Articles‎ > ‎

SANTRI DARI DESA MEMBANGUN PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN GLOBAL

Kehidupan di desa yang sederhana dan religius, serta pengalaman belajar di madrasah dan pesantren yang mengajarkan Islam normatif-ideologis, serta IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang berada dalam transisi dari tradisionalis menuju modernis di tahun delapan puluhan cukup mempengaruhi perjalanan karir dan bidang keahlian yang Saya tekuni saat ini. Saya lahir  pada tanggal 2 Agustus 1954 di desa Cibuntu, Ciampea Bogor, Jawa Barat.  Ayah   Saya bernama M. Nata yang sehari-hari melakukan kegiatan sebagai guru ngaji, imam masjid, pembaca do’a, dan terkadang memberikan taushiyah. Dari pekerjaannya ini, masyarakat memberi  gelar  Mu’allim pada ayah Saya. Sedangkan Ibu Saya, Siti Aisyah, seorang wanita desa tidak pandai baca tulis,  tugas utamanya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Pendidikan Saya dimulai dari Madrasah Wajib Belajar (MWB) di Nagrog, Ciampea Bogor, tamat tahun 1968, dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah dan PGA 4 Tahun sambil mondok dipesantren Nurul Ummah di alamat yang sama. Tahun 1972 Saya melanjutkan studi ke PGA 6 Tahun sambil mondok di Pesantren Jauharatun Naqiyah, Cibeber, Cilegon, Serang, Banten. Pagi, siang, sore, bahkan hingga tengah malam hari kegiatan Saya sepenuhnya untuk menimba ilmu agama Islam  dengan merujuk berbagai kitab kuning,  serta berbagai macam ilmu pengetahuan umum.  Dengan dasar pendidikan seperti ini Saya berani mengatakan diri Saya sebagai anak santri dari desa.
Selain aktif dan sungguh-sungguh  belajar di Madrasah dan Pondok Pesantren, Saya juga aktif pada berbagai kegiatan kesiswaan. Saya mengikuti berbagai acara perlombaan, seperti lomba pidato, musabaqah tilawatil Qur’an, membaca puisi, dan kegiatan kejuaraan lainnya. Bahkan pada saat Saya duduk di kelas IV PGA, Saya sudah mulai latihan mengajar di Majelis Ta’lim kaum Ibu dan kaum Bapak, serta membimbing baca al-Qur’an dan melatih membaca Kitab Kuning tingkat dasar. Pekerjaan ini Saya lakukan, selain untuk menyalurkan bakat dan hobi Saya mengajar, juga untuk mendapatkan sedikit tambahan biaya hidup. Hingga saat ini Saya masih dapat mengingat beberapa kawan Saya semasa di PGA, Tsanawiyah dan Pondok Pesantren. Di antaranya Saudara Adi yang menjadi Kiai di Desa Bojong Rangkas Ciampea, Bogor;  Saudara Dr.Ending Bahruddin, yang sekarang menjadi Rektor Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan Saudara Dr.Rahmat Rohadi,  mantan Pejabat  BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) Kabupaten  Bogor, dan Dr.Jawahir Heijazi yang sekarang sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masuk IAIN/UIN Jakarta
Selama studi di tingkat menengah, selain mendalami pemikiran Islam tradisionalis, Saya juga sudah mengenal pemikiran Islam modernis dari beberapa tokoh pembaharu dari Mesir, India/Pakistan dan Turki. Banyak pertanyaan yang muncul dalam diri Saya. Misalnya, pemikiran Islam manakah yang benar dan harus dipegangi.  Rasa keingin-tahuan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut baru saya jumpai ketika Saya mengikuti kuliah Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya  dari Prof.Dr.Harun Nasution, selama dua semester di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  Melalui Prof.Dr.Harun Nasution inilah Saya mendapatkan informasi dan penjelasan secara lebih mendalam tentang pikiran para tokoh pembaharu Islam sebagaimana tersebut.  Namun demikian, selama kuliah dengan Prof. Harun ini Saya mengalami pergulatan dan dialektika pemikiran yang luar biasa. Hal ini terjadi karena adanya perubahan paradigma dari pemikiran Islam yang Saya terima sebelumnya yang bercorak tradisionalis , dengan pemikiran Islam modernis yang Saya dapati dari Harun Nasution. Selama belajar di Madrasah dan pesantren,  Saya memiliki pemahaman Islam yang oleh Amin Abdullah dikenal dengan istilah Ulum al-Din, dengan ciri-ciri: defensif (mempertahankan paham Islam yang diwariskan ulama abad klasik dan pertengahan), repetitif (mengulang-ulang materi pelajaran, tanpa ada tambahan, pengurangan atau perbaikan-teks book thingking), normatif (ajaran yang sudah pasti dan wajib dilaksanakan), dogmatis (mengikuti ajaran tanpa kritis), sektarian (hanya mengutamakan dan membenarkan satu paham dan menolak paham lain), teo-centried (lebih mengutakana kehendak  Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-al-Qur’an), a-historis dan a-sosiologis (tanpa melihat konteks sejarah dan situasi sosial yang melatar-belakangi lahirnya pemikiran agama tersebut. Paham keislaman yang saya miliki ini berbeda jauh dengan paham Islam yang ditawarkan Harun Nasution, yang oleh Amin Abdullah disebut sebagai model al-Fikri al-Islamy. Yaitu terbuka (menerima penafsiran dan pemahaman baru), inovative (mengajukan hal-hal baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat), rasional (memberikan peluang kepada akal untuk memperoleh penjelasan dari setiap pemahaman yang dimiliki), toleran (mendorong para mahasiswa untuk bersikap toleran, menghargai, dan menghormati pendapat orang lain, dan memandang pendapat yang berbeda-beda itu sebagai sesuatu yang  setara), memadukan antara teo-centred dengan anthropo-centred. Yaitu  pemahaman Islam yang menyandingkan dan mempertemukan antara wahyu dan akal, antara kehendak Tuhan dengan usaha manusia; serta  historis dan sosiologis, yaitu bahwa setiap pemahaman agama:Teologi dan Fikih misalnya selalu dijelaskan latar belakang timbulnya, serta faktor-faktor situasi sosial, politik, budaya dan lainnya yang mempengaruhinya. 
