Articles‎ > ‎

RAMADHAN BULAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

A.Pengantar
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, perhatian masyarakat terhadap pentingnya pendidikan anak usia dini semakin meningkat, sehingga jumlah Taman Kanak-kanak juga semakin meningkat. Peningkatan ini selain disebabkan karena semakin meluasnya peran kaum wanita di luar rumah yang tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anaknya yang masih kecil juga karena terkait dengan hasil penelitian para ahli yang menyimpulkan, bahwa mutu pendidikan suatu bangsa, sangat ditentukan oleh mutu pendidikan yang diberikan pada masa usia dini; serta adanya berbagai teori yang menyatakan, bahwa pendidikan itu sudah mulai dapat dilakukan dari sejak usia dini, bahkan pendidikan yang diberikan pada usia dini itu pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan pendidikan yang diberikan di masa dewasa. Pepatah Arab misalnya mengatakan, bahwa belajar di waktu kecil seperti menulis di atas batu, sedangkan belajar di waktu dewasa seperti menulis di atas air.
Kesadaran bangsa Indonesia untuk mendidik anak sejak dini tergolong terlambat, dibandingkan dengan kesadaran mendidik anak usia dini yang dilakukan bangsa-bangsa lain, seperti Inggris, Perancis, Jepang dan sebagainya. Di kalangan bangsa-bangsa tersebut sudah banyak para pakarnya yang secara khusus meneliti keadaan jiwa anak usia dini yang dihubungkan dengan pengembangan konsep pendidikannya. Mereka misalnya memiliki tokoh pendidikan anak usia dini, seperti Maria Montessori, Jean Piaget, Jerome Bruner, Combs, Maslow, dan Roger. Maria Montessori misalnya memiliki konsep pendidikan anak usia yang berbasis pada bermain. Menurutnya, bahwa bagi anak usia dinia, bermain itu bukan hanya sekedar mengisi waktu untuk menyenangkan anak-anak, melainkan bermain itu sendiri adalah dunia anak-anak;  mereka belajar dalam bermain. Sementara itu Jean Piaget mengatakan, bahwa secara genelogis dan neorologis, bahwa mulai usia usia 0,0 sampai 2,0 tahun anak sudah dapat belajar dengan sensori motorisnya, dan pada usia 2,0-7,0 tahun anak sudah dapat belajar dengan preoperasionalnya.

