Articles‎ > ‎

STRATEGI MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH TANGGA BAHAGIA

Setiap laki-laki dan perempuan yang melakukan akad nikah sudah pasti mendambakan sebuah mahligai kehidupan rumah tangga yang bahagia. Yaitu rumah tangga yang ditandai oleh rasa saling menyintai, menyayangi, mengasihi, melindungi, tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan serta dikarunia putera puteri yang salih dan salihah yang berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan agamanya, serta adanya hubungan yang harmonis, hangat di antara anggota keluarganya, masyarakat lingkungannya, bangsa dan negaranya.

Agama Islam telah memberikan petunjuk dan strategi yang efektif untuk mewujudkan keadaan mahligai rumah tangga yang demikian itu. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Para ulama atau sarjana ilmu syari’ah sangat kenal dengan kitab fikih Nikah atau Ahwal al-Syakhsiyah (keadaan kehidupan manusia) yang membahas seluk beluk pernikahan. Al-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah Jilid II, misalnya membahas masalah pernikahan dan berbagai aspeknya ini  sebanyak kurang lebih 300 halaman. Sedangkan Wahbah al-Zuhaily, dalam Kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu  Jilid VII membahas masalah nikah tersebut sebanyak lebih kurang 800 halaman. Berbagai masalah tentang pernikahan mulai dari memilih jodoh, melamar, kafa’ah (kesetaraan), tujuan pernikahan, mahar,  syarat dan rukun nikah, khutbah nikah, hak dan kewajiban suami istri, menyusui anak, membelikan perhiasan untuk istri, perselingkuhan, mengatur kelahiran sampai dengan perceraian. Semua ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan campur tangan ajaran Islam terhadap masalah pernikahan, hingga sampai masalah yang detail, karena Islam selain menginginkan terbentuknya keluarga yang sakinah, waddah dan wa rahmah, juga memandang pernikahan sebagai micro soscal, yakni masyarakat  dalam bentuk kecil yang menjadi landasan bagi tegaknya sebuah kehidupan rumah tangga.

Dari kajian terhadap masalah-masalah pernikahan terdapat sejumlah hal penting yang dapat mewujudkan sebuah mahligai rumah tangga yang bahagia, sebagai berikut.

Pertama, adanya persamaan persepsi dari suami istri tentang tujuan pernikahan. Berdasarkan hasil kajiannya yang mendalam, Sayyid Sabiq sampai pada kesimpulan, bahwa pernikahan merupakan sebuah sistem yang telah dipilih oleh Allah SWT dalam rangka mengembang biakkan keturunan, melanjutkan kehidupan, setelah keduanya menyatakan kesediaan yang tulus untuk membangun kehidupan rumah tangga. Rumusan ini dipahami dari firman Allah SWT.

 

 

 

Artinya: Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan (Allah) menciptakan pasangan (Hawa) dan (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S. Al-Nisa, 4:1).

 

Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa penciptaan keturunan manusia diawali dengan perintah bertakwa kepada Allah. Ini mengandung maksud bahwa lahirnya keturunan melalui pernikahan tersebut harus didasarkan pada aturan Allah SWT, bukan dengan cara hidup bebas tanpa ikatan nikah sebagaimana yang terjadi di masyarakat Barat. Islam mengajarkan kepada kita agar dalam mengembangkan keturunan melalui hubungan suami istri dan penyaluran hasrat biologis secara terhormat, bermartabat dan berbudaya. Sejalan dengan ini, Islam mengajarkan bahwa hidup berpasangan itu sebagai bukti dari kekuasaan Allah SWT. Hal ini dinyatakan, sebagai berikut.

 

 

 

 

 

Artinya: Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S, Yaasin, 36:36).

