Articles‎ > ‎

STRATEGI TRANSFORMASI AGAMA DALAM MASYARAKAT GLOBAL

A.      Pengantar

Dahulu orang mengira, bahwa di era globalisasi ini agama tidak lagi dibutuhkan. Dugaan ini ternyata meleset. Saat ini agama ternyata sangat dibutuhkan. Fenomena ini diakui keberadaannya oleh kalangan akademisi, peneliti, pekerja sosial, borokrat dan sebagainya. Peter Connoly (ed), misalnya mengatakan: “Gelombang perhatian terhadap agama belakangan ini meningkat tajam. Agama yang dalam positivisme disetarakan dengan “mitos” dan karenanya diramalkan akan tenggelam dilibas kekuatan ideologi dan ilmu pengetahuan, kini kiam menunjukkan nyalanya.” Meningkatnya semarak keagamaan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya menunjukkan kebenaran tesis ini. Meningkatnya jumlah tempat ibadah, majelis ta’lim, majelis dzikir, jama’ah haji dan umrah, buku-buku keagamaan, dan kajian keagamaan di kota-kota besar menunjukkan meningkatnya gejala kebangkitan peran dan fungsi agama dalam kehidupan. Keadaan tersebut pada gilirannya semakin mempersubur lahirnya fenomena “santri kota”. Suatu predikat atau sifat yang ditujukan kepada orang-orang yang menunjukkan kesalihan dalam beragama, seperti ketekunan menjelankan ritualitas keagamaan, seperti shalat, berzikir, membaca al-Qur’an, berbusana Muslim dan Muslimah, gemar melaksanakan amaliyah sunnah, umrah, bersedekah, berinfak dan lain sebagainya. Saat ini untuk dapat menjadi santri, seseorang tidak mesti secara formal pergi ke pesantren, melainkan dapat dilakukan di kota-kota besar. Selain itu yang menarik adalah, bahsa perhatian terhadap agama bukan saja bersifat teologis, melainkan disertai dengan meningginya minat menjalani kehidupan yang diyakini berlandaskan ajaran agama yang kini terkenal dengan istilah kebangkitan agama. Semangat ini tidak bersifat lokal, tetapi global, membentang dari Timur hingga Barat. Kebangkitan agama di sini tidak saja merujuk pada agama-agama besar, tetapi juga pada sekte-sekte spiritual kecil, agama kuno, dan berbagai macam sinkretisme dan ekletisme keagamaan baru. Kenyartaan ini pada tahap selanjutnya minat ilmiah terhadap agama. Perndekatan terhadap pemahaman agama tidak lagi sebatas teologis, perbandingan agama atau sejarah agama, tetapi meluas ke disiplin ilmu-ilmu humaniora lainnya. Agama dalam pengertiannya yang potensial untuk meluas, telah menjadi subjek lintas ilmu.[1]

Melalui pendekatan yang multi dimensional itu, transformasi agama dalam berbagai kehidupan masyarakat semakin terjadi secara meluas. Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban (1992:XIX) misalnya telah menjelaskan panjang lebar tentang iman dan tata rabbaniyah, efek pembebasan semangat tauhid, iman dan harkat kemanusiaan, pengembangan ilmu pengetahuan, kemajemukan masyarakat intra umat Islam, universalisme Islam dan kosmopolitanisme, maka modernisasi dan tantangannya, umat Islam boleh merasa muju, karena mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi ebagai peradaban global.[2]

Lebih dari itu, Fazlur Rahman dalam Islam (1987:423) mengatakan, bahwa  Islam dari sejak kelahirannya telah menghadapi dan menemui tantangan-tantangan dalam kerohanian dan intelektual, bahkan wahyu al=Qur’an sendiri sebagian muncul berdasarkan tantangan-tantangan yang dihempaskan oleh agama Yahudi dan Kristen yang lebih tua dan telah berkembang. Transformasi Islam yang dianut kaum modernis ini jelas memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi Barat, tetapi hal itu tidak mengurangi posisinya sebagai seprang prmbaharu yang kuat dan efektif secara umum. [3]

Peran transformasi Islam yang demikian itu sejalan pula dengan karakteristik ajaran Islam. Kuntowijpyo, dalam Paradigma Islam (1991:167) mengatakan, bahwa berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami di Barat, Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi. Yaitu sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta, bukan pula ia merupakan sebuah cara berfikir yang dididikte teologi. Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Konsep agama dalam Islam bukanlah semata-mata teologi, sehingga serba pemikiran teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Sebagai contoh di dalam al-Qur;an surat al-Baqarah ayat 2, disebutkan tentang iman yang dihubungkan dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, atau iman, ilmu dan amal. Hal ini menunjukkan, bahwa iman harus berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan. Pusat keimanan dalam Islam memang Tuhan, tetapi ujungnya berupa aktualisasi pada manusia. Dengan demikian, dalam Islam, tauhid harus menjadi pusat dari orientasi nilai, sementara pada saat melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut rahmatan lil alamin.

