Pembinaan mental merupakan salah satu agenda utama bangsa Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya mencanangkan tentang revolusi mental dalam kaitannya dengan mendorong bangsa Indonesia untuk mencapai berbagai kemajuan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian, program revolusi mental tersebut nampaknya saat ini sudah jarang terdengar lagi. Demikian pula kajian yang berkaitan dengan konsep, pendekatan, strategi dan metode serta lainnya yang berkenaan dengan revolusi mental nampaknya belum dirumuskan. Dengan mengacu kepada al-Qur’an, surat al-A’raf, (7) ayat 179, selain akan membahas tentang pengertian mental dalam hubungannya dengan akhlak, karakter, etika, dan budi pekerti, makalah ini membahas hal yang bersifat substansial yang dapat menumbuhkan mental yang sehat, serta hubungannya dengan upaya mewujudkan kebahagiaan sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat al-A’raf, (7) ayat 179 tersebut di atas.
A.Pengertian Mental dan Hubungannya dengan Akhlak, Karakter, Etika, dan Budi Pekerti Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, mengartikan mental sebagai yang mengenai batin, cara berfikir dan berperasaan.[1] Sedangkan karakter adalah tabi’at, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada orang yag lain.[2] Selanjutnya akhlak adalah sifat-sifat yang tertanam kuat dalam jiwa dan menampakkan dirinya secara mudah dalam bentuk ucapan dan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan.[3] Selanjutnya etika adalah ketentuan tentang baik buruk yang didasarkan pada pemikiran akal sehat. Dari segi pengertian terdapat unsur-unsur persamaan dan perbedaan antara mental dan berbagai istilah lainnya. Dari segi substansinya, mental berkaitan dengan batin, cara berfikir dan perasaan. Hal ini sama dengan akhlak yang di dalamnya terkait dengan budi pekerti, watak, tabi’at, dalam hal cara berfikir dan berperasaan yang mendarah-gading. Demikian juga, karakter berkaitan dengan tabi’at, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Persamaan tersebut juga terlihat dari segi sifatnya, yakni mental, akhlak, budi pekerti, karakter dan etika, sama-sama membicarakan masalah baik dan buruk. Selanjutnya semua istilah tersebut mengandung persamaan dari segi faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni pendidikan, lingkungan, bahan bacaan, teman pergaulan, pembawaan, serta pengalaman masa lalu. Selain itu dari segi pengaruhnya, semua istilah tersebut, berpengaruh terhadap perasaan seperti cemas, iri hati, sedih, rendah diri, dan hilangnya rasa percaya diri dan pemarah, yang selanjutnya semua ini dikenal sebagai penyakit mental (mental block), akhlak, etika, karakter dan budi pekerti yang buruk. Selain itu, berbagai istilah tersebut berpengaruh terhadap kecerdasan, misalnya seorang anaknya yang terganggu mentalnya, seperti jiwanya yang galau, goncang, cemas, dan sedih karena kedua orang tuanya yang tidak peduli, atau orang tuanya yang akan bercerai dan menyebabkan menurunnya prestasi belajar anak di sekolah. Selain itu mental dan lainnya itu berpengaruh terhadap kelakuan seseorang, misalnya timbulnya rasa gelisah, jengkel, dan ingin memberontak, seperti seorang pembantu yang banyak dimarahi majikannya dan tidak punya kesempatan untuk membela diri, akan menimbulkan rasa jengkel yang ketika rasa jengkelnya itu tersalurkan dapat menimbulkan ledakan.[4]
B.Mental Yang Sehat Orang yang mentalnya sehat adalah orang yang jiwanya senantiasa bahagia, tenang dan ceria, serta memiliki sifat-sifat yang terpuji yang selanjutnya mendorong yang bersangkutan untuk menampakan sikap, ucapan dan perbuatan yang unggul (great), hebat (excellenct). Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan jiwa, mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Selain itu orang yang sehat mentalnya adalah orang yang memiliki pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan segenap potensi, bakat dan pembawaan, serta mampu memelihara keharmonisan dan kerjasama yang kompak antara pikiran, perasaan, sikap, jiwa, kepercayaan dan keyakinan hidup. Mental yang sehat juga amat tergantung pada cara orang menghadapi suatu persoalan, bergantung cara pandang atau sikap dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya dalam kehidupan:sosial, ekonomi, politi, budaya, adat kebiasaan, dan lain sebagainya. Ketepatan dan kebenaran dalam memandang berbagai masalah yang dihadapinya itu akan menyebabkan orang tersebut akan sehat mentalnya, dan kesalahan dalam memandang sesuatu akan menyebabkan orang tersebut akan sakit mentalnya, dan sengsara hidupnya. Terkait dengan ketepatan dalam menyikapi berbagai masalah dalam kehidupan, agar setiap orang sehat mentalnya dan bahagia hidupnya, Islam memberikan petunjuk dalam memandang masalah sebagai berikut. Pertama, dalam hal ekonomi, Islam menganjurkan agar melihat