Setelah melalui pergulatan pikiran yang demikian intens, akhirnya Saya menjatuhkan pilihan pada paradigma paham  keagamaan model al-Fikr al-Islami sebagai digagas Harun Nasution. Pilihan Saya pada pemikiran Islam model Harun Nasution ini didukung oleh lingkungan pergaulan Saya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat yang diwarnai oleh pemikiran modern dari Nurcholish Madjid. Paham Sunnatullah yang identik dengan hukum kausalitas (sebab akibat), paham tauhid yang dikaitkan dengan kebebasan dan kemerdekaan manusia serta berani berbuat dan melakukan pilihan secara bertanggung jawab, sekularisasi yang dipahami sebagai tidak mencampur-adukan antara hal-hal yang harus dilihat sebagai agama, dan hal-hal yang harus dilihat secara duniawi, wawasan Islam rasional, kultural, serta sikap inklusif, moderat, toleran, egaliter, dan humanis, dan lainnya yang Saya terima dari HMI, baik langsung dari Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), atau melalui buku-buku, serta melalui tokoh-tokoh senior di HMI yang sudah lebih dahulu memiliki pemikiran Cak Nur, sangat sejalan dengan pemikiran Harun Nasution. Beberapa senior Saya di HMI Cabang Ciputat, seperti Fachry Ali, A.Zacy Siradj, Kurniawan Zulkarnaen, dan Komaruddin Hidayat adalah para guru informal Saya di HMI. Mereka itu bukan saja guru intelektual saya, melainkan juga guru sosial Saya. Saya banyak belajar dari beliau tentang bagaimana menjadikan masalah sosial sebagai sumber inspirasi untuk mematangkan berfikir. Dari mereka Saya belajar tentang tiga hal. Pertama, membangun keunggulan di bidang intelektual. Kedua, membangun komitmen terhadap idealitas dan moralitas; dan ketiga, senantiasa berupaya menjadi yang terbaik. Keinginan mewujudkan tiga hal ini, dalam situasi ekonomi yang tidak mendukung, memaksa Saya untuk meminjam buku-buku tentang sosial, politik, budaya, agama dan lainnya yang dimiliki senior-nior Saya itu. Melalui buku-buku tersebut Saya kenal pikiran para sosiolog, antropolog dan politikus, seperti Max Weber, Peter L.Berger, Donal Wilhelm, Muhammad Iqbal, Lodrof Stoddard, dan masih banyak lagi. Mereka benar-benar menjadi guru dan ispirator yang real buat Saya.
Keadaan ekonomi saya yang jauh dari cukup semasa kuliah, menyebabkan Saya tidak dapat mengontrak rumah atau kos-kosan sebagaimana mahasiswa lainnya. Saya terpaksa hidup berpindah-pindah. Terkadang Saya tinggal di Sekterariat HMI Cabang Ciputat, di Jln. Ibn Sina III, No. 68 Komplek Perumahan Dosen UIN Jakarta; di Asrama HMI Situ Kuru-Ciputat, dan menumpang di kontrakan para senior, seperti A.Zacky Siradj (Mantan Ketua PB HMI, Sekarang Anggota DPR Komisi III), dan Kurniawan Zulkarnaen (sekarang Konsultan pada Lembaga International). Hari Sabtu dan Minggu,  terkadang Saya manfaatkan untuk membantu Kakak Misan Saya berjualan pakaian di kawasan Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan; dan terkadang membantu Paman Saya sebagai supir oplet   jurusan Tanah Abang, Kebayoran Lama,   Semua ini semakin menambah kematangan mental Saya untuk siap menghadapi berbagai problema kehidupan.
Pada tahun 1978, Saya berhasil meraih gelar sarjana muda (BA). Dengan gelar ini, banyak mesjid yang meminta Saya untuk memberi khutbah Jum’at, dan banyak anggota  masyarakat  yang mengundang Saya untuk memberikan ceramah, taushiyah. Saat itu, hasrat untuk segera menjadi guru agama di madrasah semakin besar. Kebetulan saat itu ada lowongan pengangkatan guru agama pegawai negeri sipil (PNS) dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang. Kawan-kawan Saya yang seangkatan banyak yang mendaftarkan diri menjadi guru agama PNS. Kebimbangan terjadi pada diri Saya, antara segera menjadi guru agama, atau melanjutkan kuliah. Akhirnya, Saya menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan kuliah pada tingkat doktoral. Sedangkan hasrat jadi guru Saya salurkan dengan cara membuka pendidikan agama bagi ibu-ibu yang umumnya istri  TNI Angkalan Laut  di kawasan Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menjadi guru privat membaca al-Qur’an, khutbah Jum’at, ceramah, dan menulis di surat kabar Harian Umum Merdeka dan Pelita, serja Majalah Panjimas, Mimbar Ulama, dan lain-lain. Berbagai aktivitas ini Saya kerjakan dengan sungguh-sungguh, dengan tujuan selain untuk mendapatkan uang untuk biaya kuliah, juga  untuk membantu keungan dan biaya pengobatan ibu dan Bapak Saya yang sudah mulai sakit-sakitan. 
Akhirnya, tahun 1982 Saya berhasil meraih gelar sarjana lengkap (Drs) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya pada bulan Juni, Saya menikah dengan seorang gadis bernama Elisah Angriani yang masih ada hubungan famili dari jalur bapak Saya. Pernikahan ini dibiayai dari uang tabungan yang Saya kumpulkan dari berbagai pekerjaan, serta sumbangan dari Ibu-ibu Majelis Talim di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Saat itu walaupun Saya belum memiliki pekerjaan yang tetap dan menjanjikan, seperti menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) misalnya, namun Saya sudah memiliki bekal mental yang siap untuk membangun keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok:makan dan ngontrak rumah, misalnya, pada waktu itu, hasil dari kegiatan yang selama itu Saya lakukan sudah bisa mengatasinya. Sedangkan untuk jangka panjang Saya yakin, bahwa dengan kerja keras, bisa memperoleh kehidupan yang layak. Dengan menyandang gelar Sarjana Lengkap (Drs.) Saya sudah mulai mengembangkan kegiatan lainnya. Jarak antara tahun 1982-1985 Saya bekerja sebagai peneliti lepas di Lembaga Studi Pembangunan (LSP) Jakarta yang pada waktu itu dipimpin oleh Ir.Adi Sasono (mantan Menteri Koperasi dan UKM);  sebagai instruktur pada Lembaga Bahasa dan Ilmu al-Qur’an (LBIQ) DKI