Karakteristik Islam lainnya yang khas adalah berkaitan dengan pandangannya terhadap manusia. Dalam perspektif sejumlah ideologi yang dibangun atas dasar pemikiran-pemikiran manusiawi, nilai eksistensia manusia terletak pada prestasi kerjanya atau karena prestasi atau kecakapannya (meritokrasi). Sedangkan dalam ideologi ain terletak pada pemilikannya atas modal. Hal ini berarti persoalan keagamaan, peribadatan dan kearifan, praktis tidak ada artinya. Dalam pada ideologi kapitalis, manusia dinilai dari apakah ia berproduksi atau tidak, atau berdasarkan modal, aset atau hal-hal yang bersifat material lainnya.  Demikian pula dalam pandangan ideologi materialis ateistik, peranan manusia tak lebih dari sekedar subordinasi industri, karena itu eksistensinya tidak lebih dari sebuah mesin atau bahkan sekedar sekrup.Atas dasar itu, maka orang-orang yang sudah dianggap tidak produktif, seperti orang yang sudah tua renta, jompo, atau invalid, dianggap barang tak berguna, dan karenanya mereka dikirim ke panti asuhan.  Hal ini berbeda dengan pandangan Islam yang menilai manusia atasa dasar iman atau keyakinannya serta kepatuhannya kepada Tuhan. Tanpa adanya iman, seluruh perbuatan mansia tidak akan diperhitungkan di hadapan Tuhan, karena perbuatan tersebut dinilai tidak ada kaitan spiritualitasnya dengan Tuhan. Dalam kaitan ini, maka dakwah dan jihad dalam arti bekerja dan berusaha keras dalam berbuat kebaikan dianggap begitu penting dalam upaya transformasi manusia. Dari penjelasan  secara garis besar ini akan lahir sebuah kesadaran, bahwa kembai kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai paradigma gerakan, yang mengandung pola-pola baku yang dapat diikuti dengan cermat. Dan apabila dipertimbangkan secara matang, fase-fase turunnya wahyu yang paling awal dengan sirah nabawiyah sebenarnya adalah realisasi dan sekaligus juga proses pelahiran dan pengembangan gerakan universal yang sangat luar biasa hebatnya, karena berdasarkan pada kebenaran mutlak dan begitu konsistennya, sehingga menghasilkan puncak-puncak prestasi kemanusiaan yang tertinggi pada manusia. Karakteristik misi kemanusiaan ini yang dibawa Islam inilah yang menjadi daya tarik mengapa dalam waktu singkat Islam dapat diterima oleh masyarakat dunia. Di dalam berbagai ayat al-Qur’an dengan tegas dinyatakan, bahwa misi Islam adalah membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), mengeluarkan manusia dari kegelapan ruhani dan spiritual kepada pencerahan ruhani dan spiritual (liyukhrijakum min al-dzulumat ila al-nur), memberi petunjuk ke jalan yang lurus (yahdi ila al-shirat al-mustaqim), mempersatukan hati manusia dengan kasih sayang dan kemanusiaan (fa allafa baina qulubikum fa asbahtum ikhwaana), dan memberikan obat penawar bagi jiwa yang galau (syifa,an lima fis-shudur),  menjadikan umat yang moderat (wa ja’alnakum ummatan wasathan), dan sebagainya.[4]

Karena karakternya yang demikian itu, di antara semua agama yang ada di dunia, Islamlah yang paling banyak ditentang, disalah-pahami dan diserang kaum Kristen. Boleh jadi karena lebih dari satu millenium, agama Islam tampak menjadi sebuah kekuatan besar, jika bukan yang utama-yang mengancam orang-orang Eropa dan perasaan ini memiliki kontribusi dengan kenyataan, bahwa Islam dan orang-orang yang memeluknya, kaum Musliminm dianggap sebagai musuh bebuyutan oleh kalangan Kristen dan masyarakat Barat. Dalam hal politik, ancaman ini berawal dari penaklukan Spanyol oleh bangsa Arab pada awal abad VII dan berakhir dengan pengepungan Viena oleh Kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1683. Akan tetapi, hal ini bukan satu-satunya alasan kekhawatiran kalangan Kristen Eropa, melainkan karena Islam adalah satu-satunya agama dunia yang eksis setelah agama Kristen dan karenanya tidak diterima sebagai agama yang benar.[5] Hal ini sejalan dengan fakta sejarah, bahwa Islam dari sejak kelahirannya telah menghadapi dan menemui tantangan-tantangan dalam kerohanian dan intelektual, bahkan wahyu al-Qur’an sendiri sebagian muncul berdasarkan tantangan-tantangan yang dihempaskan oleh agama-gama Yahudi dan Kristen yang lebih tua dan telah berkembang.[6]

 

B.Strategi

Terdapat beberapa cara agar transformasi Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial dapat berjalan baik.