kepada orang yang lebih rendah kemampuan ekonominya, dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi. Melihat orang yang ekonominya lebih rendah dari kita akan menyebabkan kita tetap bersyukur dan merasa lebih beruntung, dan karenanya ia akan merasa cukup dengan apa yang diterimanya. Sebaliknya jika ia memandang kepada orang yang lebih tinggi ekonominya, ia tidak akan mau bersyukur, selalu merasa kurang, dan ia merasa berada di bawah kemampuan orang lain, dan akibatnya ia gelisah, dan merasa terus berkurang. Kedua, dalam hal kehidupan sosial, Islam mengajarkan agar bersikap berbaik sangka (husn al-dzann) dan menghindari sikap buruk sangka (su’u dzanna). Sikap berbaik sangka menyebabkan orang tidak curiga, ia akan tetap tenang dan merasa aman, sungguhpun orang yang akan berbuat jahat berada di dekatnya; sebaliknya orang yang berburuk sangka menyebabkan orang tersebut curiga, gelisah, tidak tenang, sungguhpun ada orang yang akan berbuat baik berada di sampingnya, karena orang yang akan berbuat baik itu tetap dicurigai. Orang yang berburuk sangka akan sulit bergaul, hidupnya menyendiri. Orang yang baik sangka akan senantiasa berjiwa lega, sungguhpun ia secara lahiriyah sebagai orang yang dirugikan. Ketika ia terkena cipratan air jomberan oleh pengendara mobil, hingga bajunya kotor, orang yang baik sangka tidak akan memarahi supir kendaraan itu, karena ia menduga bahwa orang itu mungkin sedang ada urusan penting, mengurus orang yang terkena musibah, atau hal lainnya yang membahayakan. Orang yang baik sangka akan mengungkapkan perasaan dan dugaan yang baik, bahkan mendo’akannya. Ketiga, dalam hal perjuangan, orang yang sehat mentalnya akan memandang bahwa kesulitan dan penderitaan adalah sebuah investasi yang akan mendatangkan keburuntungan. Oleh sebab itu, kesulitan dan problema itu bukan dijauhi atau ditinggalkan, melainkan dihadapi dan dipecahkannya, karena di dalam kesulitan yang dihadapi dan dipecahkan dengan susah payah itu itu ada pengalaman yang berharga, dan akan ada jalan keluar dan keberkahan. Allah SWT menyatakan: Inna ma’a al-‘ushri yusran:Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Seekor kupu-kupu yang ingin keluar dari kepompong harus berjuang melewati lubang yang sulit, dan jika kita bantu kupu-kupu tersebut keluar dari kepompong dengan cara menggunting sebagian kepompong itu, dan kupu-kupu tersebut dapat keluar, namun ia hanya bisa merayap, tapi tidak bisa terbang. Keempat, dalam hal keberuntungan, orang yang sehat mentalnya, akan mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh itu baik atau buruk amat bergantung pada usaha diri kita sendiri; dan bukan karena orang lain; kegagalan yang ia hadapi, bukan karena orang lain, tapi karena dirinya sendiri. Pandangan ini akan menyebabkan, orang yang sehat mentalnya itu akan senantiasa berinvestasi tentang kebaikan. Ia akan memandang bahwa yang Allah berikan kepadanya adalah hasil usahanya sendiri yang dilipatkan gandakan oleh Tuhan. Hal ini tak ubahnya dengan orang yang mengambil uang di ATM adalah mengambil uangnya sendiri yang ia tabung, atau yang ia usahakan dari menjual jasa atau produk. Demikian pula pahala atau rezeki yang kita minta kepada Allah pada hakikatnya hasil usaha kita sendiri. Yang kita minta dari Allah SWT adalah hasil usaha kita, namun dilipatgandakan oleh Allah. Oleh sebab itu jika kita meminta sesuatu kepada Allah dengan berdo’a, maka yang terpenting adalah kita melakukan amal kebaikan atau memperbanyak ibadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in:Kepada-Nyalah kamu beribadah, dan kepada-Nyalah kamu memohon. (Q.S. al-Faatihah, 1:5). Dalam firman-Nya yang lain, Allah SWT menyataka: Wa maa taf’alu min khairin tajiduuhu indallahi:Dan apa yang kamu kerjakan dari perbuatan baik, maka akan kau temui pahalanya di sisi Allah (Q.S.?) Kelima, dalam hal tujuan hidup. Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup jangka panjang, yakni mendapatkan kebahagiaan di akhirat adalah lebih penting dari tujuan hidup jangka pendek di dunia ini. Orang yang mengutamaan kehidupan jangka panjang masa depan, akan menggunakan dunia sebagai ladang amal untuk bekal di akhirat, hidupnya tidak akan diperbudak oleh harta benda, tidak akan rakus dan terjebak pada sikap menghalalkan segala cara. Tujuan hidup jangka panjang akan menyebabkan manusia senantiasa mencari pahalan, mencari kemuliaan, dan senang berinfak, serta memandang harta yang diinfakkan itu sesungguhnya harta miliknya yang sejati, yang akan ia terima di akhirat nanti. Selanjutnya ajaran Islam memberikan petunjuk kepada manusia agar senantiasa memiliki sikap dan pandangan hidup yang tepat dan benar yang akan menyehatkan mentalnya dan membahagiakan hidupnya, yaitu dengan senantiasa membersihkan jiwanya dari berbagai penyakit jiwa. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.