B.Perhatian Islam terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
Perhatian Islam terhadap pendidikan anak usia dini dapat dijelaskan melalui pendekatan normatif, filosofis, sosiologis dan psikologis.
Secara normatif, perhatian Islam terhadap pendidikan anak usia dini dapat dijumpai pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Qur’an memandang, bahwa seorang anak selain dapat dipengaruhi oleh pembawaan dari dalam dirinya, juga dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama keluarga dan teman pergaulannya, serta hidayah dari Allah SWT. Berdasarkan surat al-Nahl, (16) ayat 78, bahwa setiap individu telah diberikan alat untuk belajar, yaitu pancaindera, akal pikiran, dan hati nurani. Berbagai potensi ini agar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai bukti syukur kepada Allah SWT. Selanjutnya tentang peranan lingkungan dalam pendidikan, terutama keluarganya, Allah SWT berfirman dalam surat al-Nisa (4) ayat 9, bahwa lingkungan keluarga memiliki tanggung jawab mendidik anaknya. Allah SWT berfirman: Dan hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang bak. Selanjutnya tentang peranan hidayah dalam mendidik anak, dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Alllahlah yang memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Selanjutnya di dalam hadis riwayat Ibn al-Najjar, Rasulullah SAW menyatakan: sesungguhnya kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mengajarkan al-Kitab, memberi nama yang baik, dan menikahkannya jika sudah dewasa. Bukti bahwa lingkungan berpengaruh terhadap pendidikan anak usia dini, di dalam al-Qur’an dinyatakan, bahwa seorang anak terkadang menjadi waladun shalih yang mendoakan orang tuanya, menjadi sesuatu yang menyejukan penglihatan (qurrata a’yunin), menjadi fitnah, menjadi musuh dan sebagainya.
Selanjutnya secara filosofis, bahwa pendidikan anak telah menjadi perhatian Ibn Sina, Imam al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan sebagainya. Mereka umumnya memiliki pandangan, bahwa seorang anak dapat didik, karena jika anak tidak dapat dididik, maka fungsi kerasulan Nabi Muhammad SAW untuk membina akhlak tidak ada gunanya. Mereka juga berbicara tentang jiwa anak-anak yang senang meniru, melihat yang konkrit, suka pada yang lucu-lucu, suka bermain, rekreasi, suka bertanya, suka mencoba, dan sebagainya. Berbagai keadaan jiwa anak-anak ini harus dijadikan pintu masuk untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dengan cara memberikan teladan yang baik, latihan, pembiasaan, bermain, bernyanyi dan sebagainya.
Selanjutnya secara historis, bahwa pendidikan anak telah menjadi perhatian Rasulullah SAW. Beliau sangat dekat dan suka bermain dengan cucunya; beliau mendirikan lembaga pendidikan kuttab, dan sebagainya. Demikian pula para khalifah menyediakan pendidikan di istana untuk putera-puternya belajar sastra, membaca, menulis, berpidato, keterampilan memanah, menunggang kuda, berenang, dan sebagainya.
Selanjutnya Islam juga memilliki strategi pendidikan anak usia yang komprehensif, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seluruh ucapan, perbuatan dan tindakan yang dilakukan seseorang harus mengandung nilai edukatif bagi anak-anak. Strategi tersebut antara lain melalui pemilihan jodoh (calon suamsi  istri yang salih dan shalihah), menggauli istri dengan baik, banyak berdoa dan berakhlak baik pada saat itu hamil, mengajani dan mengikomati pada saat lahir, memberi nama yang baik, mengakikahi, mencukur rambutnya, memberikan makanan yang halal dan baik; mengajarkan cinta pada Allah, rasul, orang tua, keluarga dan sesama manusia, mengajarkan membaca al-Qur’an, mengajarkan shalat, memberikan contoh teladan yang baik, membiasakan berbuat baik, melatih sikap dan kepribadiannya. Di dalam al-Qur’an kita dianjurkan menyampaikan sesuatu kepada anak sesuai dengan keadaan jiwanya yang masih lembut. Untuk itu al-Qur’an agar kita menyampaikan sesuatu kepada anak dengan qaulan tsaqila (ucapan yang bermutu), qaulan baligha (ucapan yang tuntas dan jelas), qaulan maysura (ucapan yang mudah dimengerti), qaulan layina (ucapan yang lembut), qaulan sadida (ucapan yang tegas dan benar), qaulan kariman (ucapan yang mulia), dan sebagainya.
Konsep pendidikan anak usia yang ditawarkan Islam ternyata lebih komprehensif, dan lebih dahulu dibandingkan dengan konsep lainnya. Namun demikian, sebagian besar masyarakat kita masih awam terhadap kaadaan jiwa anak, sehingga banyak melakukan kekeliruan dalam mendidik anak. Mereka misalnya sering menganggap bahwa anak balita belum mengerti apa-apa. Lalu mereka seenaknya bertengkar di depan anak-anaknya, mengajak anak-anak ke tempat-tempat yang buruk, membiarkan lingkungan keluarga kacau balau, mengeluarkan kata-kata yang buruk, membiarkan anak melihat tontonan di TV yang tidak sesuai dengan keadaan jiwanya. Keadaan ini dibiarkannya terus berlanjut, dan ketika anak tersebut mulai usia 7 tahun, maka segala keburukan yang dialaminya itu nampak ke permukaan.
Untuk itu ibadah puasa Ramadhan dan amaliah lainnya, agar dijadikan momentum pendidikan anak usia dini. Membiasakan anak dekat dan hormat pada keluarga, menunjukkan kasih sayang dan perhatian yang lebih besar, mengajak anak shalat berjama’ah, shalat tarawih, membaca al-Qur’an, bersedekah, makan bersama, mengenakan busana muslim, membiasakan jujur, ikhlas, sabar, disiplin, taat pada aturan, qana’ah, zuhud, dan sebagainya yang terdapat dalam ibadah puasa. Selama satu bulan lamanya kebiasaan akhlak yang baik ini dicontohkan.

Comments