Pertama, dengan memanfaatkan Islam secara intrinsik dan bukan ekstrin. Beragama secara intrinsik adalah cara berahama yang dapat menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat. Agama dianggap sebagai comprehensive commitmen dan sebagai driving dan integratying motive. Yaitu agama yang mengatut seluruh hidup seseorang. Agama yang diterima sebagai pemandu (unifying factor). Cara beragama seperti ini terunjam dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara beragama seperti ini, seseorang akan mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang. Sedangkan beragama yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to life. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motiv-motiv lain, yakni kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan car ini melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia misalnya salat, naik haji dan sebagainya, tetapi tidak di dalamnya. Kata Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannnya dengan penyakit mental.[7]

Kedua dengan mendefinisikan kembali prospek Islam serta peran baru pemikiran Islam. Hal ini perlu dilakukan, karena selama ini Islam sangat peka pada Syari’at, tetapi lupa pada hakikat. Para pembaharu mengatakan tentang hak untuk menginterpretasikan al-Qur’an dan al-Sunnah yang bebas dari pendapat para ahli fikih empat madzhab. Pernyataam semacam ini ditentang oleh pengikut madzhab yang berpendapat, bahwa sudah sejak lama tidak ada orang lagi yang patut menjadi mujtahid. Oleh karena itu kaum muslimin diharuskan mematuhi fatwa-fatwa dari kalangan madzhab yang masyhur. Dalam era modern dan modernisme Islam, tampaknya para pemikir Islam pasaca “pintu ijtihad telah dibuka kembali, dapat digolongkan berorientasi pada dua corak besar. Pertama, mereka yang menganut paham kebudayaan statis. Kedua yang menganut paham dinamis. Yang pertama cenderung melakukan konservasi budaya Islam secara total berdasarkan orientasi ke belakang atau barangkali untuk gampangnya disebut saja sebagai upaya dogmatisme realitas. Sedangkan kelompok kedua berorientasi ke depan, dengan berupaya melakukan uji coba dan menciptakan warisan kebudayaan Islam dalam persyaratan sejarah yang berubah-ubah dalam horison baru. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa pemahaman al-Qur’an dan perkembangan umat selalu memiliki dialektika, baik menurut situasi atau pemikiran baru di luar dirinya. Sejalan dengan orientasi ini, maka harus ada liberalisasi dalam arti bagaimana merumuskan struktur kebudayaan modern yang tidak menafikan hubungannya dengan sejarah dan tradisi Islam. Yakni dengan memberikan ruang bagi dialektika, antara pemahaman wahyu dan pergulatan faktor-faktor kebudayaan kaum muslimin yang berbeda-beda.[8]

Ketiga dengan mengedepankan wilayah esoterisme Islam. Dalam wilayah esoterisme agama itu terdapat ruang yang luas sekali, di mana setiap oeang dapat melakukan pengembaraan batin menuju yang haq, yang tak bertepi, Ibarat orang yang menyelam ke dalam laut; ada orang yang sampai ke Pantai Tanjung Periuk, lalu ia berkata kepada temannya: “Saya sudah pernah berenang di laut jawa.” Lalu ada lagi yang pesiar naik kapal, dan berkata: “Saya pernah ke tengah laut.”[9] Berdasarkan kerangka pikir esoterisme ini, maka ketika orang shalat, maka seharusnya yang shalat bukan hanya fisiknya, melainkan juga batinnya. Jika shalat hanya dijalani sebagai identitas agama, ya tidak akan menghasilkan apa-apa. Itulah yang kita lihat sekarang ini, di negeri kita tercinta ini. Banyak masjid, gereja dan lain-lain tempat ibadah didirikan hanya untuk membangun identitas, bukan menghasilkan manusia mediatif.

