola dengan baik, akan menyebabkan Indonesia lebih siap menghadapi MEA dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN lainnya. Segi-segi kekuatan tersebut antara lain adanya jumlah penduduk yang cukup besar merupakan pasar dan sumber daya manusia yang dapat diberdayakan, sumber daya alam yang melimpah, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (5-6%) dan stabil, pengalaman panjang dalam pengembangan usaha menengah, memiliki berbagai produk lokal yang melimpah, seperti kuliner, pakaian, kerajinan dan lainnya; lulusan perguruan tinggi yang cukup melimpah, keamanan dan ketertiban yag cukup memadai, kemaunan yang kuat dari kepala negara untuk memajukan Indonesia, kesadaran yang tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penggunaan teknologi canggih, dan sebagainya. Namun demikian, berbagai kekuatan ini sebagian besar baru merupakan potensi yang belum teraktualisasikan secara maksimal atau belum menjadi kekuatan real. Jumlah penduduk yang besar misalnya, baru merupakan potensi yang apabila tidak diberdayakan dengan baik justeru akan menjadi beban. Untuk merubah kekuatan-kekuatan yang masih merupakan potensial menjadi kekuatan real dan aktual itu diperlukan peran pendidikan. Agar pendidikan mampu merubah kekuatan-kekuatan yang masih merupakan potensial menjadi aktual ini, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, pendidikan harus mampu menyiapkan manusia yang bermental juara (The Winner). Yaitu manusia yang memiliki sikap mental yang siap bersaing. Bukan mental pecundang, bukan mental yang sudah kalah sebelum bersaing, dan bukan pula manusia yang ber-mental block. Yaitu mental yang dibayang-bayangi oleh sikap-sikap negatif, seperti pesimis, suka menyalahkan orang lain ketika gagal, tertutup, malas, buruk sangka, tidak berani mengambil keputusan yang beresiko, dan semacamnya. Sikap mental block ini oleh para ahli dilihat sebagai akibat dari pendidikan yang buruk, lingkungan dan pertemanan yang buruk, bacaan yang buruk, pengalaman hidup yang buruk dan sebagainya. Kedua, sejalan dengan butir pertama, dunia pendidikan harus mendorong dan menumbuhkan para lulusannya untuk memiliki sikap mental wirausaha atau interpreneur. Yaitu sikap mental yang berani mengambil resiko yang diperhitungkan, berani bereksperimen dan mencoba, tidak merasa hina atau rendah diri ketika memulai usaha, walaupun usahanya itu bermula dari hal-hal yang kecil, serta kemampuan melihat berbagai peluang dari setiap keadaan. Ketika musim mudik lebaran misalnya, banyak orang yang antri di stasiun kereta api, terminal bis atau di air port untuk menunggu angkutan pulang kampung. Masa menunggu itu bisa berjam-jam, bahkan bisa berhari-hari. Banyaknya masyarakat pemudik itu bagi orang yang berjiwa interpreneur merupakan peluang untuk berbisnis, seperti berbisnis makanan, minuman, alas tidur, tempat buang air (WC) dan sebagainya. Jiwa wiraswasta ini perlu ditegaskan, karena menurut data, bahwa lulusan lembaga pendidikan di Indonesia yang mau terjun ke dunia usaha bisnis masih kecil dibandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi di negara-negara di kawasan ASEAN. Ketiga, dunia pendidikan perlu memasukan subjek kewirausahaan ke dalam kurikulumnya. Bentuknya dapat berupa mata pelajaran atau mata kuliah pilihan, atau dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah major atau minor. Jika kebijakan ini ditempuh, maka pada semua program studi pada setiap fakultas perlu ditawarkan mata kuliah kewirausahaan sesuai dengan bidang yang diminati. Dengan cara ini, maka setiap lulusan pendidikan di samping memiliki bidang keahlian suatu keilmuan tertentu yang mendukung perumusan teori atau konsep untuk pengembangan suatu bidang tertentu, juga memiliki mental wirausaha. Dengan cara demikian, seorang lulusan lembaga pendidikan memiliki keberanian dan kemandirian untuk siap berdiri di atas kaki sendiri. Hal ini penting dilakukan, karena dalam MEA, dunia usaha kecil dan menengah (UKM) termasuk bidang yang mendapatkan penekanan untuk dikembangkan. Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan, bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam bidang usaha kecil yang dikelola oleh perorangan, kelompok dan perkumpulan. Agar berbagai usaha kecil ini dapat berkembang dan menjadi kekuatan real, atau bahkan tidak sampai gulung tikar, maka lulusan pendidikan harus didorong untuk terjun dalam pengembangan bidang usaha kecil. Keempat, dunia pendidikan perlu menumbuhkan jiwa nasionalisme, patriotisme dan madani pada setiap lulusannya. Jiwa nasionalisme atau cinta tanah air ini perlu diperlus artinya. Misalnya cinta tanah air dapat dikembangkan dengan mencintai masyarakat Indonesia dari kelompok marginal di pedesaan atau pinggiran dengan cara