Jakarta bersama-sama dengan Saudara Rusydi Zakaria, dan Nurlena Rifa’i; bekerja sebagai dosen tidak tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Perguruan Islam Darul Ma’arif Cipete yang dipimpin oleh K.H.Idham Chalid; sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), bergabung dengan kegiatan pelatihan dan pengembangan usaha kreatif yang dipimpin oleh (alm) Utomo Dananjaya. Selama di LSP dan bergabung dengan Utomo Dananjaya, Saya juga bersahabat dekat dengan para instruktur dan pekerja sosial yang berintegritas dan idealis, seperti (alm.) Mansur Fakih, Jimli Ash-Shiddi dan  Oyo Zakaria. Saya juga mulai mendapatkan kesempatan untuk mengerjakan tugas-tugas pesanan dari Pemda DKI Jakarta untuk membina dan mengembangkan lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan dan pelatihan, seperti KODI (Koordinator Dakwah Islam), Bapinroh (Badan Pembinaan Rohani), Bazis (Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah), dan lainnya. Tugas-tugas pesanan ini, Saya  kerjakan dalam sebuah tim Three in One  bersama dengan Dede Rosyada (sekarang Rektor UIN Jakarta),  dan (alm.) Badri Yatim. Selain itu, Saya juga bergabung dalam berbagai kegiatan penulisan buku ajar  agama Islam untuk Madrasah Aliyah dan Sekolah Umum (SMU) melalui Ditbinpaisun. Beberapa pejabat Kementerian Agama RI yang masih Saya ikat pada waktu antara lain (alm.) Soekama Karya BA dan Drs.Mohammad Ali Hasan. Sedangkan pejabat di DKI Jakarta yang Saya kenal antara lain: Drs.H.M.E.Sya’roni dan Drs.H.M.Fauzi Rahmatullah. Selain itu Saya terkadang dipercaya menyiapkan naskah Pidato Gubernur DKI, dan menyusun berbagai disain dan proposal pelatihan, Saya dan tim dipercaya pula menyusun konsep Moto DKI Jakarta “Teguh Beriman”. Moto ini selain mengandung arti keagamaan yakni meneguhkan iman (sikap keagamaan) orang DKI Jakarta, juga sebagai akronim atau singkatan dari “Teruskan Usaha Gerakan Berisih, indah, aman dan nyaman.”  Saya bersama Dede Rosayada dan (alm.) Badri Yatim yang mempresentasikan konsep moto tersebut di hadapan Gubernur, Walikota, dan para Camat, merasa bangga, dan bahagia, karena Saya dipercaya melaksanakan tugas tersebut, apalagi Pak Gubernur dan yang hadir pada saat ini merasa puas dengan presentasi Saya, sampai-sampai Pak Gubernur mengeluarkan guyonannya yang sedikit nyerempet ke masalah pornografi.
Mulai Bekerja di UIN Jakarta
Berbagai pekerjaan yang saya lakukan tersebut membuat Saya bingung dalam menentukan pekerjaan mana yang akan Saya tekuni lebih lanjut. Akhirnya, setelah konsultasi dengan senior Saya di HMI, antara lain Professor Komaruddin Hidayat, dan juga arahan daru Prof.Harun Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor, akhirnya Saya memutuskan bergabung dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada waktu itu Pak Harun (Rektor UIN Jakarta) tahun 1978-1986)  mengharapkan agar para sarjana yang pernah menjadi aktivis kampus dan yang dianggapnya berpikiran maju, agar  “Jangan berada di luar semua, tetapi juga ada yang di kampus.” Sebagai  Rektor UIN Jakarta, rupanya Pak Harun terus memantau perkembangan pemikiran, sikap dan kecakapan para mahasiswa yang pernah menjadi aktivis kampus. Saya, Prof.Komaruddin Hidayat, dan Prof, Azyumardi Azra, termasuk yang dipanggil Pak Harun waktu itu. Dugaan dan perhitungan yang cermat dari Pak Harun benar-benar tepat, karena pada masa  berikutnya ternyata Professor Azyumardi Azra, dan Prof.Komaruddin menjadi Rektor, dan Saya sendiri menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum. Pada zaman kedua Professor inilah terjadi perubahan besar-besaran pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada seluruh aspeknya:kelembagaan, sarana prasana, kurikulum, sumber daya manusia, keuangan, penataan lingkungan, manajemen pengelolaan dan lain sebagainya. Inilah masa “Golden Age” UIN Jakarta, karena sebuah masa yang belum pernah dicapai sebelumnya, dan menjadi kebanggaan ummat Islam dan bangsa Indonesia, bahkan ummat Islam di dunia.
Saya diterima bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1985. Pilihan ini Saya ambil, karena selain Saya ingin melaksanakan cita-cita Saya menjadi dosen agama, juga ingin mendapatkan kesempatan  untuk melanjutkan studi ke jenjang strata 2 (S2) dan strata 3 (S3), serta dalam rangka mewujudkan cita-cita Saya ikut memajukan pendidikan Islam. Bersama-sama dengan (almh.) Ibu Dra. Halimah Madjid, Nurlena Rifa’i dan Dede Rosyada, selain mengajar, Saya  diberi tugas tambahan sebagai sekretaris Balai Praktikum Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sebuah jabatan yang tidak jelas esselonnya dan tidak jelas pula tunjangannya. Namun jabatan ini bagi Saya merupakan kesempatan untuk melatih dan mengasah kemampuan  dalam mengelola dan melaksanakan praktek pendidikan. Ada empat bidang praktikum yang Saya tangani. Yaitu Praktikum Qira’at, Praktikum Ibadah, Praktikum Pengelolaan Pendidikan, dan Praktikum Penelitian. Untuk setiap kegiatan praktikum tersebut dibuatkan buku panduan dan materi ajarnya, sertifikat bagi para lulusannya, serta kegiatan orientasi lainnya. Buku-buku panduan dan materi ajar prakrtikum tersebut diberikan kepada mahasiswa dengan ketentuan harus membayar  biaya ongkos cetak. Demikian pula sertifikat yang diberikan kepada mahasiswa juga dharuskan ditebusnya, karena balai praktikum ini benar-benar tidak memiliki anggaran dari fakultas. Ternyata sertifikat tersebut bisa digunakan untuk melamar kerja (menjadi guru privat), dan surat Keterangan bagi dosen pembimbing ternyata dapat digunakan untuk kenaikan pangkat. Dengan kegiatan tersebut pengalaman Saya makin bertambah, dan hasrat mendidik makin tersalurkan, dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan juga semakin maju. 