Artinya: Ingatlah bahwa pada jasadmu ada segumpal darah, jika segumpal darah tersebut sehat, maka sehatlah seluruh amalnya, dan jika segumpal darah itu rusak, maka rusaklah seluruh amalnya. Ingatlah bahwa segumpal darah itu adalah hati. Untuk memiliki hati yang bersih maka diperlukan pendidikan hati sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli tasawuf, yang dimulai dari al-bidayah (permulaan) yaitu ingin berjumpa dengan Allah, diikuti dengan kesungguhan dalam memperjuangkannya dengan mujahadah, diikuti dengan muhasabah (introspeksi diri), dan mu’aqabah (menghukum diri sendiri, karena kesalahan dan berbuat dosa, dan diikuti dengan mu’atabah, bertaubat dan menyesali kesalahan, dan akhirnya mukasyafah (terbukanya tabir penghalang) antara dirinya dengan Tuhan. [5] Kunci lainnya guna memiliki mental yang sehat adalah dengan senantiasa ingat kepada Allah, tidak terpedaya oleh dunia yang menyebabkan ia menjadi orang yang ghafilun (orang yang lupa) yang menurut al-Qur’an surat al-A’raf (7) ayat 179[6] penyebabnya ada dua. Pertama, ia tidak mau memahami keagungan Allah dengan hatinya. Yakni orang-orang yang yang tidak mau memahami dengan hatinya tentang segala sesuatu yang menyebabkan kesucian jiwanya (kesehatan mentalnya), yaitu mengesakan (tauhidullah) semata, menjauhkan diri dari khurafah, dugaan-dugaan, merendahkan dan mengecilkan Allah SWT. Kedua, ia tidak mau memahami ayat-ayat Allah yang ada di alam jagat raya, di dalam dirinya dan di dalam al-Qur’an melalui penglihatan (observasi, eksperimen, studi lapangan, dan sebagainya) serta pemikirannya untuk memahami hakikat, hikmah dan ajaran yang berada di balik ayat-ayat tersebut, yakni ayat-ayat Allah, keagungan dan kemahakuasaan Allah yang terdapat pada ciptaanya.[7] Jika orang tidak mau membersihkan dirinya dari pengaruh dunia yang menyebabkan lupa pada Tuhan, yakni hati, pancaindera dan akal pikirannya tertutup dari memahami ayat-ayat Allah, maka orang tersebut tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi, dan orang itulah yang disebut al-ghafilun yang diancam dengan siksaan neraka di akhirat nanti. Pada akhir penjelasan terhadap ayat 179 surat al-A’raf tersebut, Ahmad Mustafa al-Maraghy mengatakan: Sesungguhnya ahi neraka itu adalah orang-orang kaya yang banyak hartanya, yang jahilun, yakni orang yang tidak cerdas, ia diperbudak oleh harta, tidak mampu mengendalikan hartanya untuk menyelamatkan dirinya di akhirat nanti dengan cara menginvestasikannya dalam bentuk ifaq dan shadaqah, dan orang yang tidak pula mau memanfaatkan pancaindera, akal pikiran dan hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah yang ada di alam jagat raya (ayat al-kauniyah) dan ayat yang diturunkan Allah melalui wahyu (ayat al-tanziliyah), dengan cara mengbservasi, mekukan eksperimen, dan studi lapangan, yang menghasilkan berbagai macam dan cabang ilmu pengetahuan, yang di samping akan semakin membawa kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia, juga akan menemukan hikmah, rahasia, ajaran, dan hukum-hukum Allah yang akan mengantarkannya kepada kebahagiaan hidup di akhirat. Sebaliknya orang yang lupa adalah orang yang tidak mau menggunakan akalnya untuk memahami hakikat berbagai persoalan, serta tidak mau menggunakan mata batin dan pancainderanya dalam menetapkan kebijakan serta tidak digunakan dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, serta tidak digunakan untuk mengetahui ayat-ayat Allah yang bersifat al-kauniyah dan ayat-ayat-Nya yang bersifat al-tanziliyah.[8]