Dengan memandang, bahwa perkawinan sebagai bukti kekuasaan Tuhan, maka orang yang menjalin rumah tangga itu jangan mengotorinya dengan niat-niat yang buruk, misalnya nikah itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang bersifat material (transaksional), merusak pernikahan dengan perselingkuhan, kejahatan dalam rumah tangga (KDRT) atau saling menyakiti dengan cara tidak memberi nakha lahir batin, atau merusak rumah tangga tersebut dengan seenaknya suami menceraikan istrinya, atau istrinya minta diceraikan. Dengan memandang pernikahan sebagai melaksanakan salah satu sunnatullah, maka pernikahan tersebut akan bernilai ibadah.

Kedua, menyamakan persepsi tentang tujuan berumah tangga atau hidup berpasangan. Di dalam al-Qur’an surat al-Rum (30) ayat 21, tujuan pernikahan tersebut dinyatakan sebagai berikut.

 

 

 

Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekusaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Al-Ruum, 30:21).

Sehubungan dengan ayat tersebut, maka pasangan (istri) adalah merupakan tempat untuk mendapatkan ketenangan bagi suami, tempat bercocok tanam, patner dalam kehidupannya, pengurus rumah tangganya, menjadi ibu dari putera puterinya, tempat menumpahkan kasih sayangnya, tempat mengadukan segala rahasia dan bisikan hatinya. (Sayid Sabik, Fiqh al-Sunnah,  Jilid II, hal. 16).

Cara pandang suami yang demikian itu, hanya akan terwujud jika seorang istri menampilkan dirinya sebagai wanita yang shalihah. Al-Qur’an menggambarkan wanita yang shalihah itu sebagai berikut.

 

 

 

Artinya: Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. (Q.S. al-Nisa, 4:34).

Imam al-Maraghi dalam Kitab Tafsirnya, Tafsir al-Maraghy Jilid II, halaman 28 menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan adapun wanita yang salihah adalah yang taat pada suaminya, memelihara apa yang terjadi antara dirinya dan suaminya ketika berdu’an dari perkataan yang keji dan keadaan khusus yang terjadi pada istrinya, tidak memamerkan dirinya kepada orang lain, bahkan kepada keluarganya sendiri, memelihara diri dari sentuhan tangan orang lain, pandangan mata, bahkan bisikan suara. Selanjutnya dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dinyatakan, bahwa wanita yang shalihah itu selain memelihara dirinya ketika suaminya sedang tidak ada di rumah, juga hendaknya mengikuti perintahnya, dan menyenangkan jika dipandang oleh suaminya. Pandangan ini terkait kait dengan pancaindera. Ini berarti bahwa untuk saling membahagiakan suami isteri dapat memanfaatkan saluran pancainderanya. Ia dapat menggunakan saluran pendengaran dengan panggilan dan  bisikan yang lembut dan merdu; dapat menggunakan matanya dengan mengias  dan kerlingan bola matanya, serta dengan menampilan hiasan atau berdandam dengan mengenakan pakaian yang selain merangsang juga menyenangkan suaminya; ia juga dapat menyalurkan kasih sayang dan kemesraannya melalui mulutnya dengan mengembangkan senyuman yang merekah; ia juga dapat memanfaatkan lidah dan perutnya dengan menyediakan makanan dan minuman yang lezat serta cara menghidangkannya yang memiliki daya tarik dan selera; ia juga dapat memanfatkan kakinya, dengan mengajak serta berjalan berdua atau melakukan bulan madu. Untuk mewujudkan keadaan ini, maka seorang suami tidak ada salahnya untuk menyediakan bughet atau anggaran yang dapat membangun keharmonisan rumah tangganya, seperti untuk mengurus berat badan, kulit, rambut, pakaian, hiasabn sebagainya.

Ketiga, menyamakan persepsi tentang asas rumah tangga, yaitu bahwa suami istri adalah merupakan patner yang sejajar, dan bukan untuk saling menguasai antara satu dan lainnya. Sayyid Sabiq dalam Kitabnya Fiqh Sunnah Jilid II, halaman 174 mengatakan, bahwa bahwa asas hubungan suami istri adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.