Setelah mengabdi selama empat tahun di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, pada tahun 1989, Saya berkesempatan melanjutkan studi program magister pada Program Pascasarjan UIN Jakarta dengan bantuan biaya siswa. Pada waktu itu Program Pascasarjana masih bersifat projek yang dikhususkan bagi  mahasiswa tugas belajar yang berasal dari para dosen IAIN di seluruh Indonesia. Di Program Pascasarjana ini Saya berkesempatan memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu umum dari para dosen senior yang terkemuka. Saya belajar Ilmu Tafsir kepada Prof.Dr.H.M.Quraish Shihab, MA;  Ilmu Ushul Fiqh dari (alm.) Dr. Satriya Effendi; Ilmu Qawaid Fiqhiyah dari Prof.Dr. Said Agil Husein al-Munawwar; Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf,Aliran Modern serta pemikiran Islam dari  (alm.) Prof.Harun Nasution; studi Naskah Teologi/Kalam dari (alm.) Prof.Dr. Nasution; Ilmu Politik dan Tata Negara Islam dari (alm.) Prof. Munawwir Sjadzali, MA;  Sejarah dari (alm) Prof. Dr. Deliar Noer; Ilmu Budaya Baru dari (alm) Prof.Dr. Sutan Takdir Alisyahbana; Islam dan Sans dari (alm) Prof.Dr.A.Baiquni; Filsafat Ilmu dari Prof. Dr.Yuyun Suria Sumantri; Keterampilan berbahasa asing (Inggris) dari (alm.) Prof.Dr. Anton Timur Jaelani; Metodologi Penelitian dari (alm.) Prof.Dr.Mulyanto Sumardi; Sosiologi Hukum Islam dari Prof.Dr.H.M.Atho Mudzhar, M.Hum, Filsafat Umum dari Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, MA, dan Bahasa Indonesia dari Dr.Panuti Sujiman.  Selain itu, terdapat juga sejumlah dosen tamu dari Canada, Belanda, Mesir dan lainnya. Melalui mata kuliah tersebut, Program Pascasarjana UIN Jakarta tidak hanya ingin menghasilkan lulusan yang mendalam ilmu agamanya, melainkan juga memiliki ilmu-ilmu umum dan kemampuan ilmu penelitian yang berperan sebagai pisau analisis untuk mengembangkannya, sehingga para lulusan pascasarjana memiliki pemahaman agama yang luas, rasional, kontekstual, integrated dan holistik. 
Karena nilai ujian Saya rata-rata  di atas, maka pada tahun 1992, Saya berhasil meraih gelar Magister (MA) tanpa menuli tesis. Dengan predikat ini, pada tahun 1993  Saya melanjutkan studi ke Program Doktor (S3). Mata kuliah dan dosen yang mengajar di S3 ini pada prinsipnya masih sama dengan mata muliah dan dosen di S2, namun ruang lingkup dan cakupannnya lebih diperluas. Dari semua matakuliah ini, keinginan Saya untuk memperdalam ilmu pendidikan Islam belum terpenuhi, karena pada saat itu, ilmu pendidikan Islam dan juga Ilmu Dakwah Islam belum begitu diakui sebagai salah satu disiplin ilmu agama Islam, dan karenanya semua mata kuliah yang Saya terima di S2 dan S3 tidak ada yang terkait langsung dengan ilmu pendidikan Islam. Prof.Dr.Harun Nasution sendiri, baru mengakui Ilmu Pendidikan Islam dan Ilmu Dakwah sebagai ilmu  pada tahun 198. Melihat kenyataan ini, pilihan Saya untuk mendalami ilmu pendidikan Islam hampir saja berbelok ke bidang Teologi/Kalam dan sosiologi hukum Islam. Namun, ketika Saya mengajukan judul disertasi tentang Teologi/Kalam, Prof.Dr,Harun Nasution selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta menasehati Saya agar tetap mendalami masalah pendidikan Islam. Pada saat itu, perhatian Prof.Dr.Harun Nasution terhadap Ilmu Pendidikan Islam mulai tumbuh. Pak Harun nampaknya ingin agar Saya menjadi peneliti atau ahli di bidang ilmu pendidikan Islam yang dapat meningkatkan dan mengembangkan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Akhirnya, melalui disertasi, Saya meneliti pemikiran pendidikan Ibn Sina, dan berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1997.
Selama Saya melakukan penelitian disertasi (non-aktif kuliah di Pascasarjana), Saya dipercaya menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan Islam; Wakil Dekan Bidang Adminitrasi Umum Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Selain menduduki jabatan tersebut, Saya juga diajak aktif  oleh (almh.) Ibu Dra.Halimah Madjid untuk mengelola program kelangsungan hidup anak  melalui kerjasama  GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidian Islam) dengan Unicef. Pada kesempatan ini Saya diminta menggali ajaran Islam  yang berkenaan dengan kesehatan Ibu Hamil dan anak balita, untuk selanjutnya disosialisasikan ke berbagai daerah binaan GUPPI di berbagai Propinsi di Indonesia. Kesempatan ini menyebabkan Saya sering ke daerah melakukan penyuluhan kelangsungan hidup anak dengan menumpang pesawat, kereta api, dan bus. Selain dapat berkenalan dengan pimpinan GUPPI yang pada waktu itu dipegang oleh Drs.K.H.Amidhan dan (almh) Pak Mu’in Sadjoko, Saya juga berkenalan dengan para pejabat Unicef dan para dokter Senior, seperti dr.Sonya, dr.Sugiat, dan dr.Udin Syamsuddin. Karena keberhasilan Saya melaksanakan tugas di GUPPI, melalui Drs.K.H.Amidhan yang pada saat itu (tahun 1994) juga menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Haji, Saya diberi bonus menunaikan ibadah haji merangkap sebagai  petugas untuk daerah kerja Mekkah. Pada saat itu, Saya merasakan mendapatkan karunia Allah yang luar biasa, karena tanpa diduga-duga, Saya yang pada waktu itu belum punya uang ternyata dapat menunaikan ibadah haji. Kesempatan bertugas haji ini Saya manfaatkan untuk mengunjungi Kantor Rabithah Alam Islami di Mekkah, dalam rangka  mencari bahan untuk penyelesaikan penelitian disertasi Saya yang berjudul Konsep Pendidikan Ibn Sina. Namun, ternyata buku-buku Ibn Sina  dilarang masuk  (mamnu’ al-dukhul) ke Mekkah, karena pemikiran Ibn Sina yang banyak dipengaruhi pemikiran filsafat Yunani itu kurang sejalan dengan paham Wahabiyah yang ortodok dan puritanistik. Bahan-bahan tulisan tentang Ibn Sina akhirnya Saya dapati dari  dosen senior Saya Fakultas Ushuluddin Ushuluddin UIN Jakarta yang pernah belajar di Mesir, dan banyak bersentuhan dengan pemikiran modern, seperti Prof.Dr.Zainun Kamal dan Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer.