C.Penutup Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut. Pertama, bahwa orang yang bahagia adalah orang yang mentalnya sehat, yang ditandai oleh perasaan senang, bahagia, ceria, optimis dan memancarkan hal-hal yang baik. Memiliki mental yang sehat sangat penting, karena kesehatan mental berpengaruh terhadap perasaan, kecerdasan, kelakuan, dan kesehatan jasmani. Kedua, bahwa orang yang mentalnya sehat amat bergantung kepada cara orang menghadapi suatu persolan, bergantung kepada cara atau sikap menghadapi faktor-faktor: sosial, ekonomi, politik, budaya, adat dan sebagainya. Ketiga, Islam memiliki ajaran dan petunjuk yang dapat menyehatkan mental seseorang dengan cara memberikan petunjuk yang tepat dan benar dalam memandang setiap persoalan hidup, seperti sikap memandang yang lebih rendah dalam bidang ekonomi, memandang bahwa memberi lebih baik daripada meminta, karena orang yang memberi merasa hidupnya berarti bagi orang lain, dan termasuk orang yang cerdas dalam memanfaatkan harta benda, lebih suka menghadapi kesulitan daripada menerima kebahagiaan, dari di balik kesulitan dan penderitaan ada kebahagiaan, mengumatakan jangka panjang daripada jangka pendek, memandang bahwa apa yang diperoleh berdasar pada hasil usaha manusia. Keempat, agar senantiasa dapat memandang sesuatu dengan benar, maka kunci utamanya dengan membersihkan hati dari pengaruh duniawi atau harta benda, pangkat, kedudukan dan sebagainya. Caranya dengan ingin bertemu dengan Tuhan, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah, mu’atabah, dan mukasyafah. Dengan cara demikian, ia akan menjadi orang yang senantiasa ingat kepada Allah, dan tidak menjadi orang yang lengah. Dengan demikian, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual ditandai oleh (1)kemampuan menyelesaikan pekerjaan yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi; (2)kemampuan melakukan pekerjaan yang rumit; (3)kemampuan memahami dan menerapkan simbol-simbol atau rumus-rumus yang bersifat abstrak, (4)kemampuan bekerja secara efisien dari segi waktu, tenaga dan materi, (5)kemampuan menyesuaikan sikap dengan tujuan; (6) kemampuan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi orang lain; (7)kemampuan menghasilkan pekerjaan yang original dan bukan meniru pekerjaan orang, dan (8)kemampuan menyelesaikan masalah dengan tepat.[9] Kecerdasan sosial terkait dengan sikap simpati, empati dan peduli pada nasib orang lain.Sedangkan kecerdasan spiritual terkait dengan kemampuan seseorang untuk dapat menghargai diri sendiri, dan orang lain, memahami perasaan terdaam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan yang berlaku yang semuanya itu dipandang sebagai kunci keberhasilna bagi seorang anak di masa depan. Kelima, bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah atau di tempat lain, bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih keterampilan anak dalam melaksanakan ibadah, akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu. Ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama yang tidak diresapkan, dan dihayatinya dalam hidup. Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam hidupnya di kemudian hari.[10]
[1] W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Gramedia, 1991), cet. XII, hal. 645 [2] Ibid., hal. 445. [3] Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf-Budi Pekerti Mulia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 45 [4] Lihat Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta:Gunung Agung, 1979), hal. 17 sd 28. [5] Lihat Pipi Supiatin dan Sohari Sahrani, Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2011), hal. 92. [6] Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia, Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. al-A’raf, 7:179). [7] Lihat Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th,) hal. 113-114.
[8] Lihat Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, tp. th,) hal. 113-114.
[9] Dikutip oleh Purwa Atmaja Prawita, dari pendapat O. Wechsler dan G, Stoddard, dalam Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta:Ar Ruzz Media, 2014), cet. I, hal. 172. [10] Lihat Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Bulan Bintang, 1970), hal. 107. |
Articles >