Keempat, dengan mencari titik temu antara agama. Kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah untuk mendukung, meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Maka Nabi Mjhammad hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan Rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat manusia. Karena itu para pengikut Nabi Muhammad SAW diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu serta kitab=kitab suci mereka. Tiga agama Smitik, juga disebut agama Ibrahim (Abrahamic religions), Yaitu Yahudi, Kristen dan Islam mendukung kisah yang hampir sana sekitar Adam, tetapi menginterpretasikannya secara berbeda. Bagi agama Islam dan Yahudi, kisah Adam tu sesungguhnya amat penting, namun tidak menjadi fondasi pandangan teologis yang paling pokok. Hal ini berbeda dengan agama Kristen yang menempatkan kisah Adam itu mencakup bagian yang menjadi tiang pancang teologinya. Yaitu khususnya bagian tentang jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Inilah yang disebut “Doktrin Kejatuhan (Doctrin of Faith) yang amat penting dalam sistem kepercayaan mereka.[10]

Kelima, dengan senantiasa meningkatkan derajat pendidikan para penganutnya. Ketika pendidikan seseorang semakin tinggi dan luas, maka orang tersebut memiliki potensi untuk berfikir kritis dan komparatif dalam memperbincangkan agama, baik agama yang dipeluknya, maupun agama orang lain.[11] Orang yang memiliki pendidikan yang tinggi dan luas akan mampu melakukan gugatan terhadap berbagai pemikiran agama yang dianggap beku. Dengan cara demikian, kita tidak akan terjebak pada apa yang diistilahkan dengan dogmatisme kebenaran, terperangkap pada doktrin yang membatu, Jika manusia sampai terpenjarakan dalam kubungan makna-makna dan tafsir-tafsir agama hasil kreasi orang-orang terdahulu yang sepenuhnya bukan sesuatu yang given dari atas, maka fenomena ini akan sangat berbahaya pada keberlangsungan peradaban manusia. Mereka akan berjalan di tempat. Meskipun pada millenium ketiga, namun paradigma berfikir, tingkah laku dan sikap mereka merupakan gambaran manusia abad ke-8 Masehi.[12] Hal ini pada gilirannya akan melahirkan para tokoh pembaharu Islam senantiasa mengawal Islam agar senantiasa mampu memberikan landasan dan arah bagi perkembangan masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa setiap babakan baru dalam sejarah peradaban mengharuskan masyarakat agama untuk meninjau kembali secara umum isi khasanah kekayaannya. Demikian tulis Professor Snouck Hurgrone tahun 1916, sambil menunjuk kepada gerakan pembaharuan Islam yang pada saat itu mengguncangkan sebagian besar dunia Muslim.[13] Melalui upaya kaum pembaharu Islam ini yang menyebabkan lahirnya dominasi agama Islam di Kepulauan Nusantara. Lahirnya berbagai tradisi, budaya, kesenian, nilai-nilai dalam masyarakat, sistem politik, bahkan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu menunjukkan demikian besarnya pengaruh Islam di kepulauan Nusantara, karena sumber dan akar utama bahasa Melayu adalah bahasa Islam, bahasa Arab atau bahasa al-Qur’an. Namun seringkali peran para pembaharu Islam ini seringkali direduksi menjadi sekedar “Sejarah Islam di Indonesia.”, dan bukannya “Sejarah Indonesia.” Itu sendiri. Sejarah Indonesia pada galibnya hanya dirujuk pada kedigdayaan Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahir semasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) yang berhasil menaklukan seluruh wilayah yang kelak diklaim sebagai Nusantara, dan kini menjadi Indonesia.[14]

Keempat, dengan memadukan berbagai keragaman paham tentang keagamaan.

Kelima, dengan mengedepankan misi kemanusiaan agama

 



[1] Lihat Peter Connoly, (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Jakarta:LkiS, 2002), cet. I, hal. V.

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kristis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. II, hal. XIX.

[3] Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta:Bina Aksara, 1987), hal. 343.

[4] Luhat Allamah Sayyid Mahmud Husain,  Thabathaba’i, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1989), cet. I, hal. 227; Fuad Jabali, dkk, Islam Rahmatan lil Alamin; Mukhlish Hanafi, Moderasi Islam; Tarmidzi Taher, Ber-Islam secara Moderat.

[5] Annemarie Schimmel, Islam Alternatif, Upaya Memahami Islam dari Inti Ajaran, Aliran-aliran Sampai Realitas Modernnya, (Depok:Inisiasi Press, 1424 H./2003 M.), hal. 194.

[6] Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta:Bina Aksara, 1987), hal. 423.

[7] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung:Mizan, 1991), cet, IV, hal. 296.

[8] Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam  Transformatif, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), cet. III, hal. 309.

[9] Lihat Anand Krishna, Islam Esoteris Kemuliaan dan Keindahannya, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. I, hal. 204.

[10] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina, 1995), cet. I, hal. 327.

[11] Lihat Pengantar Komaruddin Hidayat, dalam Anand Krisna, dalam Islam Esoteris Kemuliaan dan Keindahannya, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. I, hal. 5.

[12] Lihat Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta:Kompas, 2001), cet. I, hal. Xv.

[13] Lihat Harry J, Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta:Pustaka Jaya, 1985), cet. II, hal. 70.

[14] Lihat Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Menjadi Indonesia: 13 Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Bandung:Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2006), cet. I, hal. Xv.

Comments