Melalui penelitian disertasi yang berjudul Konsep Pendidikan Ibn Sina  di bawah bimbingan Prof.Dr.Harun Nasution dan Prof.Dr.Mastuhu ini rasa keingin-tahuan terhadap konsep pendidikan Islam mulai terpenuhi. Ibn Sina yang hidup pada abad keemasan Islam, dinilai oleh para ahli sebagai filosof yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam integrasi yang berbasis tauhid. Suatu pandangan yang meyakini, bahwa semua sumber ilmu yang berasal dari wahyu (ayat al-qauliyah), alam jagat raya (ayat al-kauniyah), fenomena dan perilaku manusia (ayat al-insaniyah), akal pikiran, dan intuisi, pada hakikatnya berasal dari Tuhan, dan antara satu dan lainnya saling berhubungan, dan saling melengkapi. Melalui pandangan yang integrated dan holistik ini, Ibn Sina telah tampil bukan hanya sebagai seorang ahli dalam bidang filsafat, ilmu jiwa dan kedokteran, melainkan juga sebagai seorang ahli tafsir dan ahli tasawuf, sebagaimana terlihat dalam karyanya al-Isyarat wa al-Tanbiyah sebanyak tiga jilid. Melalui pemikiran filosofis Ibn Sina tentang Tuhan, manusia dan masyarakat, ternyata dapat dijumpai asas-asas yang diperlukan untuk mengkontruksi tujuan pendidikan, orientasi pendidikan dan perumusan proses belajar mengajar. Demikian pula, melalui pemikiran Ibn Sina tentang masyarakat, dapat dijumpai asas-asas yang menjadi dasar orientasi pendidikan, atau keterkaitan dan kesesuaian (link and mach) pendidikan dengan fenomena sosial. Selanjutnya melalui pemikiran filosofis Ibn Sina tentang ilmu pengetahuan (epistimologi) dapat ditemukan asas-asas yang diperlukan bagia perumusan kurikulum; dan melalui pemikiran Ibn Sina tentang etika, dapat dijumpai asas-asas yang berkaitan dengan kode etik seorang murid dan guru dalam proses belajar mengajar. Dan melalui pemikiran Ibn Sina tentang estetika, dapat dijumpai asas-asas yang berkaitan dengan seni dalam mendidik. Pemikiran Ibn Sina inilah yang mendorong Saya untuk menentukan bidang keahlian Saya, yaitu Filsafat Pendidikan Islam. Hal ini Saya buktikan dengan adanya tiga buku yang Saya tulis lebih lanjut, yaitu Filsafat Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Logos Wacana Ilmu Jakarta, tahun 1999; Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam:Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam yang diterbitkan RajaGrafindo Persada, Jakarta, tahun 2005; dan Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat yang diterbitkan RajaGrafindo Persada, Jakarta, tahun 2012. Setelah itu disusul pula oleh beberapa buku lainnya tentang ilmu pendidikan Islam dengan pendekatan sejarah, dan pendekatan normatif yang jumlahnya lebih dari 25 buku. 
Setelah meraih doktor Saya dipercaya sebagai Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan Prof, Azyumardi sebagai Rektor, dari tahun 1998 sd 2006).  Melalui berbagai tugas dan jabatan ini, cita-cita Saya untuk ikut memajukan pendidikan Islam secara real, melalui UIN Syarif Hidayatullahn Jakarta mendapatkan momentumnya. Kajian dan penelitian Saya tentang pendidikan Islam semakin berkembang. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya puluhan buku tentang pendidikan Islam yang Saya tulis pada saat Saya menduduki berbagai jabatan tersebut. Kesibukan bagi Saya bukanlah merupakan hambatan untuk berkarya, melainkan justru dapat memacu untuk terus berkarya. Hasil kajian yang bersifat teoritis konseptual, dapat dipadukan dengan pengalaman empirik aplikatif. Masalahnya terletak pada semangat, keinginan yang kuat dan keterampilan dalam mengelola waktu dengan sebaik-baiknya.  Dengan menduduki jabatan tersebut, Saya berkesimpulan, bahwa seorang pimpinan di Perguruan Tinggi Islam, di samping harus menguasai ilmu pendidikan Islam dan manajemen pengelolaannya, juga harus menguasai berbagai bidang ilmu bantu dan keterampilan lainnya. Seorang Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum sesuai dengan bidang tugasnya, mengharuskan Saya,  menguasai tentang administrasi dan pengenbangan pegawai (SDM), administrasi dan pengelolaan keuangan; administrasi dan pengelolaan projek-projek sesuai ketentuan yang berlaku; menguasai administrasi dan pengelolaan sarana prasarana, dan lingkungan. Keadaan ini mengharuskan Saya untuk mempelajari berbagai peraturan perundangan yang terkait, berbagai kebijakan pemerintah, serta harus memutar otak dalam memecahkan berbagai masalah. Mengingat pada saat itu (tahun 2000-2002) tengah terjadi transformasi (perubahan), dari IAIN menjadi UIN, maka berbagai bidang tugas selaku Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum juga mengalami perubahan. Pelaksanaan tugas ini mengharuskan Saya untuk memilki kemampuan berkomunikasi dengai berbagai instansi dan pejabat terkait, seperti pejabat di Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Bappenas, Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya,
Di tengah-tengah  kesibukan menyiapkan berbagai hal yang terkait dengan perubahan IAIN menjadi UIN, hasrat Saya untuk lebih mendalami ilmu pendidikan Islam tetap tumbuh dan berkembang. Selain berbagai buku dan artikel yang Saya tulis, kesempatan untuk menulis makalah untuk disajikan dalam berbagai forum ilmiah juga meningkat. Hasrat untuk mengembangkan ilmu pendidikan Islam ini lebih lanjut Saya lakukan pada saat Saya mengikuti Post Doctorate Programe di  Islamic Studies pada MacGill University, Montreal Canada, tahun 1999-2000. Kepergian Saya ke Montreal Canada ini terlambat satu tahun dari yang direncanakan, karena beberapa kendala, antara lain ayah Saya dalam keadaan sakit yang semakin parah, kesehatan Saya sendiri dinyatakan kurang mendukung dan karenanya Saya harus berupaya menyembuhkannya lebih dahulu; keadaan anak-anak Saya  yang mulai tumbuh remaja. Saya tiga anak. Dua anak kandung, dan satu anak angkat. Anak kandung Saya yang pertama,  Elta Diyarsyah, pada waktu itu sedang duduk di kelas tiga SMA; yang kedua, baru duduk di kelas tiga SMP, dan anak angkat Saya baru duduk di semester 2 pada STAN (Sekolah Tinggi Angkutansi Negara); dan Saya sendiri tengah menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sedang sibuk-sibuknya. Kini anak-anak  Saya semuanya sudah berkeluarga. Istri dan anak-anak Saya memang tidak ada yang memilih bidang keahlian sebagai guru atau yang mendalami ilmu agama. Namun Saya menanamkan nilai-nilai religius pada mereka. Mereka senantiasa menjalankan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, dan keterampilan membaca al-Qur’an, hormat pada orang tua dan sayang pada keluarga, selalu berkata jujur, tidak berani mengambil sesuatu yang bukan haknya, menepati janji, dan budi pekerti mulia. Mereka nampaknya tahu benar tentang tugas dan profesi Saya sebagai dosen, penceramah, khatib dan orang yang suka dimintakan nasehat oleh masyarakat yang harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