 

 

Artinya: Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. (Q.S. al-Baqarah, 2:228).

Oleh karena itu harus ada pembagian tugas yang adil dan kerjasama yang kompak antara suami dan istri. Tidak ada salahnya jika suami juga terlibat dalam pekerjaan rumah tangga yang patut bagi suami, seperti mencuci, menstrika pakaian, bahkan memasak dan merawat bayi bersama-sama dengan istri. Jika istrinya yang menyusui, maka suami yang mengisi air susunya dengan makanan dan minuman yang halal, bergizi dan cukup kadarnya; jika istri yang memasak nasi, maka suami yang menyediakan beras dan lauk pauknya; jika istri yang mencuci pakaian, maka suami yang menyediakan sabun dan alat-alat cucinya; demikian seterusnya. Hal ini penting dicacat, karena sering kali pola hubungan suami istri terkadang dipengaruhi oleh tradisi budaya dan adat istiadat yang berlaku. Terkadang ada budaya feodalisme kaum laki-laki yang menempatkan kaum wanita yang untuk melakukan tugas-tugas domestik dan pelayani kaum pria, sebagaimana budaya feodalisme dalam sistem kerajaan yang serba ingin dilayani. Di pihak lain, ada budaya dan tradisi yang menempatkan posisi kaum wanita lebih tinggi dibandingkan posisi kaum pria. Posisi yang sebenarnya adalah posisi yang equal, adil, setara dan kemitraan.

Keempat, perlu adanya persamaan persepsi tentang membangun rumah tangga yang tak ubahnya seperti dua orang yang sedang mendayung sebuah perahu yang akan menuju ke sebuah pulau yang penuh dengan berbagai fasilitas, hiburan, dan berbagai kesenangan lainnya. Namun untuk menuju ke pulau itu, ia berdua harus harus mengarungi lautan yang dalam, ombaknya tinggi, bahkan terkadang disertai badai. Untuk itu, ia harus tabah, yakin sampai tujuan, menghadapi resiko secara bersama, mendayung bersama, dan bekerja keras. Untuk seorang suami isteri harus menyatukan tujuan, harus kompak, menyatukan niat, langkah dan gerak, harus sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan, harus tolong menolong. Hanya dengan cara demikian, ia akan sampai pada tujuan membangun mahligai rumah tangga yang bahagia.

Kelima, perlu menampilkan sikap kerja keras, pola hidup sederhana, efisien, renda hati, santun, bersahabat, pema’af, bijaksana, ta’at menjalankan ibadah. Sikap ini diperlukan selain untuk memelihara diri dari godaan duniawi yang dapat menjurumuskan diri dan berurusan dengan hukum, juga agar rumah tangga dapat menjadi lembaga pendidikan yang pertama dan utama, terutama pendidikan sikap, kepribadian, mental, karakter dan akhlak yang mulia. Berbagai ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh suami istri harus memiliki wawasan edukatif dan pedagogik. Untuk itu suami isteri juga perlu memiliki dasar-dasar tentang wawasan psikologi anak, serta cara-cara efektif dalam pembentukan sikap keagamaan dan akhlak mulia, melalui kebiasaan menjalan ibadah shalat lima waktu, membaca al-Qur’an, saling menghormati antara suami isteri, berbicara yang lemah lembut dan santun, tolong menolong, cinta saudara, teman, tetangga, cinta tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lingkungan hidup. Peran edukatif yang demikian itu merupakan salah satu perintah agama. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW bersabda:

 

 

Artinya: Didiklah anak-anakmu sekalian dengan tiga perkara: mencintai nabinya, mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur’an, karena orang yang menghafal al-Qur’an itu akan berada dalam lindungan Allah, pada hari di mana tidak ada perlindungan lainnya kecuali perlindungan bersama nabi dan orang-orang yang dikasihi-Nya. (H.Al-Dailamy dari Ali).

