Articles‎ > ‎

PERAN MENTAL SPIRITUAL ISLAMI DALAM KEHIDUPAN

1.       Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1991:645), mental atau mentalitas diartikan (hal yang mengenai batin; keadaan batin, cara berfikir dan berperasaan. Sedangkan spiritual (1991:963) berkaitan dengan rohani, batin, kejiwaan, mental, merit, lawan dari fisik, jasmani, materil. Agama pada umumnya, dan Islam pada khususnya adalah agama yang menekankan kehidupan yang seimbang, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, sebagaimana do’a yang kita panjatkan setiap kali selesai shalat:Yaa Tuhan kami berikanlah kepada kami kebahagiaan hidup di dunia, dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka (Q.S. al-Baqarah, 2:201).

2.       Memasuki zaman modern manusia hanya percaya pada kekuatan materi yang didukung sains dan teknologi sebagai hasil penelitian ilmiah yang mengandalkan kekuatan pancaindera dan akal pikiran, yakni melalui observasi, eksperimen dan studi lapangan. Mereka memandang bahwa seluruh kebutuhan hidupnya dapat diatasi oleh materi, sains dan teknologi. Mereka memandang bahwa mental spiritual yang diajarkan agama hanya membawa kemunduran; agama hanya candu bagi masyarakat; agama hanya sebagai alat penghibur bagi orang-orang yang tidak mampu bersaing; agama mengajarkan kemunduran dan lain sebagainya. Namun, pandangan hidup yang meninggalkan mental spiritual yang diajarkan agama itu ternyata gagal. Mereka tidak mampu mencegah terjadiny dekadensi moral, konflik dan peperangan, kerusakan lingkungan, peredaran narkoba, praktek ekonomi kapitalistik dan monopoli, prostitusi, penyalah-gunaan teknologi informasi, dan lain sebagainya. Selain itu, kehidupan mereka yang bergelimang dengan materi itu ternyata telah mengalami kesepian (lonely), pribadi yang terpecah (split personality), kehidupan mereka sangat rapuh, cemas, galau, gamang, stress, dan tidak siap menghadapi ujian hidup; ketika menghadapi problema, mereka pergi ke tempat hiburan, meminum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan  bunuh diri, dan seterusnya.

3.       Guna mengatasi masalah tersebut, mereka membutuhkan pegangan mental spiritual. Untuk itu kegiatan pembinaan mental spiritual melalui pelatihan keagamaan mulai mereka cari. Majelis Ta’lim di masjid dan berbagai tempat yang menyelenggarakan pembinaan mental spiritual juga meningkat, pesantren kilat, dzikir bersama, kuliah dhuha, i’tikap di masjid, tadarus al-Qur’an, mengenakan busana yang menutup aurat, mengkonsumsi barang yang berlabel halal, penggunan sistem keuangan syari’ah, meningkatnya jumlah jama’ah haji dan umrah, program tahfidz al-Qur’an, penerbitan buku-buku keagamaan, mimbar agama di televisi, radio, surat kabar, media sosial dan lainnya semakin meningkat. Gejala ini menunjukan, bahwa masyarakat saat ini sangat membutuhkan agama, guna mengatasi berbagai masalah kehidupan yang makin rumit, serta menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan akhlak.

4.       Terkait dengan pembinaan mental spiritual ini, Islam mengajarkan hal-hal sebagai berikut. (1)Bahwa dalam beragama, khususnya dalam ibadah senantiasa melibatkan fisik, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran ibadah ritual, seperti shalat, kurban dan haji dengan berbagai gerakan, bacaan dan sebagainya. Namun hendaknya tidak berhenti ketika hal-hal yang bersifat fisik, kasat mata dan ritualitas tersebut telah dilaksanakan; melainkan harus disertai dengan memahami, memahami dan menghayati pesan mental spiritualnya, yakni aspek kerohanian, spiritual, kesadaran batiniyah, kemampuan melihat dengan mata batin atau hati nurni tentang ayat-ayat Allah, bukti kekuasaan dan kasih sayang-Nya, bisikan ilahiyah, pancaran taufik, hidayah dan caha-Nya, karunia yang diberikan-Nya; kesadaran akan kembali kepada-Nya; menjalani kehidupan di alam kubur, pertanggung jawaban di akhirat. Melalui kesadaran mental spiritual yang dilandasi keimanan ini diharapkan memunculkan sikap jujur, amanah, selalu mengerjakan kebaikan, ikhlas, syukur, ridla, tawakkal, ridla, qana’ah, suka menolong, berbaik sangka, ramah pada lingkungan, kerja keras dalam kebaikan, dan sebagainya. Ibadah ritual seperti shalat, puasa, kurban, haji dan sebagainya harus mampu melahirkan nilai-nilai mental spiritual ini.