Berkat dorongan dan dukungan yang kuat dari Prof.Azyumardi Azra (saat itu menjabat Rektor UIN Jakarta), serta dukungan keluarga dan motivasi yang kuat, akhirnya Saya berangkat pula ke Canada. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua hari, saya tiba di Montreal Canada. Namun baru saja satu di Canada, Saya dapat khabar dari keluarga di Ciputat, bahwa orang ayah Saya telah meninggal dunia. Berita ini diketahui kawan-kawan di Montreal Canada, dan dengan spontanitas, kawan-kawan Saya datang ke peningapan Saya untuk mengadakan pengajian Yasinan dan mengirim do’a untuk almarhum ayah Saya. Keberangkatan Saya ke McGill University, Montreal, Canada, pada waktu bersama-sama kawan-kawan yang memiliki tujuan yang berbeda-beda. Di antara mereka ada Prof.Dr.Syafiq Mughni yang mengikuti program visiting professor; Saudara Nanang Tahqiq, Rifa’i  Abduh, Arskal Salim, Nur Yamin, Agus Nuryanto dan Nasruddin Nasution yang mengambil program Sunwich; Saudari (al-mrh) Asriati, Eri Rosatria (dari UIN Jakarta), Mummad Syauqi, Ratmo Lukito, Ema dan seorang dosen wanita lainnya dari UIN Jogjakarta yang mengikuti program Training Kesetaraan Jender. Dan sebelum itu, di MacGill sudah ada Saudara Yudian, dan Rinduan (dari UIN Jogja), Saudara Fauzan (dari STAIN Kediri), dan Saudara Andi Faisal Bakti (dari UIN Makassar),  Abd.Muthallib (dari UIN Jakarta) yang tengah mengambil program doktor. Selama di Canada, kami selalu bertemu untuk tukar menukar informasi, berdiskusi, saling meminta bantuan untuk memecahkan masalah, dan mengkomunikasikan berbagai berita yang diperoleh dari tanah air. Selain itu, Saya bersama teman-teman mengadakan tour ke kota-kota besar di Canada, seperti ke Cibecx City, Otawa, Van Coover, Toronto dan Niagara Falll. Selama di Canada sekitar 7 bulan (Juli 1999 sd Februari 2000), Saya mengalami musim gugur, musim dingin dan musim semi. Karena sebelum berangkat ke Canada, Saya juga sudah punya visa ke Amerika Serikat, maka Saya juga berkesempatan ke Amerika Serikat menggunakan jalan darat bergabung dengan mahasiswa Concordia University yang kebetulan punya program tour ke New York, Amerika Serikat. Hingga saat ini pertemanan kami dengan kawan-kawan tersebut masih terus berlanjut. Jika bertemu sering mengulang cerita bernostalgia tentang berbagai hal selama berada di negeri orang. Mulai dari pergi ke kampus, makan di kantin, mengikuti perkuliahan, nonton film baren, shoping, jalan-jalan dan makan bersama, bernyanyi, bercerita, dan banyak lagi. Sungguh keadaan tersebut telah menciptakan sebuah proses pembelajaran yang berbasis komunikasi dan interaksi yang dapat membentuk karakter masing-masing.
Namun demikian, selama di Islamic Studies, McGill University, Montreal Canada, Saya tidak mendapatkan tambahan pengetahuan Ilmu Pendidikan Islam yang selama ini Saya perdalam. Sebagaimana yang terjadi di UIN Jakarta, bahwa Ilmu Pendidikan Islam pada waktu itu memang belum diakui sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman. Kepada Mis Wendy Ellen, dari CIDA (Canadian International Development Agency) yang mensponsori program yang Saya dan kawan-kawan ikuti, Saya katakan: “I need  an Islamic Educational book, but I never find it here” (Saya butuh buku-buku tentang pendidikan Islam, tapi Saya tidak menjumpainya di sini). Namun Saya tidak kehabisan akal. Selama di Islamic Studies McGill University, perhatian Saya tujukan untuk meneliti konsep pendidikan al-Ghazali. Jika pada program doktor di Pascasarjana UIN Jakarta, Saya meneliti pikiran pendidikan Ibn Sina yang bercorak filosofis dan banyak menggunakan akal (rational), maka di Islamic Studies McGill University, Montreal Canada, Saya meneliti pemikiran pendidikan Imam al-Ghazali yang bercorak sufistik, dan banyak menggunakan wahyu. Kajian Saya terhadap pemikiran pendidikan al-Ghazali itu Saya tuangkan dalam Grand Paper yang berjudul: al-Ghazali’s Perception on Student Teacher Relationship (Hubungan Guru dan Murid menurut Pandangan al-Ghazali). Paper itu mengkaji lebih jauh tentang etika hubungan guru murid yang berbasis tasawuf yang menempatkan posisi guru lebih tinggi dan menentukan, sedangkan  kedudukan murid amat rendah. Hal ini sejalan dengan pandangan tasawuf yang menyatakan al-murid ka al-mayyit. Keadaan ini berhasil melahirkan murid yang rendah hati, santun dan hormat pada guru, namun menjadi kurang kreatif,  kurang inovtif, kurang berani mengemukakan pendapat. Sementara itu, seorang guru menurut al-Ghazali juga adalah seorang yang menganggap pelaksanaan tugasnya-mendidik atau mengajar sebagai sebuah ibadah yang tidak boleh meminta bayaran. Menurut al-Ghazali, mendidik adalah ibadah, dan jika ada seorang murid yang mau belajar pada guru, maka sebaiknya guru harus senang dan berterima kasih, karena keberadaan murid tersebut telah membuka kesempatan bagi guru untuk beribah, serta mengumpulkan pahala untuk bekal hidup di akhirat. Melalui studi pemikiran al-Ghazali juga Saya temukan berbagai istilah pendidikan yang berasal dari istilah yang digunakan kalangan sufi. Tingkatan seorang guru dalam tasawuf misalnya adalah Syaikh , Mursyid, Mufid dan Mu’id. Istilah Syaikh sekarang digunakan untuk jabatan Guru Besar, Mursyid sebagai Lektor Kepala; Mufid sebaga Lektor, dan Mu’id sebagai Assisten Ahli. Demikian pula istilah ijazah yang digunakan sebagai bukti kelulusan dalam pendidikan juga diambil dari istilah yang ada di dalam tasawuf. Istilah Mubtadi, Mutawasith dan Muta’li dalam tasawuf juga digunakan dalam pendidikan menjadi Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah dalam pendidikan sekarang. Demikian pula adanya amalan atau ajaran tasawuf yang dikhususkan untuk setiap tingkatan dalam tasawuf telah mengilhami adanya tingkatan dalam kurikulum. Hasil kajian Saya ini telah diterbitkan oleh RajaGrafindo Persada, Jakarta, dalam versi bahasa Indonesia dengan judul Pola Hubungan Guru Murid menurut al-Ghazali. Buku ini ternyata mendapat sambutan cukup baik, karena pada waktu itu keadaan guru dan murid di Indonesia sudah banyak yang terpengaruh oleh pola hubungan guru murid yang bersifat transaksional dan pragmatis yang mengukur segala sesuatunya dari ukuran yang bersifat kemanfaatan yang bersifat material.
