PETUNJUK ISLAM DALAM MENGUBAH NASIB
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١ Artinya: Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dari belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah atas perintah Alla. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. al-Ra’d, 13:11).
Berdasarkan ayat tersebut, ada dua cara yang dapat ditempuh dalam melakukan perubahan yang positif. Pertama dengan menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk agama, yang menyebabkan hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT melalui malaikat-malaikat yang mendampingi dan menjaga, dan mendo’akannya. Hal ini dapat dipahami dari kalimat لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dari belakangnya. Dalam Tafsirnya, Tafsir al-Maraghy Jilid V, halaman-76-77, Ahmad Musthafa al-Maraghi menafirkan ayat tersebut dengan mengatakan: Ai lil insaani malaikatan yata’aqabuuna ‘alaihi hirsun bi al-laili wa hirsun bi al-nahaary yahfadzuuna min mudharri ya ruraqibuuna ahwaalahu; kamaa yata’aqabu malaikatun aakharuuna lihifdzi amalihi min khairin au syarrin, malaikatun bil laili wa malaikatun bi al-nahaary, qaaimaani ‘an al-yamin wa al-syimaali yaktubaani al-‘maala, shaahibu al-yamin yaktubu al-hasanaati wa shaahib al-syimal yaktubu al-sayyi’at…. Wa laitsa amru al-hifdzati bi al-ba’id ‘an al-aqli ba’da an atsbatahu al-din wa ba’da ann kasyfa al-ilmi anna katsiran min al-‘aamaali al-‘aammah yumkin ihshaauha bi aalaatin daqiqatin la tada’ minha syai’an illa tahshiiha. Fa qad ashbahat al-miyaahu wa al-kahrubaai fi al-madani tu’addu bi al-aalaati (al-adaadaat), fa al-miyaahu al-latiy yasyrabuunaha, wa al-kahrubaai al-latiy yudliunaha biha manazilumum tuhshaa wa tu’addu al-dirhama dan al-diinaaral wa kadzaalika hunaaka aalaatun tuhsha al-musaafatu al-latiy taqtha’uha al-sayyarati fi sayiriha, wa ukhra tuhsha tiyaarati al-anhaari wa musaaqathi al-miyaahi ila ghairi dzalika min daqiiq al-aalaati al-latiy tatruku shaghiiratan wa laa kabiratan min al-‘amaali ila tuktabuha wa tuhshiiha.[1] Artinya: Yakni bagi setiap manusia adalah malaikat yang menyertainya:malaikat yang penaga di waktu malam, dan penaga malaikat di waktu siang yang menjaga dari hal-hal yang menyusahkan keadaan manusia, sebagaimana halnya malaikat yang menjaga amalnya yang baik dan yang buruk, malaikat malam dan malaikat siang; berdiri pada sisi kanan dan kiri, malaikat sebelah kananan menulis amal yang baik, dan malaikat sebelah kiri menulis amal yang buruk. Namun demikian adanya pemeliharaan malaikat atas diri kita agar senantiasa menjadi orang baik dan sukses, tercatat amalnya yang baik, tidak dapat dijauhkan dari petunjuk agama dan terbukanya ilmu dari Allah. Karena sebagian amal yang baik itu akan dicapai dengan alat berupa yang canggih, yang tanpa itu seseorang tidak akan dapat mencapainya, sebagaimana halnya air yang berada dalam bejana dan dapat matang setelah ada alatnya, yaitu teknologi seperti kompor. Dengan alat itu, air dapat diminum. Demikian pula terdapat alat transportasi yang mengantarkan manusia pada tujuannya. Kedua, dengan melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, mindset, paradigma dan seterusnya. Misalnya perubahan pola berfikir buruk sangka menjadi pola pikir baik sangka, pola pikir feodalistik yang berdasarkan pada hak-hak istimewa yang didasarkan warisan atau keturunan menjadi pola pikir egaliter yang berdasarkan atas usaha keras dan prestasi, pola pikir diskiriminatif yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat temporer seperti harta, pangkat, kedudukan, dan lainnya diganti dengan pola pikir persaudaraan yang didasarkan pandangan kemanusiaan sebagai yang memiliki nenek moyang yang sama, asal usul, proses, dan bahan makan yang sama (dari bumi), dan saling membutuhkan. (Lihat Q.S. al-Hujurat, 49:10-13). Hal ini dapat dipahami dari potongan ayat: Innallaha laa yughayyiru maa bi anfusihim hatta yughayyiru maa bi anfusihim. ArtinyaL Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Ahmad Musthafa al-Maraghy menafsirkan ayat ini dengan kalimat: Ai Innallaha laa yughayyiru maa bi qaumin min ni’matin wa ‘aafiyatin fa yuziiliha ‘anhum wa yuzhibaha, hatta yughayyiru maa bi anfusihim min dzaalika bidzulmi ba’dlihim ba’dla wa I’tida’u ba’dlihim wa irtikaabihim li al-syarri wa al-mubiiqaati al-latiy tuqawwidlu nadzm al-mujtama’I wa taftika bi al-ummi kamaa tuftiika al-jaraaimi bi al-afraadi. Artinya.Yakni bahea Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu kaum dari bentuk kenikmatan dan kesehatan dengan cara menghilangkannya, sehingga ia mengubah apa yang ada pada dirinya dengan berbuat dzalim dan saling bermusuhan antara satu dan lainnya, atau melakukan perbutan buruk yang dapat mengakibatkan rusaknya susunan masyarakat, atau adanya orang-orang yang jahat yang mengambil kendali atas kehidupan individual. 6. Bahwa dengan menganut paham perubahan yang sesuai dengan tuntunan agama, akal sehat dan keadaan masyarakat, maka akan dilahirkan orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan moral, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional yang seimbang; yaitu mereka yang mampu melakukan hubungan yang seimbang dengan Allah, manusia, alam jagat raya dan segenap makhluk-Nya yang baik; Ia akan menjadi orang yang memiliki karakter yang luhur, bermental yang kokoh, bermoral yang tinggi yang selanjutnya memandang perjuangan hidup dalam merubah keadaan dilihat sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan dengan melakukan amal dan pekerjaan yang berkualitas tinggi; menjadikan hidup sebagai rahmat bagi orang lain; menjalani hidup sebagai perjuangan dalam rangka ibadah kepada Allah, dan menjalani hidup sebagai panggilan jiwa. Inilah kekuatan dari dalam diri manusia yang ditunjukan agama, akal sehat dan masyarakat yang dapat membawa perubahan positif dengan resiko yang minimalis.
Jakarta, 10 Januari, 2017 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. |
Articles >