memberdayakan mereka agar memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Jiwa nasionalisme ini juga dapat dipahami dengan menumbuhkan, mengembangkan, dan mencintai produk dalam negeri. Sedangkan patriotisme dapat dipahami sebagai upaya memperjuangkan agar ekonomi dalam negeri tidak terkalahkan oleh ekonomi dari luar. Upaya ini misalnya dapat dilakukan dengan memperjuangkan agar kebijakan ekonomi mikro yang berbasis pada menumbuhkan usaha ekonomi kerakyatan dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan, kesenian dan sebagainya dapat ditumbuh-kembangkan. Kebijakan ekonomi makro yang berbasis pada import yang dikuasai para importir yang dilakukan para kaum kapitalis yang berdampak pada kesenjangan harus diimbangi dengan kebijakan ekonomi mikro. Dengan cara demikian tidak akan terjadi kesenjangan antara kaum yang mampu dengan yang kurang mampu. Sementara itu jiwa madani terkait dengan semangat religiousitas. Yakni menginternalisasikan dan mengintegrasikan nilai-nilai agama seperti keadilan, kejujuran, kesederajatan, kesetaraan, kemanusiaan, kebersamaan, keseimbangan dan sebagainya ke dalam etika usaha bisnis ekonomi yang dilakukan. Dengan cara demikian, maka dalam persaingan ekonomi masyarakat ASEAN tadi tidak akan mengarah kepada persaingan yang tidak sehat, seperti saling mematikan, mengeploitasi, mengkooptasi, dan sebagainya. Kelima, merubah proses belajar mengajar dari pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centred) kepada proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centred). Berbagai pendapat para ahli serta hasil penelitian banyak mengemukakan, bahwa model pembelajaran yang berbasis pada peserta didik ini akan melahirkan lulusan yang kreatif, inovatif, imajinatif, inspiratif dan progressif. Model pembelajaran ini pada tataran implementasinya lebih memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengobservasi, mempertanyakan, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan menciptakan. Dalam prakteknya pembelajaran ini dapat mengambil bentuk workshop, magang, praktek lapangan, dan sebagainya. Dengan cara ini, para lulusan pendidikan bukanlah lulusan yang hanya memiliki wawasan pengetahuan yang bersifat kognitif dan verbalistik, melainkan lulusan yang memiliki pengalaman, wawasan, dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan suatu kegiatan yang dilakukannya. Keenam, perlu melengkapi konsep lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi sebagai lembaga akademik yang mengkaji teori-teori yang bersifat keilmuan yang bersifat teori, dengan perguruan tinggi sebagai lembaga yang bersifat perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep coorporate university, atau interpreneur university. Sebagai coorporate university, perguruan tinggi harus link and mach dengan bidang usaha yang dikembangkan oleh perusahaan. Demikian pula hasi-hasil kajian dan riset yang dilakukan perguruan tinggi agar dapat disumbangkan atau dipergunakan kalangan perusahaan untuk mengembangkan bidang usahanya. Sedangkan sebagai interpreneur university, perguruan tinggi selain harus mampu membiayai dirinya sendiri, juga harus mampu melahirkan manusia-manusia yang mandiri. Semangat untuk menumbuhkan sikap interpreneur sesungguhnya sudah diuji-cobakan oleh kalangan dunia pesantren di Indonesia. Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo misalnya telah mengajarkan panca jiwa kepada para santrinya. Yaitu jiwa kesederhanaa, persaudaraan, keikhlasan, kebebasan dan kemandirian. Pada aspek kemandirian ini, para santri diberikan pengalaman merencanakan dan pengelola bidang usaha di bidang jasa dan produk. Demikian pula Pondok Pesantren Santri Asromo yang didirikan K.H.Abdul Halim di Majalengka Jawa Barat di tahuan 50-an misalnya, juga telah menanamkan jiwa wirausaha kepada para santrinya, melalui pengembangan usaha pertanian, peternakan, kerajinan dan sebagainya. Selanjutnya, Pondok Pesantren Darul Falah yang didirikan oleh K.H.Sholeh Iskandar di Ciampea Bogor, Jawa Barat misalnya sudah menanamkan jiwa kewirausahaan kepada para santrinya melalui usaha pertanian, peternakan dan perikanan. Dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN, berbagai program tersebut perlu dihidupkan kembali. Dengan demikian, Indonesia memiliki berbagai potensi yang merupakan kekuatan untuk menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Namun berbagai potensi tersebut masih harus dikembangkan dan diberdayakan oleh dunia pendidikan. Dunia pendidikan harus mampu merubah potensi yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut menjadi aktual dan real guna menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jakarta, 21 Mei, 2015 Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. |
Articles >