Melalui kajian tersebut, keinginan Saya untuk mendalami ilmu pendidikan Islam akhirnya dapat pula terpenuhi. Perpaduan antara pemikiran Ibn Sina dan pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan Islam yang Saya pelajari, membawa Saya untuk memiliki pemikiran pendidikan Islam yang lebih seimbang antara penggunaan akal dan wahyu; antara pemikiran pendidikan yang bersifat normaif, teologis, sosiologis, historis dan filosofis serta antara teori dan praktek pendidikan. Semua ini menjadi modal bagi Saya untuk memajukan pendidikan Islam di Indonesia secara seimbang.
Sekembali dari  McGill University Montreal, Canada pada bulan Februari tahun 2000, Saya melanjutkan tugas Saya sebagai Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang tengah sibuk-sibuknya menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perubahan IAIN menjadi UIN. Bekal pengalaman dari Canada, selain menambah  rasa percaya diri bagi Saya untuk lebih fasih berbicara tentang pendidikan Islam, juga semakin mendukung tugas-tugas Saya. Keberanian Saya  untuk berbicara dalam bahasa Inggris ketika menghadapi tamu-tamu dari luar negeri,  dan memahami berbagai literatur dan dokumen berbahasa Inggris juga semakin meningkat. Setelah melalui kerja yang tidak mengenal lelah, akhirnya gedung-gedung megah untuk kegiatan  perkuliahan, sarana prasarana yang serba lengkap dan modern, peralatan laboratorium yang canggih, sumber daya manusia yang dibutuhkan, dan lainnya untuk mendukung perubahan IAIN menjadi UIN dapat diwujudkan. Akhirnya pada bulan Juni tahun 2002 Surat Keputusan Presiden tentang Perubahan IAIN menjadi UIN telah keluar, dan tidak lama kemudian diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz.
Succes story yang dicapai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terjadi pada masa Saya dipercaya sebagai Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum ini segera saja dijadikan rujukan oleh berbagai IAIN lainnya yang ingin mencapai kemajuan sebagaimana yang dicapai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu, beberapa Rektor IAIN dari berbagai daerah datang ke UIN Jakarta untuk studi banding dan mendapatkan petunjuk  serta langkah-langkah konkrit untuk merubah IAIN menjadi UIN, serta mendapatkan bantuan lunak (soft loan) dari Islamic Development Bank (IDB) sebagaimana yang telah dicapai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  Saya berbagi informasi  tentang berbagai hal yang terkait dengan pengembangan perguruan tinggi Islam ke  berbagai IAIN yang ada di daerah, sebatas yang  Saya ketahui.  Saya melihat hal tersebut sebagai wujud konkrit dari pelaksanaan gagasan dan pemikiran inovatif pendidikan Islam yang selama ini sering Saya dan para pakar pendidikan lainnya  bicarakan. Saya melihat cara tersebut sebagai bagian dari strategi efektif untuk memajukan pendidikan secara lebih merata; tidak hanya UIN Jakarta, tetapi juga UIN-UIN lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka menjadikan UIN Jakarta sebagai model pengembangan, karena pada saat itu UIN Jakarta benar-benar tampil sebagai pionir, pelopor, pemula atau pembuka jalan bagi perguruan tinggi Islam lainnya yang berubah dari Institut menjadi universitas. UIN Jakarta pula sebagai perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang berhasil memperoleh bantuan lunak (soft loan) dari Islamic Development Bank (IDB). Berbagai langkah untuk memperoleh pinjaman dana dari IDB, mulai dari pembuatan studi kelayakan, proposal, berkordinasi dan mohon dukungan dari berbagai pihak, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkait, dan instansi terkait lainnya Saya sampaikan kepada para pimpinan IAIN yang ingin berubah jadi UIN. Usaha ini nampa tidak sia-sia, karena tidak lama kemudian terdapat sejumlah IAIN yang berubah menjadi UIN, seperti IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Alauddin Makassar, IAIN Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru, Riau; IAIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Jawa Timur, dan IAIN Sunan Gunung Jati Bandung; dan pada tahun 2014, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, IAIN Sumatera Utara, IAIN Palembang, dan IAIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah juga sudah berubah menjadi UIN. Perubahan institut menjadi universitas ini tentu saja bukan hanya sekedar berubah nama, melainkan harus disertai dengan perubahan-perubahan bidang lainnya. Sikap mental, nilai budaya, tampilan fisik dan non-fisik, lebih-lebih lagi mutu pendidikannya harus mengalami perubahan. Mereka  bukan hanya sekedar menjadi jago kandang, melainkan juga harus jago di luar, dihargai dan diakui masyarakat dunia. Harapan ini telah dijawab oleh UIN-UIN tersebut. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, selain telah menampilkan kesan keunggulan dalam bidang sarana dan prasarana gedung dan fasilitas lainnya, ternyata telah berhasil membuka fakultas-fakultas umum yang tidak terbayangkan sebelumnya. Selain memiliki enam fakultas agama yang sudah sangat diakui kemampuannya oleh masyarakat dalam dan luar negeri, juga memiliki  enam fakultas umum, yaitu fakultas Sains dan Teknologi, fakultas ekonomi, fakultas psikologi, fakultas ilmu sosial dan politik, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, serta fakultas perminyakan, sumber daya alam dan lingkungan. Fakta ini sungguh menyenangkan hati Saya, karena hal ini merupakan bagian dari gagasan dan pemikiran memajukan pendidikan Islam yang selama ini Saya pikirkan dan saya tulis dalam berbagai karya ilmiah yang Saya tulis.