5.       Tanpa adanya kesadaran mental spiritual yang demikian itu, maka ibadah kita hanya berhenti pada simbol dan formalisme tanpa makna, raga tanpa jiwa; kita hidup namun secara mental spiritual sebenarnya kita mati.  Kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya seperti orang yang tidur, bahkan seperti orang mati, lupa diri, dibuai dan dininabobokan oleh duniawi,, lupa akhirat, lupa pada Tuhan, Allah SWT, lupa pertanggung jawaban di akhirat; ia baru sadar atau bangun dari tidurnya itu ketika ia mati. Yakni setelah mati, ia baru sadar, bahwa selama ia hidup di dunia sesungguhnya telah mati, tidak sadar, dan sedang tidur, sehingga tidak mempersiapkan bekal hidup di akhirat. Orang yang demikian itu oleh al-Qur’an dianggap sebagai orang yang lalai, orang yang lupa; mereka itu dinggap orang bodoh, karena tidak cerdas dalam memanfaatkan peluang, mereka juga orang yang lupa yang tidak mempergunakan akalnya dalam memahami haikat segala sesuatu; tidak pula mempergunakan hati dan pancainderanya dalam merumuskan berbagai kearifan, hikmah dan ilmu pengetahuan, serta tidak pula memanfaatkannya untuk memahami ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah (alam jagat raya) dan ayat-Nya yang bersifat al-tanziliyah yang keduanya itu menjadi sebab sempurnanya iman dan dorongan jiwa untuk menyempurnakan keislaman. Mereka itu calon penghuni neraka:Inna ahla al-naari, hum al-aghniyaau al-jaahiluuuna al-ghaafiluuuna al-ladziy laa yasta’miluuna ‘uquulahum fi fiqhi haqaiq al-umur, wa abshaarahum wa asmaaahum fi istimbaathi al-ma’aarif wa istifaadati al-‘ulum wa laa fi ma’rfati aayaatillah al-kauniyah wa aayaatihi al-tanziliyah, wa humaa sababu kamaali al-imaani wa al-baa’isti al-nafsy ‘ala kamaali al-Islam. (Lihat Tafsir al-Maraghy, Jilid III:115-116). Hal inilah yang dimaksud dengan orang yang lupa sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebaga berikut.

 

 

 

 

 

 

 

ô‰s)s9ur $tRù&u‘sŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o„ !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd ‘@|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ

 

 

ö

 

 

 

 

Artinya: Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekusaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya utu mendengarkan, (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S.al-A’raf, 7:17).

6.       Namun demikian saat ini muncul tiga gejala penyalah-gunaan ritualitas dan spiritualitas yang kurang tepat, atau keliru. Pertama,orang yang  merasa bangga atau pamer dengan ibadahnya, menganggap diri sebagai orang suci, calon penghuni syurga, melihat orang yang belum insyaf sebagai musuk yang harus diperangi, merasa yang paling otoritatif berbicara soal agama dan moral. Orang yang demikian cenderung bersikap ekslusif, repressf bahkan anarkhis atas nama agama. Kedua, orang yang menyalah-gunakan simbol-simbol ibadah dan spiritualitas dengan menggunakan pakaian dan assesoris sebagai tokoh spiritual, penampilannya diatur sedemikian rupa, ucapan dan perbuatannya diatur sedemikian rupa, dan dengan cara itu banyak banyak orang yang berguru dan menjadi pengikutnya, namun ternyata simbol-simbol ritualitas dan spiritualitasnya itu hanya assesoris, di balik itu ada tujuan yang hina dan keji. Ketiga, orang yang menggunakan simbol-simbol ritualitas dan spiritualitas secara transaksional. Yakni sebagai alat untuk menghapus perbuatan buruknya; Ia rajin shalat wajib, shalat sunnah, ngaji al-Qur’an, puasa wajib dan puasa sunnah, bersedekah, haji dan umrah berkali-kali, menyantuni anak yatim, fakir dan miskin, tapi bersamaan dengan itu ia juga melakukan pelanggaran dalam berbagai bidang.

7.       Marilah kita ciptakan hidup yang seimbang, jasmani dan rohani, mental spiritual, moral dan akhlak dengan ucapan, sikap dan perbuatan yang terpuji; jangan menyalahkan gunakan ibadah dan simbol-simbol ritualistik dan spiritualitas untuk tujuan yang sesat. Kita gunakan peribadatan dan spiritualitas kita guna membimbing hidup yang lurus guna keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Amin.

Comments