Keenam, suami isteri harus menyamakan persepsi untuk menjadikan rumah bukan sebagai kuburan yang sunyi senyap; bukan pula seperti penjara yang gelap dan menakutkan, bukan pula seperti pasar yang berisik, bukan pula seperti hotel yang cuma menginap hanya menginap satu atau dua malam setelah itu pergi lagi, dan bukan pula seperti masjid yang tidak melakukan kerjaan lain kecuali beribadah, dan bukan pula seperti sekolahan yang hanya memeras otak, dan bukan pula seperti lapangan olah raga yang hanya mengadu otot dan main banting-bantingan, tapi jadikanlah rumah tangga sebagai syurga yang menyediakan segala hal yang dibutuhkan anggotanya. Di dalam keluarga itu mereka saling asah, saling asih dan saling asuh, menerima dan memberi, tempat istarahat, tempat berdiskusi, tempat bersenang-senang dan bersenda gura, tempat mendidik putera puterinya, tempat merencanakan masa depan, tempat membangun kebudayaan dan peradaban. Di rumah itu pula, ia dapat tertawa dan terkadang menangis, tempat menemukan ide dan gagasan brilian; tempat bersenang-senang dan mengadu kepada Tuhan. Tempat di mana seluruh fithah jasmani dan rohani, individual dan sosial, material dan spiritual, dunia dan akhirat manusia tersalurkan secara seimbang.

Ketujuh, suami istri harus menyamakan persepsi dalam mengelola perbedaan atau pluralisme. Fakta menunjukkan, bahwa pasangan suami istri memiliki watak, tabi’at, karakter, hobi, budaya, tradisi, profesi, pendidikan, suku, bahasa, dan lainnya yang berbeda-beda. Perbedaan ini harus dilihat sebagai kenyataan, realitas, keniscayaan, bahkan sunnatullah (ketentuan) Tuhan, dan di balik perbedaan tersebut terkandung hikmah yang luar biasa, jika perbedaan tersebut dapat dikelola secara arif, bijaksana, proporsional, adil, transparan, dan manusiawi. Makanan atau hidayangan yang lezat misalnya, terjadi karena adanya berbagai bahan bumbu dan rempah-rempah yang beragam dan diolah secara proporsional; suara musik atau simponi yang indah terjadi dari  beragam alat musik yang dimainkan secara seimbang, dan serasi. Demikian pula lembaran mata uang memiliki nilai karena terdiri dari aneka ragama warna yang dilegalisir. Dalam mengelola pluralisme ini yang dipentingkan adalah mencari titik persamaan, yaitu tujuannya, yakni memberi manfaat bagi manusia, kemanusiaan, dan persaudaraan; dan tidak mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada pada masing-masing harus dilihat sebagai tanda kekuasaan Tuhan, anugrah Tuhan, yang harus dihargai, dihormati dan diberikan kesempatan untuk mengekspresikannya. Tentang perbedaan ini, al-Qur’an memberikan isyarat sebagai berikut.

 

 

 

 

Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. al-Rum, 30:22).

 

 

 

 

Artinya: Wahai manusia. Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateli. (Q.S. al-Hujurat, 49:13).        

Dua ayat al-Qur’an yang dikutip di atas, selain mengakui adanya perbedaan bahasa, warna kulit, jenis kelamin, kebangsaan dan kesukuan, juga mengingatkan, bahwa perbedaan itu sebagai tanda kekusaan Allah, dan karenanya harus diterima sebagai realita dan harus dikelola dan disinergikan secara arif dan bijaksana, sehingga perbedaan tersebut membawa rahmat, dan bukan malah menimbulkan bencana dan mala petaka. Di dalam kehidupan rumah tangga, bahwa perbedaan yang akan dijumpai bukan hanya terjadi pada suami isteri, juga terkadang pada anak kandung sendiri, kedua orang tua, mertua, uwa, bibi, papan, keponakan, dan lain sebagainya.
Comments