Hasrat Saya untuk ikut mengembangkan pendidikan Islam lebih lanjut menemukan momentumnya, ketika Saya bergabung dalam tim assesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), dan tim adhok  Badan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Bersama-sama para assesor lainnya dari berbagai daerah Saya dapat bertukar pikiran tentang cara mengatasi problema pendidikan Islam yang ditemui pada saat melakukan visitasi ke berbagai Perguruan Tinggi Islam di berbagai daerah. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa dari sekian perguruan tinggi Islam yang ada di daerah ada yang sudah memiliki kesadaran yang penuh terhadap berbagai kekurangannya, dan ada keinginan yang kuat untuk mengatasinya,  serta ada pula yang masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan dan meningkatkan pendidikannya. Sejalan dengan itu, maka saat ini sudah terdapat sejumlah lembaga pendidikan Islam yang sudah mencapai kemajuan dalam berbagai aspeknya:visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, pembiyaan dan lainnya,  dan ada pula yang masih tertinggal dalam berbagai aspek tersebut. Oleh karena itu, dari kunjungan Saya ke berbagai daerah di Indonesia, terjadi semacam learning by doing, atau take and give. Saya bejalar dari kemajuan dan keberhasilan yang dicapai orang lain; dan Saya juga berbagi pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang Saya miliki dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang Saya kunjungi. Semua itu semakin mempertajam daya analisis dan kepedulian Saya dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia secara lebih nyata.
Lingkungan keluarga, teman-teman dekat, bidang tugas, serta pengalaman berinteraksi dengan berbagai pihak serta adanya problema pendidikan yang kian hari tidak pernah berkurang menyebabkan Saya terus menjelajah teori dan praktek pendidikan Islam. Selain meningkatkan kemampuan dan keahlian dalam mendidik dan mengajar sebagai dosen di dalam dan luar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya terus meningkatkan produktifitas dalam menulis. Sudah sekitar lima puluh buku tentang Islam dan pendidikan Islam yang telah Saya tulis. Buku-buku  tersebar di dalam dan luar negeri, terutama di kalangan perguruan tinggi Islam. Hasrat terus mengembangkan teori dan praktek pendidikan mendorong Saya untuk mencari inspirasi dari berbagai sumber pendidikan yang otoritatif. Beberapa pakar pendidikan dalam negeri yang banyak menginspirasi Saya antara lain Prof. Dr. Mochtar Buchori, Prof.Dr.H.A.R.Tilaar, dan Prof.Dr.H.A.Malik Fadjar. Dari Mochtar Buchori, Saya memperoleh inspirasi tentang pemetaan problema masyarakat global dan implikasinya terhadap pendidikan.  Dari H.A.R.Tilaar,  selain Saya memperoleh inspirasi tentang pendidikan dalam konteks budaya Indonesia juga tentang pendidikan demokrasi dan multikultural. Dari Malaik Fadjar, Saya memperoleh inspirasi tentang perlunya reorientasi pendidikan Islam.  Inspirasi lainnya tentang pendidikan Islam, Saya peroleh dari para cendekiawan dan ulama Timur Tengah yang pernah menimba ilmu di Barat, seperti Doktor Ahmad Fuad al-Ahwany,  Dr. Muhammad Athiyah al-Abrasyi,  dan Dr. Ali Khalil Abu al-Ainain.  Saya  juga terinspirasi oleh tokoh pendidikan dari Tunisia yang juga pernah belajar di Barat, seperti Prof.Dr.Omar Mohammad al-Taomy al-Syaibani,  dan Hassan Langgulung.  Dari para penulis Barat, seperti Charles Michael Stanton  dan Joy A.Palmer, Saya juga mendapatkan informasi tentang kiprah umat Islam dalam mengembangkan pendidikan di masa klasik, serta pemikiran para tokoh pendidikan berskala dunia, seperti  Jean Piage (1896-1980) yang berbicara tentang trategi yang tepat untuk pendidikan anak, Skinner (1904-1990) yang terkenal dengan teori behaviorismenta;  Benyamin S.Bloom (1913-1999) yang gagasannya tentang ranah kognitif, afektif dan psikomotorik dalam memetakan pendidikan, Torsten Husein (1916) yang dikenal sebagai Einstennya dalam bidang pendidikan dan pernah menjadi konsultan UNESCO,; Paulo Freire (1921-1997) dengan pendidikan kaum tertindasnya, Ivan Illich (1926-2002) dengan konsepnya tentang pendidikan berbasis masyarakat, Jorgen Habermas (1929) dengan konsepnya tentang peran media masa dalam pendidikan, dan Howard Gardner (1943) dengan teori multiple intellegence:kecerdasan matematik, kinestetik, linguistik, spasional, inter-personal, etika, dan estetika. 
Saya bersyukur, selain  dapat berkontribusi dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia melalui pengabdian  di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia,  Saya juga dapat melahirkan berbagai tulisan tentang Islam dan pendidikan Islam. Tulisan-tulisan Saya baik dalam bentuk buku maupun artikel yang ditulis di Bloog telah dibaca oleh sekian banyak masyarakat di dalam dan luar negeri. Pada tahun 2013 yang lalu, misalnya, Saya terpilih oleh UIN Syarif Hidayatulah Jakarta sebagai dosen yang tulisannya di Bloog terbanyak nomor II yang dikunjungi atau dibaca masyarakat setelah Prof. Azyumardi Azra. Saya juga mendapat laporan dari berbagai daerah tentang adanya mahasiswa program strata 1, dan strata 2 yang skripsi dan tesisnya membahas tentang pemikiran pendidikan Saya. Kini Ilmu Pendidikan Islam sebagai salah satu disiplin ilmu sosial yang bernuansa Islam sudah diakui dunia. Di tengah-tengah melakukan berbagai aktivitas tersebut, Saya juga berkesempatan mengunjungi beberapa negara di kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Inilah yang dapat dipersembahkan anak santri dari desa  untuk memajukan pendidikan Islam di Indonesia yang berwawasan global. 























Daftar Pustaka

Abu al-Ainain, Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut:Dar al-Fikr, 1980), cet. I.
al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha, (Mesir: Isa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, 1395 H./1975 M.), cet. III.
Al-Ahwaany, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tp.th).
Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), cet. I.
Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fajar Dunia, 1999), cet. I.
Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 1424 H./2003), cet. II.
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1987), cet. I.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Pertumbuhannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), cet. I.
Muzani, Saiful, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr.Harun Nasution, (Jakarta:Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1995), cet. I.
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II, (Jakarta:UI Press, 1979), cet. I.
-----------, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:UI Press, 1982), cet. I.
-----------, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), cet. I.
Palmer, Joy A., (ed.),  Fifty Modern Thinkers on Education:From Piaget to the Present, (London and New York, 2001).
Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Prof. Dr.Harun Nasution,  Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta:Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), cet. I.
Saridjo, Marwan, Mereka Bicara Pendidikan Islam sebuah Bunga Rampai, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2009), cet. I.
Stanton, Charles Michael,  Higher Learning in Islam The Classical Periode, A.D., 700-1.300, (Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 1990).
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), cet. I.
Tilaar, H.A.R., Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta:Gramedia, 2004).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara Widya Ilmu, 1992), cet. I.

Comments